Lengkungan keji di bibir si hantu hilang, tergantikan dengan ekspresi rumit. Ia tak menyangka jika Vivi akan kembali menunjukkan sisi rapuhnya. Mata kecokelatan gadis itu berpendar dan tampak goyah. Entah dapat dorongan dari mana si hantu bergegas membawa gadis itu ke dalam dekapan hangat. "Maaf, saya udah keterlaluan. Seharusnya kamu tadi nggak diam aja. Minimal kamu bisa berteriak atau memaki saya kalau kamu nggak suka."
Si hantu sadar betul kalau gadis dalam pelukannya ini adalah alasan utama mengapa ia masih bisa bertahan sebagai makhluk terkutuk sampai sekarang. Namun, ketika ia melihat ekspresi ketakutan Vivi tadi, desakan asing dari sudut hatinya mendadak muncul. Rasanya ia ingin segera menghapus air mata itu lalu menyembunyikan Vivi dari ganasnya dunia. Ia benar-benar tak mengerti. Semuanya terjadi secara spontan tanpa bisa dicegah.
Ia kemudian menepuk-nepuk pelan punggung Vivi. Di tepukan ketiga Vivi tiba-tiba memukul dada si hantu, lalu mendorongnya. Gadis itu terhuyung-huyung mundur dan terjatuh ketika kakinya tersandung batu.
Si hantu mendengus kemudian berjongkok di hadapannya. "Kamu mungkin udah melihat bagaimana saya mati, kan?" Si hantu menjeda sesaat demi melihat ekspresi apa yang Vivi tunjukkan saat ini. "Saat itu saya dibunuh oleh murid yang paling saya percayai."
Vivi terhenyak, tapi lebih memilih untuk tak berkomentar.
"Sulit jika harus menjelaskan dari awal, tapi yang jelas, saya juga telah dikhianati oleh orang-orang yang sudah saya anggap sebagai keluarga." Saat itu, setelah mengalami betapa menyakitkannya proses kematian, si hantu mengira ia akan langsung dipertemukan dengan Hyang Yama untuk menerima karma lalu menanti sampai ia dilahirkan kembali. Namun rupanya tidak, ia malah malah didatangi oleh seseorang yang mengaku sebagai Pesuruh Hyang Yama. Orang itu kemudian menanyakan apa permintaan terakhirnya.
Atensi Vivi kini sepenuhnya teralih kepada si hantu. "Apa kamu kenal dengan Pesuruh Hyang Yama itu?"
"Nggak. Dia cuma bilang kalau ia telah melakukan kejahatan ke saya di kehidupan saya yang lalu."
Tanpa sadar Vivi memandang si hantu lekat-lekat. "Apa permintaan kamu itu yang bikin kamu bisa dapetin keistimewaan khusus dari Hyang Yama?"
Si hantu tak langsung menjawab. Ia malah mencabut sejumput tunas rumput lalu meniupnya hingga melayang ke udara. Vivi mengartikan diamnya si hantu sebagai jawaban 'iya'.
Ketika Pesuruh Hyang Yama itu bertanya apa keinginan terakhirnya, dengan mantap ia berkata bahwa ia ingin bertemu dengan Angreni. Sebab ia berpikir mungkin saja itu kesempatan terakhir yang ia punya. Bisa saja saat ia terlahir kembali entah di masa kapan sehingga takdirnya untuk bertemu dengan Angreni bisa jadi tak akan pernah datang.
Sayangnya, begitu ia dan Pesuruh Hyang Yama yang menjemputnya tiba di tempat seharusnya Angreni berada, dirinya malah dikejutkan dengan tubuh Angreni yang tengah dilalap api. Sekujur tubuhnya mendidih. Gejolak amarah meluap bagai letusan gunung berapi. Ia berteriak murka dan hendak melampiaskan kemarahannya pada siapa saja yang berada di dekatnya.
"Jadi kamu ngamuk di sana? Siapa aja yang berhasil kamu bunuh?"
Si hantu tertawa. "Nggak ada. Saat itu saya bukanlah roh jahat. Saat itu saya cuma roh biasa yang baru aja keluar dari jasad fisik, jadi nggak ada satu pun manusia yang bisa saya bunuh. Saya nggak punya kekuatan sebesar itu."
"Apa bedanya? Mau roh jahat atau bukan kamu tetap aja udah mati. Di mata saya kalian semua sama."
"Jelas beda, Vivian. Roh jahat adalah roh yang sudah dikotori nafsu dunia. Mereka biasanya adalah roh-roh pendendam yang kabur saat dijemput. Sedangkan roh yang baru keluar dari jasad fisik, mereka itu suci."
Vivi mendengus jijik. "Jadi intinya kamu mau bilang kalau kamu itu suci?"
"Saya nggak pernah bilang begitu, lho. Kamu yang berasumsi sendiri," balasnya santai. Si hantu tampaknya tak terpengaruhi ucapan Vivi barusan.
"Lalu, sekarang kamu apa? Roh jahat?"
Si hantu menatap Vivi. Sudut kiri bibirnya terangkat naik. "Kalau saya bilang iya, apa kamu takut?"
"Kalau begitu kamu bisa—"
"Bisa apa? Bisa bunuh kamu, begitu?" potong si hantu cepat. "Vivian, kalau kamu masih berpikiran untuk mati, lebih baik kita akhiri aja obrolan ini. Lebih baik kamu pulang. Udah sore. Sebentar lagi di alun-alun ada pasar malam, kan? Kamu nggak mau ikutan acara itu?"
Vivian tak membalas, pun terlihat tak ada tanda-tanda akan segera angkat kaki. Ia membiarkan angin laut berembus menerpa wajahnya. "Kata kamu tadi, permintaan kamu adalah melihat Angreni untuk terakhir kali. Angreni itu ... siapa?" lirihnya setelah sekian lama terdiam.
"Angreni itu ..." Si hantu mengubah posisi. Ia pun duduk sambil menyelonjorkan kaki sambil menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang ia letakkan di belakang badan. "Dia cuma bocah yang salah jalan."
"Apa maksud kamu dengan salah jalan?" Vivi mendengus lagi. "Saya nggak tahu kenapa saya merasa kasihan dengan Angreni ini. Gimana bisa kamu dengan santai bilang kalau dia 'cuma bocah salah jalan' kalau kamu tiba-tiba aja mengamuk karena kamu nggak bisa melihat dia untuk terakhir kali?"
Tawa si hantu meledak. Entah sudah berapa kali ia menyemburkan tawa mendengar ucapan Vivi. "Oke, oke—Vivian dengan segala ketajaman mulutnya—saya bakal mengaku. Bagi saya, Angreni bukan cuma bocah yang salah jalan, tapi dia adalah sudah menjadi udara yang saya hirup, bumi tempat saya berpijak, dan tempat saya menggantungkan harapan. Intinya, Angreni adalah dunia yang nggak pernah saya miliki sebelumnya."
Vivi merasakan sakit di dadanya. Melihat wajah si hantu yang selalu terlihat konyol kini berubah sendu, entah mengapa membuatnya sesak. Pikirnya, Angreni sungguh beruntung karena ada orang yang begitu memujanya dengan tulus, berbeda dengan dirinya yang tak diharapkan kehadirannya oleh siapapun.
Tiba-tiba saja si hantu menoleh padanya. Vivi kembali terhenyak. Ketika pandangannya bersirobok dengan milik si hantu, lagi-lagi ia merasakan gelenyar aneh di dada. Ia merasa pernah melihat pandangan itu dulu sekali. Sayangnya ia tak mengerti kapan pastinya 'dulu' itu. Apa mungkin mereka pernah bertemu ketika si hantu masih hidup, atau semua itu cuma delusinya? Sesungguhnya Vivi lebih meyakini opsi kedua.
Setelah beberapa saat, Vivi lah yang pertama kali memutuskan kontak mata. Ia tak mungkin sanggup berlama-lama menatap mata itu. Bukannya tidak suka—jujur ia menyukai bagaimana mata cokelat si hantu memandangnya tadi; terasa hangat, teduh, dan damai. Ia hanya terlalu takut jika mata itu menyembunyikan rahasia yang tak ia mengerti.
"Saya boleh tanya sesuatu?" tanya Vivi kemudian.
"Silakan." Si hantu mengubah posisi duduknya lagi. Kali ini ia duduk bersila.
"Jika suatu saat kamu diberi kesempatan untuk bertemu Angreni apa yang bakal kamu lakukan? Apa kamu bakal menghilang dari sini dan bereinkarnasi?"
Si hantu menggeleng.
Vivi tertegun. "Kenapa?"
Seringaian terbit di wajah si hantu. "Kamu pikir cerita saya bisa dapat keistimewaan dari Hyang Yama cuma sampai di situ aja? Sayangnya nggak, Vivian."
"Maksud kamu?" tanya Vivi menuntut. Sayangnya, belum sempat si hantu menjawab rasa penasarannya, sebuah suara serak lelaki terdengar dari belakang.
"Lho, Neng Vivian ada sini?"
Vivi menoleh ke belakang dan mendapati seorang lelaki paruh baya berlari kecil menghampirinya. Vivi tahu lelaki itu adalah penjaga pantai di sini sekaligus kenalan baik Mbok Sum, tapi ia tidak tahu namanya karena terlalu malas untuk mengingatnya.
"Saya ndak tahu kenapa Neng Vivi suka banget ke sini, tapi kalau boleh saya ingetin, Neng Vivi seharusnya jangan sering-sering ke sini."
"Kenapa nggak boleh?" tanya Vivi ketus. "Siapa yang bikin peraturan itu?"
Lelaki paruh baya itu meneguk ludah gugup. "Di sini angker, Neng. Mending kalau Neng mau main di pantai ini, Neng bisa main di bawah sana."
"Bapak punya hak apa ngusir-ngusir saya?" Vivi memandang tak suka. Ia pun bangkit berdiri. Saat menoleh ke samping, si hantu yang seharusnya berada di sana sudah tak nampak wujudnya. Vivi mendadak berang. "Ya udah, saya pergi sekarang," ucapnya sambil berjalan mendahului lelaki paruh baya itu.
Diam-diam, si hantu memperhatikan dua orang itu menghilang di balik tangga. Seringai di wajahnya masih belum pudar.
.
.
.
Sesungguhnya, ia tak berbohong ketika mengaku sebagai roh jahat. Ia memang pernah kabur dan berhasil bersembunyi selama sekian waktu setelah melukai Pesuruh Hyang Yama yang menjemputnya. Dalam persembunyian, ia tak henti menyalahkan dunia atas nasib malang yang menimpa Angreni. Ia bahkan sampai mengutuk para dewa. Kebencian dan amarah yang menumpuk di hati perlahan mengubahnya menjadi iblis penuh dendam.
Beberapa waktu berlalu, Dharmaja yang telah mendapatkan kekuatan terkutuk pun keluar dari persembunyiannya. Tujuannya hanya satu, yaitu balas dendam kepada siapa saja yang ia anggap sebagai dalang kematian Angreni. Di tengah pekatnya malam, ditemani lolongan binatang, Dharmaja melangkah mantap. Energi gelap penuh kebencian tumpah ruah dari sekujur tubuhnya, menyapu tiap sudut tempat yang dilaluinya. Ia berjalan layaknya teluh yang mampu membinasakan dalam sekejap.