Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #18

Wanita Berparas Bidadari

Sepeninggal Vivi, si hantu masih memikirkan percakapannya tadi. Semakin lama ia berinteraksi dengan gadis itu, semakin ia merasa bimbang. Apakah dia betul-betul reinkarnasi Sekartaji? Haruskah ia mempercayai Magani? Magani memang telah membuktikan bahwa Vivi adalah reinkarnasi Sekartaji dengan memperlihatkan daftar kematian yang ada di tangannya, tapi tetap saja ada sekelumit ragu terselip di hati.

Pada daftar kematian biasanya tercatat tanggal lahir, tanggal kematian, serta rangkuman perjalanan hidup seseorang dari masa ke masa. Bisa dibilang, daftar kematian itu adalah salinan singkat dari agrasandhani. Jika agrasandhani asli dijaga oleh Yamadipati dan Citragupta, maka daftar kematian diberikan kepada pesuruh Hyang Yama sebagai acuan untuk mencabut nyawa seseorang.

Dari daftar kematian itu ia tahu seharusnya Vivi sudah mati karena gantung diri. Namun, entah mengapa Magani bisa mengubah garis hidup gadis itu dan membawa kehadapannya.

Persetan! Ia tak peduli apa yang telah Magani lakukan. Ia juga tak peduli siapapun Vivi di kehidupan lalu. Bisa saja gadis itu adalah reinkarnasi jalir1 yang pernah disewanya atau salah satu wanita bangsawan yang berharap jadi istrinya? Mungkin inilah yang menyebabkan ia bersimpati terhadap gadis itu.

Si hantu tiba-tiba tergelak. Lagi pula, jika memang benar Magani menipunya, ia tentu tak akan merugi. Sebab, ia sudah tak bisa menghapus kutukannya. Kesaktiannya sudah hilang, bersamaan dengan dirinya yang dilempar kembali ke dunia manusia oleh Hyang Yama. Yang tersisa di diriya hanyalah sedikit kekuatan dari akumulasi energi yang terhampar di alam. Itulah yang menyebabkan ia bisa mengendalikan angin dan ombak. Tidak lebih.

*

Nabila duduk dengan gelisah di atas motor yang ditumpanginya. Ia menyesal karena tak mengikuti pesan Galih. Gadis kecil itu menggerutu. Coba saja teman-temannya itu tidak mampir dulu di restoran cepat saji, ia pasti tidak akan terjebak bersama guru keseniannya ini.

Ia pun melirik canggung dari balik kaca helm. Tadinya ia ingin pulang sendiri untuk membantu bibinya menyiapkan keperluan jualan nanti malam, tapi sewaktu Bu lina mendengar ucapannya, guru baik hati itu pun bersedia memberikan tumpangan dengan alasan tujuan mereka satu arah.

"Bu, nanti berhenti di dekat gapura aja, ya." Nabila berkata gugup. Walaupun Bu Lina berwajah lembut, tapi aura yang terpancar dari tubuhnya membuatnya segan. Menurutnya, aura Bu Lina seperti penyihir yang sudah hidup ratusan tahun. Suatu ketika ia mengutarakan pendapatnya ini kepada Galih. Namun, kakak sepupunya itu menanggapinya dengan tawa dan berkata kalau ia terlalu banyak membaca komik online.

"Lo, kenapa? Dari gapura ke rumah kamu, kan, masih jauh." Motor yang mereka tumpangi pun berhenti. Wanita itu pun melirik Nabila lewat kaca spion.

Nabila terkekeh canggung. "Tapi nanti aku bakal bikin repot Ibu. Ibu pasti capek seharian mengurus kita buat karnaval."

Tawa halus Bu Lina mengalun. "Ndak ngerepotin, kok. Lha, wong, kita satu arah. Jadi ndak apa-apa. Ibu antar aja kamu sampai rumah?" Melalui isyarat lirikan mata, Bu Lina seolah memintanya untuk menurut.

Gadis kecil meneguk ludah gugup. Meski berat, akhirnya ia membiarkan gurunya ini untuk mengantar sampai depan rumah. Bu Lina tersenyum puas. Begitu ia ingin melajukan kembali motornya, tiba-tiba saja Nabila berteriak.

"Bu! Stop, Bu!"

"Kenapa, Nabila?" tanya Bu Lina bingung. Ia pun terkejut setengah mati saat mengetahui Nabila melompat turun dari motor lalu berlari ke seberang jalan. Mau tak mau wanita itu mengikuti.

"Neng Vivi! Kenapa di sini? Bukannya lagi sakit?" Nabila tampak begitu khawatir. Apalagi setelah melihat gaun yang Vivi kenakan begitu kotor dan wajahnya pucat. Sebetulnya ia ingin bertanya, cuma tak berani.

"Vivian?" Bu Lina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Bu Marlina? Tanpa sadar Vivi menahan napas. Ia betul-betul tak menyangka bisa bertemu dengan mantan gurunya ini. Ujung bibirnya berkedut kecil, membentuk segaris senyum tipis.

"Ah, Vivian. Kebetulan sekalimu kita bisa ketemu di sini. Kamu ternyata sudah sebesar ini, ya, dan makin cantik."

Bu Lina mengelus rambut Vivi tanpa canggung, sementara Vivi juga tak terlihat risi. Nabila memandang bingung. Ia memang tahu jika gurunya itu merupakan mantan guru tari Vivi, tapi ia tak mengira jika hubungan mereka ternyata sedekat iini

Lihat selengkapnya