Vivi sontak membuka mata dengan napas memburu. Dengan gelisah ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Plafon putih asing, tiang infus dengan botol cairan bening tergantung, ranjang besi serta linen garis-garis hitam. "Di mana?" ujarnya parau.
"Ah, kamu sudah sadar, Vivian?" tanya seorang lelaki dari sampingnya.
Gadis itu melirik cemas tapi dengan cepat eskpresinya berubah. "Kamu ngapain saya, hah? Saya ada di mana sekarang?!" tanyanya geram.
"Hei, hei, tenang dulu," cegah lelaki itu ketika Vivi hedak bangkit dari rebah. "Kamu lagi ada di klinik. Kamu nggak ingat kalau kamu tadi pingsan di toko?"
Vivi menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas ranjang. Matanya menerawang sambil mengingat peristiwa yang baru saja ia alami. Bayangan ketika gadis-gadis menari serta seorang lelaki yang terus memperhatikannya berlompatan di kepala. Kemudian, setelah itu yang ia rasakan adalah nyeri kepala dahsyat sebelum tak sadarkan diri.
"Sudah ingat?" lelaki itu memastikan. "Kebetulan saya ingin ketemu kamu. Pas lihat kamu pingsan, saya langsung minta izin sama bosmu buat bawa kamu ke sini."
Jadi ... laki-laki yang telah menjatuhkan harga dirinya kemarin ini telah menolongnya?
Vivi meresepon datar. "Terima kasih atas pertolongannya. Saya sudah sehat, sekarang saya mau pulang. Mana dokternya?"
"Tunggu sebentar. Biar saya panggilkan."
Vivi menatap kepergian Dimas dalam diam. Di tengah keheningan yang menyelimuti, ucapan si lelaki bertopeng yang muncul di mimpinya sebelum siuman seketika tengiang. Sebenarnya apa maksud dari perkataannya?
"Bagaimana keadaannya, Vivian?"
Gadis itu terkesiap, lalu menoleh ke arah pintu. Di sana seorang dokter yang sudah sepuh masuk bersama seorang perawat dan Dimas. Vivi refleks memalingkan matanya ke arah lain saat pandangannya dan Dimas bertemu.
"Sudah baikan? Kepalanya terasa pusing, tidak?" tanya si dokter sambil tersenyum ramah.
Vivi menggeleng.
"Saya periksa sebentar, ya." Dokter itu kemudian menempelkan diafragma stetoskop yang terhubung dengan telinganya pada bagian vital tubuh Vivi. Setelah selesai, ia lalu memerintahkan perawat di sebelahnya untuk mengecek tekanan darah gadis itu.
"Kondisinya bagaimana, ya, Dok?" Dimas bertanya khawatir.
"Hasil dari lab, sih, kondisinya baik-baik aja. Cuma kecapekan," jelas si dokter.
"Jadi, saya udah boleh pulang, kan?" desak Vivi.
"Sebentar, ya. Sekarang coba duduk dulu," pinta si dokter.
Dimas awalnya berniat untuk membantu Vivi, tapi dengan tegas gadis itu menolak.
"Kerasa pusing, nggak?" tanya si dokter lagi
Vivi menggeleng pelan. Ia bisa melihat kalau Dimas menunjukkan ekspresi tak setuju, tapi ini adalah tubuhnya dan yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan adalah dirinya, bukan orang lain. Apalagi lelaki asing yang baru ditemuinya kemarin. "Jadi, saya bisa pulang sekarang, kan, Dok?" tanya Vivi, kali ini lebih menuntut.
Sang dokter tak segera menjawab. Dia memilih untuk menuliskan sesuatu di atas kertas, lalu memberikannya pada suster di belakangnya. Vivi yang melihat itu menunggu dengan tidak sabar.
"Bagaimana, Dok?" Kini giliran Dimas yang bertanya.
"Sudah. Nona Vivian sudah boleh pulang. Saya sudah meresepkan vitamin dan obat penambah darah. Pesan saya, Nona Vivian harus banyak istirahan dan jaga pikiran supaya jangan sampai stres. Kalau ada apa-apa langsung kembali ke sini, oke?"
Vivi mengangguk.
Sang dokter kemudian mengalihkan fokusnya pada Dimas. "Nah, untuk administrasi bisa langsung dibayarkan di kasir, ya. Saya permisi dulu."
"Terima kasih, Dok." Dimas mengangguk seraya mengikuti sang dokter. Akan tetapi, baru saja sampai di ambang pintu, lelaki itu kemudian berhenti lalu melirik sebentar ke arah Vivi. Keraguan terpancar jelas di matanya. Haruskan ia mengatakan yang sejujurnya atau tidak. Embusan napas berat ia keluarkan sebelum menutup pintu.