Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #16

Murka Roh Jahat

Saat itu, setelah mengalami betapa menyakitkannya proses kematian, si hantu mengira ia akan langsung dipertemukan dengan Hyang Yama untuk menerima karma lalu menanti sampai ia dilahirkan kembali. Namun rupanya tidak, ia malah malah didatangi oleh seseorang yang mengaku sebagai pesuruh Hyang Yama. Orang itu kemudian menanyakan apa permintaan terakhirnya.

Atensi Vivi kini sepenuhnya teralih kepada si hantu. "Apa kamu kenal dengan pesuruh Hyang Yama itu?"

"Nggak. Dia cuma bilang kalau ia telah melakukan kejahatan ke saya di kehidupan saya yang lalu."

Tanpa sadar Vivi memandang si hantu lekat-lekat. "Apa permintaan kamu itu yang bikin kamu bisa dapat keistimewaan khusus dari Hyang Yama?"

Si hantu tak langsung menjawab. Ia malah mencabut sejumput tunas rumput lalu meniupnya hingga melayang ke udara.

Tebakan Vivi tepat. Tatkala pesuruh Hyang Yama itu bertanya apa keinginan terakhirnya, dengan mantap ia berkata bahwa ia ingin bertemu dengan Angreni. Sebab ia berpikir mungkin saja itu kesempatan terakhir yang ia punya. Bisa saja saat ia terlahir kembali entah di masa kapan, takdirnya untuk bertemu dengan Angreni tak akan pernah datang.

Sayangnya, begitu ia dan pesuruh Hyang Yama yang menjemputnya tiba di tempat seharusnya Angreni berada, dirinya malah dikejutkan dengan tubuh Angreni yang tengah dilalap api. Sekujur tubuhnya mendidih. Gejolak amarah meluap bagai letusan gunung berapi. Ia berteriak murka dan hendak melampiaskan kemarahannya pada siapa saja yang berada di dekatnya.

"Jadi kamu mengamuk di sana? Siapa aja yang berhasil kamu bunuh?"

Si hantu tertawa. "Nggak ada. Saat itu saya cuma roh biasa yang baru aja keluar dari jasad fisik, jadi nggak ada satu pun manusia yang bisa saya bunuh. Saya nggak punya kekuatan sebesar itu."

"Apa bedanya? Mau roh jahat atau bukan kamu tetap aja sudah mati. Di mata saya kalian semua sama."

"Jelas beda, Vivian. Roh jahat adalah roh yang udah dikotori nafsu dunia. Mereka biasanya adalah roh-roh pendendam yang kabur saat dijemput. Sedangkan roh yang baru keluar dari jasad fisik, mereka itu suci."

Vivi mendengkus jijik. "Jadi, intinya kamu mau bilang kalau kamu itu suci?"

"Saya nggak pernah bilang begitu, lo. Kamu yang berasumsi sendiri, kan?" balasnya santai. Si hantu tampaknya tak terpengaruhi ucapan Vivi barusan.

"Lalu, apa sekarang kamu sudah jadi roh jahat?"

Si hantu menatap Vivi. Sudut kiri bibirnya terangkat naik. "Kalau saya bilang iya, apa kamu takut?"

"Kalau begitu kamu bisa—"

"Bisa apa? Bisa bunuh kamu, begitu?" potong si hantu cepat. "Vivian, kalau kamu masih berpikiran untuk mati, lebih baik kita akhiri obrolan ini. Lebih baik kamu pulang. Sudah sore. Sebentar lagi di alun-alun ada pasar malam, kan? Kamu nggak mau datang ke sana?"

Vivi tak membalas. Ia juga terlihat tak ingin segera angkat kaki dan malah bergeming sambil menikmati angin laut yang berembus. "Kata kamu tadi, permintaan kamu adalah melihat Angreni untuk terakhir kali. Angreni itu ... siapa?" tanyanya setelah lama terdiam.

"Angreni itu ..." Si hantu mengubah posisi. Ia pun duduk sambil menyelonjorkan kaki sambil menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang ia letakkan di belakang badan. "Dia cuma bocah yang salah jalan."

"Apa maksud kamu dengan salah jalan?" Vivi mendenguks lagi. "Saya nggak tahu kenapa saya merasa kasihan dengan Angreni ini. Bagaimana bisa kamu dengan santai bilang kalau dia 'cuma bocah salah jalan' padahal kamu tiba-tiba aja mengamuk karena kamu nggak bisa melihat dia untuk terakhir kali?"

Tawa si hantu meledak. Entah sudah berapa kali ia menyemburkan tawa mendengar ucapan gadis itu. "Baik, saya bakal mengaku. Bagi saya, Angreni bukan cuma bocah yang salah jalan, tapi dia sudah menjadi udara yang saya hirup, bumi tempat saya berpijak, dan tempat saya menggantungkan harapan. Intinya, Angreni adalah dunia yang nggak pernah saya miliki sebelumnya."

Lihat selengkapnya