Malam di pondok ini sungguh berbeda dengan malam-malam yang ia habiskan di dalam kadhaton* dulu. Ia masih ingat betul bagaimana wangi cendana yang menguar di tiap sudut istana, bagaimana terangnya nyala api lampu damar yang bergoyang ketika angin berembus pelan, dan juga bagaimana syahdunya nyanyian para pasindhian* serta lantunan gamelan yang selalu berhasil membuat ketakutannya akan gelap menghilang.
Bocah lelaki itu menghela napas lelah, teringat tragedi pemberontakan beberapa tahun silam yang merenggut nyawa ayahnya, Sri Sarwesywara*. Kebimbangan menguasai. Di satu sisi, api kemarahan dan dendam tumubuh subur di hatinya, tapi di sisi lain ia begitu mengerti kenapa pamannya, Sri Aryesywara* melakukan pemberontakan itu. Ia hanya ingin menuntut takhta yang telah dirampas oleh ayahnya.
Ia tak tahu pasti bagaimana tragedi ini bermula. Doktrin yang dijejalkan kepadanya selama ini adalah kejahatan kakeknya, Sri Jayabaya, yang tega menyingkirkan Prabarini, neneknya, dari takhta paramesywari Daha. Berkat tersingkirnya Prabarini, jabatan Mahamantri I Hino* yang seharusnya jatuh ke tangan ayahnya diberikan kepada Sri Arwesywara, sang paman yang terlahir dari lain ibu.
"Malam telah begitu larut. Apa yang membuatmu masih terjaga, Rahadyan?"
Bocah lelaki itu menoleh ketika suara ibunya mampir di telinga. "Aku mengalami mimpi buruk dan aku tak bisa tertidur lagi karenanya," jawabnya seraya menyilakan wanita yang ia sayangi dengan segenap jiwa itu duduk di sebelahnya.
Sang ibu tersenyum lembut seraya menyampirkan sebuah kain tebal di bahu sempitnya. "Kali ini apa yang mampir ke dalam mimpimu itu?"
"Ayah yang kali ini hadir di mimpiku."
"Dengar, Rahadyan—"
"Sastramiruda," ralatnya. "Kita bukan di kadhaton, Ibu. Aku tak menyukai panggilan itu. Ketika aku mendengar panggilan itu, pundakku terasa memikul bebatuan yang sangat berat."
"Baiklah, anakku Miruda, apakah kau sedang merindukan ayahmu?"
Sastramiruda menggeleng pelan. "Aku hanya berpikir apakah yang kita lakukan ini sudah benar?"
"Ayahmu, Sri Sarwesywara, telah menitipkan dua kesatria tangguh padaku. Maka dari itu aku selalu percaya kepadanya."