Sore ini, tak banyak pengunjung yang datang. Pantai terasa lengang. Kapal-kapal nelayan yang akan berlayar pun hanya beberapa yang terlihat. Si hantu yang tengah menikmati kesendirian tiba-tiba memindahkan fokusnya pada boneka yang mengapung di dekat bibir pantai. Permukaan boneka itu sangat lusuh dengan lubang-lubang yang membuat isinya tercerai-berai mengotori laut.
Si hantu mendengus kecut saat menyaksikan boneka itu terombang-ambing terbawa ombak. Ia seperti melihat dirinya yang dulu; terombang-ambing di antara polemik perebutan takhta. Meski lahir dan dibesarkan di lingkungan kerajaan, dirinya selalu hidup di bawah bayang-bayang. Dari kecil ia selalu didoktrin bahwa anak seorang selir hanyalah salah satu alat untuk melindungi takhta. Dan, manakala kekuasaan maharaja itu tumbang karena pemberontakan, dirinya harus siap sedia berkorban melindungi garis keturunan sang maharaja, terutama sang putra mahkota. Rawisrengga.
Kekehan geli si hantu berkumandang. Persetan dengan garis keturunan. Persetan dengan nasib Rawisrengga! Bahkan sebelum dilahirkan, lelaki itu telah memiliki segalanya; kekuasaan, takhta, serta kemasyhuran dari langit dan bumi. Jadi, meski tanpa dirinya pun Rawisrengga akan mampu bertahan dan merebut kembali Daha yang telah jatuh ke tangan musuh. Maka, atas nama kebebasan yang selalu diidamkannya ia pun melarikan diri. Lari sejauh mungkin untuk mengejar keinginan egoisnya agar tak bisa diikat oleh siapapun. Sayangnya, takdir berkata lain. Pertemuannya dengan Angreni mengubah jalan hidupnya.
Si hantu menghela napas panjang lalu melemparkan pandangannya ke lazuardi yang membentang di atas kepala. Terkadang jalan takdir itu begitu lucu. Dialah yang pertama kali bertemu dengan Angreni, dia yang pertama kali mengeluarkan Angreni dari kegelapan, dia juga yang pertama kali mengajarkan gadis itu menjadi manusia seutuhnya, tetapi kenapa takdir menggariskan Angreni menjadi belahan jiwa Rawisrengga?
.
.
.
Tahun 1093 Saka
Sudah tiga hari ia bersama gadis kecil ini, tapi ia tak kunjung membuka mulutnya. Seolah-olah kemampuannya bicaranya raib setelah ia mengetahui fakta dari ketua perampok bahwa bahwa ibunya telah mati karena malaria. Saat mendengar kabar itu Angreni sama sekali tak menangis. Bahkan ketika ia menjumpai mayat ibunya yang telah membusuk, tak ada gurat kesedihan di wajahnya. Ekspresinya tampak datar seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"Sampai kapan kau mau terus diam? Seharusnya kau berterima kasih kepada kawan-kawanku karena telah menaklukan perampok itu serta membebaskanmu dari tawanan mereka," ucap Dharmaja sambil mengelus-elus pelan leher kuda yang selama ini menjadi teman setia perjalanannya.
Angreni tak menyahut. Kepalanya masih setia tertunduk, seolah-olah kaki telanjangnya yang penuh lumpur kering merupakan pemandangan terbaik.
Dharmaja seketika menghentikan langkah lalu menarik lengan Angreni kasar. "Dengar, sejujurnya aku bukan orang yang sabar. Jadi, bicaralah! Katakan apapun. Kau bahkan boleh menangis meraung-raung. Jangan buat aku menyesal telah menyelamatkanmu!"
Angreni mengangkat wajah. Sinar kehidupan di matanya lenyap. Dharmaja seketika gelisah. Melihat mata Angreni seperti melihat mata mayat yang nyaris membusuk. Tinggal tunggu waktu hingga cacing dan belatung memakan semua dagingnya sampai habis.
Tak tega, Dharmaja berlutut lalu meraih tubuh ringkih Angreni ke dalam dekapannya. "Aku mungkin tidak tahu isi hatimu, tapi aku hanya ingin bilang, tidak ada yang sia-sia. Kau sudah berusaha keras untuk membebaskan ibumu dari tawanan perampok itu. Ibumu pasti bangga memiliki anak sepertimu, Angreni."
Jeda panjang tercipta. Dharmaja meletakkan sebelah tangannya di kepala Angreni lalu menepuk-nepuknya pelan. Lama mereka di posisi itu sampai akhirnya Dharmaja merasakan tubuh Angreni bergetar. Tangis gadis kecil itu akhirnya pecah.
Puas menangis, Angreni membiarkan tubuhnya direngkuh erat sambil merasakan ketulusan Dharmaja yang merasuk ke relung kalbunya. Lama mereka di posisi itu hingga terdengar bunyi perut Angreni yang menggelegar bagai petir. Dharmaja tergelak. Ia baru ingat kalau belum ada makanan apapun yang masuk ke lambung mereka selama tiga hari ini kecuali buah-buahan yang mereka temukan sepanjang jalan.
"Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Dharmaja sambil melepaskan pelukannya. Angreni mengangguk ragu. "Baiklah, sekarang kita harus keluar dari hutan ini sebelum matahari meninggi. Setelah itu kita akan mencari kedai makanan. Aku tidak ingin salah satu dari kita sakit karena itu akan sangat merepotkan," lanjut lelaki itu.
Keduanya berhasil keluar hutan saat matahari tepat di atas kepala. Begitu keluar, mereka langsung disuguhi hamparan sawah yang telah menguning. Ini artinya mereka berada tak jauh dari sebuah desa. Dharmaja pun memutuskan untuk mendatangi beberapa petani yang tengah mengarit padi guna bertanya di manakah pasar berada.
Salah seorang dari petani yang didatanginya berkata kalau mereka beruntung. Karena hari ini adalah hari pwan sehingga pasar yang digelar letaknya tak terlalu jauh dari sini. Mereka hanya perlu berjalan lurus ke arah barat daya sampai menemukan anak sungai. Selanjutnya, mereka hanya perlu mengikuti aliran sungai itu untuk sampai ke pasar. Petani itu juga mengatakan bahwa jalan yang mereka lalui adalah jalan pintas selain melewati jalan desa.
Selama perjalanan tak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya. Mereka tampak sibuk dengan isi kepala masing-masing. Dharmaja sendiri kini tengah memikirkan rencana selanjutnya. Tidak mungkin ia turut membawa gadis kecil itu bersamanya. Sebab, ia tak memiliki tempat untuk berpulang, dan ia juga yakin bahwa dalam perjalanannya banyak bahaya yang menanti. Ia tak mungkin tega menjerumuskan Angreni ke situasi-situasi yang dapat mengancam nyawanya.
Setibanya di sungai yang dimaksud oleh petani tadi, Dharmaja memutuskan untuk berhenti. Kuda yang selalu menemaninya sengaja ia tambatkan pada pohon besar dekat tepian, sementara dirinya turun ke sungai untuk mengisi persediaan air. Setelah selesai, ia naik kembali dan terkejut ketika mendapati Angreni sama sekali tak beranjak dari tempatnya berdiri sedari tadi.
"Kenapa kau tak bergerak dari sana? Apa kau tidak haus?" tanya Dharmaja sambil mengikat kembali kantung-kantung persediaan air miliknya pada pelana kuda.
Angreni menggeleng pelan. Melihat itu Dharmaja menghela napas lalu menarik lengan kurus gadis kecil itu untuk turun ke sungai. "Kalau kau tidak haus, setidaknya kau bisa membersihkan tubuhmu. Lihat, tubuhmu kotor dan kakimu penuh lumpur kering." Ucapan lelaki itu terhenti ketika matanya menangkap luka yang hampir mengering di pelipis Angreni. "Setelah kau membersihkan tubuhmu, aku akan mengobati lukamu lagi. Tunggu di sini. Aku akan mencarikan obat untuk lukamu," katanya sebelum meninggalkan Angreni.
Tak lama, Dharmaja datang kembali sambil membawa beberapa batang tanaman merambat. Lelaki itu kemudian duduk di dekat kudanya. Angreni yang tengah membersihkan tubuh sesekali melirik lelaki itu. Dari sudut matanya, Angreni melihat kalau lelaki itu tengah sibuk menumbuk tanaman yang berhasil didapatkannya di sekitar pinggiran sungai.
"Apa kau sudah selesai, Angreni?" panggil Dharmaja.
Angreni mengangguk. Setelah memakai kembali cawat yang menutupi tubuh bagian bawahnya, gadis kecil itu mendatangi Dharmaja.
"Duduklah. Biar aku obati lukamu."
Gadis kecil itu dengan patuh menuruti perintah Dharmaja. Bibirnya meringis tatkala Dharmaja membubuhkan obat yang telah ditumbuk halus itu di pelipisnya.
"Ini tanaman bandotan. Tanaman ini bisa kau temukan di mana saja. Ini adalah obat yang ampuh untuk mengobati luka. Kau mengerti?" jelas lelaki itu sambil meniup-niup lembut pelipis Angreni. "Sekarang tunjukkan betismu."
Angreni kemudian menyelonjorkan kaki kanannya. Terlihat luka goresan yang sudah mengering menghiasi permukaan kulit betisnya.
"Apakah masih sakit?" tanya Dharmaja sambil meraba luka itu.
Angreni menggeleng dua kali.
"Untunglah lukanya tidak terlalu dalam. Maafkan aku karena telah melukaimu," ucap lelaki itu sambil membubuhkan obat yang sama ke betis kanan Angreni.
Melihat Dharmaja begitu lembut memperlakukannya, Angreni merasa sebuah perasaan ganjil merasuk ke dalam dadanya. Rasanya asing tapi menenangkan. "Te ... terima kasih," cicitnya samar.
Dharmaja tersentak mendengar suara Angreni yang terdengar seperti desau angin. "Apa katamu?"
"Terima kasih." Angreni menunduk dalam, tak berani menatap langsung wajah Dharmaja. Di hadapannya, Dharmaja tergelak. Lelaki itu kemudian meraih wajah Angreni lalu mengusapnya lembut.
"Terima kasih juga karena kau sudah mau kembali berbicara kepadaku." Senyum tulus Dharmaja terkembang. Lelaki itu pun segera bangkit dan berjalan menuju kudanya. "Baiklah, karena aku sudah selesai mengobatimu, kini saatnya kita lanjutkan perjalanan. Kau pasti sudah sangat kelaparan," kelakarnya sembari menaiki kuda.
Dalam sesaat, Angreni seperti menemukan kembali tujuan hidupnya. Lelaki yang menjadi korban atas kelakuan busuknya kini tengah mengulurkan tangan dan dengan sabar menariknya dari dunianya yang gelap. Jika ingin meminta, Angreni tidak ingin berpisah dengan lelaki ini.
"Hei, kenapa kau melamun? Kemarilah," perintah Dharmaja yang disambut dengan senyum lega oleh Angreni.
.
.
.
Mereka beruntung karena setibanya di pasar yang dimaksudkan para petani, terlihat beberapa pedagang yang masih menggelar dagangannya. Dharmaja lantas membeli beberapa potong dendeng ikan, nasi, serta lalapan segar. Setelahnya, ia mengajak Angreni untuk duduk di sebuah bale bambu milik pedagang sementara kudanya ia biarkan merumput tak jauh dari tempat mereka beristirahat.