"Oh, lihat siapa yang datang. Sang suami akhirnya hendak menyelamatkan istrinya." Dharmaja meludah. "Magani apa kabarmu? Apakah kau sudah naik jabatan? Apa yang sekarang Janggala lakukan setelah Angreni mati? Apakah Janggala berencana untuk langsung mengambil alih Panjalu?" tanyanya pada lelaki itu.
"Omong kosong! Tutup mulutmu!" Magani makin mengacungkan pedangnya. Ia betul-betul berhasrat untuk memotong lengan Dharmaja sekarang juga.
Dharmaja kembali meludah, kali ini langsung di wajah si acari. Magani yang melihat itu sontak melebarkan mata dengan dada kembang kempis.
"Kalian orang Janggala yang sangat sombong! Aku selalu menyayangkan tindakan adikku, Rawisrengga, yang begitu bodoh karena bisa begitu mudahnya menerima kalian," ucap Dharmaja sambil mengelus pelan wajah si acari. Wanita itu mencicit takut dengan napas nyaris putus.
"Sekali lagi lepaskan dia! Sebelum—"
Dharmaja menyela cepat. "Sebelum apa, Magani? Sebelum aku memelintir leher istrimu ini?" Ia kemudian mengalihkan lagi atensinya pada si acari. "Atas dosa-dosa yang kau lakukan pada Angreni, aku mengutukmu. Kau akan merasakan penderitaan Angreni selama kau hidup di dunia. Aku juga mengutukmu agar terus mengingat semua kenangan keji yang telah kau lakukan padanya. Selamanya." Tepat setelah ia berucar, pedang Magani berhasil menembus perutnya. Tak ada darah yang keluar karena dirinya memang telah mati.
Dengan mata berkilat marah ia melempar acari tadi hingga menabrak dinding, lalu berbalik menyerang Magani. Ia lalu memukul hingga lelaki itu terpental menabrak beberapa narapraja. Secepat kedipan mata ia telah berpindah dan mulai menyerang naraparaja lain dengan kutukannya hingga mereka tak sadarkan diri.
Dengan sebelah kaki, ia menginjak dada Magani. Darah kehitaman terciprat dari mulut lelaki itu. Dharmaja pun semakin menekan dada Magani ketika lelaki itu berusaha melawan.
"Dengar, malam ini, aku akan menuntut balas pada kalian semua atas kejahatan yang kalian lakukan pada Angreni. Aku tak peduli jika pada akhirnya aku berubah menjadi makhluk terkutuk.” Dharmaja mencabut pedang yang menancap di punggungnya dan hendak menghujamkan pedang itu ke dada Magani. Namun, tanpa diduga petir tiba-tiba menyambar tangannya hingga pedang yang dipegangnya terlempar jauh.
Dia pun mendongak dan menatap nyalang. "Siapa kalian!"
Aliran waktu seketika terhenti. Puluhan makhluk dengan selubung hitam yang menutupi wajah langsung menyerbu, tapi Dharmaja mampu berkelit dan berlari menuju pemandian.
Perkelahian tak terelakkan. Ia pun berkali-kali mengindar. Napasnya tersengal-sengal. Sabetan pedang yang berkilauan di bawah nyala obor terus menghujaninya tanpa henti. Gerakan para makhluk berselubung hitam itu tak hanya cepat, tapi juga mematikan.
Satu tebasan mendadak meluncur dari samping, memaksanya untuk merunduk. Akan tetapi, gerakannya kurang cepat. Ujung pedang yang tajam itu berhasil menyayat kecil lengan kirinya. Rasa nyeri yang timbul dari luka kecil itu sungguh luar biasa, seperti ada seratus pedang yang menusuknya bersamaan. Dharmaja menggigit lidahnya sampai hampir putus hanya demi meredam laungannya. Tubuhnya gemetar hebat. Namun, ia tak punya banyak waktu untuk mengaduh.
Dengan satu putaran cepat, ia mencoba melayangkan serangan balasan dengan menusukkan pedangnya ke salah satu makhluk itu. Namun, mereka terlalu tangkas. Lawannya bergerak mundur dengan gerakan yang nyaris dilakukan manusia. Dalam sekejap, dua makhluk lain menyerang bersamaan. Dharmaja berusaha bertahan, menangkis serangan itu dengan pedangnya. Akan tetapi tekanan dari mereka terlalu besar sehingga dua pedang mampu menusuk perutnya dari dua arah berbeda.
Ketika pedang itu dicabut dari perutnya, Dharmaja menggunakan kesempatan itu untuk melompat mundur.
“Menyerahlah.” Suara salah satu makhluk itu bergema dari balik selubung hitamnya, dingin dan tak berperasaan.
Dharmaja mendengkus dan meludah. “Aku tidak akan menyerah secepat itu, bajingan.”
Makhluk-makhluk dengan selubung hitam itu menyerang lagi. Dharmaja kali ini mencoba melawan langsung tanpa menghindar. Sayang, tubuhnya mulai melemah. Serangan bertubi-tubi yang datang membuatnya hilang keseimbangan. Sebuh pukulan keras gagang pedang kemudian menghantam pelipisnya. Ia pun tersungkur.
Tali dadung segera membelenggu tangannya. Dharmaja meronta. “Mau apa kalian!” Ia melaung. Urat-urat kemarahan tercetak jelas di leher dan tangannya.
"Sudah cukup main-mainnya, Dharmaja. Kau sudah melakukan dosa yang amat berat,"
Dharmaja seketika tebahak-bahak. Satu lawan banyak. Bagaimana bisa ia memenangkan pertempuran itu? Mau semengerikan apapun ia mengamuk. Mau sekeras apapun dirinya melawan, ia tetap tak bisa berkutik. Pada akhirnya, ia pun pasrah ketika tubuhnya diseret paksa. Dia bahkan diam saja saat tubuhnya dilemparkan ke sebuah tempat asing. Dengan posisi terlentang, ia menatap sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya warna putih yang ada. Dirinya merasa berada dalam ketiadaan.
Sepasang kaki telanjang dengan cincin emas yang melingkar di ibu jari kanan mendekatinya. Dharmaja mendongak dan mengernyit saat mendapati seorang lelaki berdiri tepat di sampingnya. Lelaki itu terlihat sangat anggun, meski pakaiannya tampak sangat sederhana. Tubuh kekarnya bagian bawahnya terbalut kain tenun serta selembar selendang putih yang melingkar di pinggangnya seperti sayap. Sementara itu, bagian atasnya dibiarkan terbuka, menampakkan dada dan punggungnya yang bidang.
Ketika Dharmaja melihat kepala si lelaki, ia mendengkus geli. "Kenapa kau memaki topeng kayu? Apakah kau malu dengan wajahmu?" tanyanya mencemooh.
Si lelaki berlutut dan berkata, "Kalau aku membuka topengku, kau pasti akan ketakutan melihat wajahku." Ia pun meletakkan sebelah tangannya di pundak Dharmaja. Rasanya begitu dingin menusuk hingga ke tulang. "Maafkan atas perbuatan pesuruhku yang sudah bertindak kasar padamu."