Nabila duduk dengan gelisah di atas motor yang ditumpanginya. Ia menyesal karena tak mengikuti pesan Galih. Gadis kecil itu menggerutu. Coba saja teman-temannya itu tidak mampir dulu ke restoran cepat saji, ia pasti tidak akan terjebak bersama guru keseniannya ini.
Ia pun melirik canggung dari balik kaca helm. Tadinya, ia ingin pulang sendiri untuk membantu bibinya menyiapkan keperluan jualan nanti malam. Namun letika Bu Lina mendengar ucapannya, guru baik hati itu pun bersedia memberikan tumpangan dengan alasan tujuan mereka satu arah.
"Bu Lina, nanti berhenti di deket gapura aja, ya." Nabila berkata gugup. Walau Bu Lina berwajah lembut, tapi aura yang terpancar dari tubuhnya membuat Nabila segan. Menurutnya, aura Bu Lina seperti penyihir yang sudah hidup ratusan tahun. Suatu ketika ia mengutarakan pendapatnya ini kepada Galih, tapi sepupunya itu menanggapinya dengan tawa dan berkata kalau ia terlalu banyak membaca komik online.
"Eh, kenapa? Dari gapura ke rumah kamu kan masih jauh." Motor yang mereka tumpangi pun berhenti. Wanita itu pun melirik Nabila lewat kaca spion.
Nabila terkekeh canggung. "Tapi nanti Nabil bakal ngerepotin. Ibu pasti capek seharian ngurusin kita buat karnaval."
Tawa halus Bu Lina mengalun. "Ndak ngerepotin, kok. Lha, wong, kita satu arah. Jadi ndak apa-apa. Ibu anterin aja kamu sampai rumah?" Melalui isyarat lirikan mata, Bu Lina seolah memintanya untuk menurut.
Nabila meneguk ludah gugup. Meski berat, akhirnya ia membiarkan gurunya ini untuk mengantar sampai depan rumah. Bu Lina tersenyum puas. Begitu ia ingin melajukan kembali motornya, tiba-tiba saja Nabila berteriak.
"Bu! Stop, Bu!"
"Kenapa, Nabila?" tanyanya bingung. Ia pun terkejut setengah mati saat mengetahui Nabila melompat turun dari motor lalu berlari ke seberang jalan. Mau tak mau wanita itu mengikuti.
"Neng Vivi! Kenapa di sini? Bukannya lagi sakit?" Nabila tampak begitu khawatir. Apalagi setelah melihat gaun yang Vivi kenakan begitu kotor dan wajahnya pucat. Sebetulnya ia ingin bertanya, cuma tak berani.
"Vivian?" Bu Lina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Bu Marlina? Tanpa sadar Vivi menahan napas. Ia betul-betul tak menyangka bisa bertemu dengan mantan gurunya ini. Ujung bibirnya berkedut kecil, membentuk segaris senyum tipis.
"Ah, Vivian. Kebetulan banget kita bisa ketemu di sini. Kamu ternyata udah sebesar ini dan makin cantik, Nduk." Bu Lina mengelus rambut Vivi tanpa canggung, sementara Vivi juga tak terlihat risi. Nabila memandang bingung. Ia memang tahu jika Bu Lina merupakan mantan guru tari Vivi, tapi ia tak mengira jika hubungan mereka ternyata sedekat itu.
Vivi tak membalas ucapan Bu Lina. Sedikit perasaan bersalah hinggap di hatinya karena ia berulang kali menolak untuk bertemu dengan mantan gurunya ini. Bukannya tak mau, hanya saja ... ia malu.
Dulu, Vivi adalah murid kebanggaan sanggar. Bu Lina yang merupakan pendiri sekaligus pelatih di sanggar itu pun bisa langsung melihat bakat Vivi saat pertama kali audisi. Di hadapannya, Bu Lina berkata bahwa ia akan membuat Vivi menjadi penari tradisional yang paling bersinar di masa depan.
Sayangnya, rencana itu harus kandas ketika Bu Lina mengalami kecelakaan serius yang nyaris merenggut nyawanya. Beberapa bulan setelah itu, Bu Lina tiba-tiba menghilang. Padahal saat itu ia tengah sibuk menyiapkan murid-murid untuk festival tari nasional. Merasa dikhianati, Vivi pun keluar dari sanggar. Ia yang masih memiliki kecintaan terhadap tari akhirnya memilih balet demi mencari pengakuan bahwa dirinya juga bisa bersinar meski tanpa bimbingan Bu Lina.
Namun, siapa sangka jika sebenarnya Bu Lina tidak betul-betul menghilang. Setelah sembuh dari luka-luka yang dialaminya, wanita itu nyatanya pulang ke kampung halaman untuk memulihkan kondisi psikisnya. Dan, ia benar-benar tak menyangka ketika tahu bahwa ibunya dan Bu Lina memiliki kampung halaman yang sama.
Coba lihat, bukankah itu sebuah kebetulan yang sangat lucu? Vivi merasa seakan-akan takdirnya hanya berputar-putar di tempat. Ke mana ia pergi, ia pasti akan kembali ke arah yang sama.
"Oh, ya, Bu Lina, Nabil bareng pulang sama Neng Vivi aja. Terima kasih atas tumpangannya, Bu."
Bu Lina mengangguk dan tersenyum menatap punggung sempit dua muridnya yang perlahan menjauh. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba Bu Lina teringat sesuatu. "Ah, Vivian!" panggilnya. Nabila dan Vivi menoleh bersamaan.
"Ya, kenapa, Bu?" sahut Nabila.
"Kamu nanti malam dateng ke alun-alun, kan?" tanya Bu Lina, sedikit menuntut.
Nabila melirik Vivi. Ia jadi penasaran jawaban apa yang akan dilontarkan mantan anak majikan bibinya itu.
Butuh waktu beberapa detik untuk Vivi menjawab, "Ya. Kalau ada waktu, aku bakal dateng."