Vivi akui tarian yang tengah dimainkan di panggung sana tak terlalu buruk. Gerakan tiga gadis yang tengah menari itu pun terlihat rapi dan luwes—ya, meski ada satu dua gerakan yang tak seragam, tapi itu bisa ditolerir. Ketiga gadis itu memakai topeng wanita bercat putih sehingga Vivi tak tahu siapa saja mereka. Namun, Vivi yakin salah satu dari mereka pastilah Mita.
Setelah melakukan beberapa gerakan memutar, dua penari lain undur diri dan hanya menyisakan satu gadis di atas panggung. Vivi langsung bisa menebak kalau itu adalah Mita.
Tiba-tiba, iringan gending berubah sendu. Gerakan Mita ikut melemah. Tarian yang ia mainkan seperti tengah menyampaikan kegundahan hati pada khalayak ramai. Ketika gadis itu memainkan selendang dengan sebelah tangan, Vivi tanpa sadar menahan napas. Sama seperti kejadian di ruang tunggu tadi, ia merasa sangat familier dengan gerakan itu. Vivi memijat pelipisnya pelan. Tidak, tidak, semua ini pasti hanya halusinasi—Vivi mencoba meyakinkan diri. Ah, rasanya ia ingin segera pulang dan tidur.
"Vivian, kamu kenapa?" tanya Bu Lina khawatir.
Vivi mengibaskan tangan santai. "Biasa, Bu. Pusing karena PMS. Nanti juga sembuh sendiri. Oh ya, Bu, aku boleh tanya sesuatu?"
"Apa itu?"
Vivi tak langsung menjawab. Ia malah mengalihkan pandangannya ke arah panggung. Bersamaan dengan itu, pemuda bertopeng emas masuk lalu bergabung bersama Mita. Gerakan mereka sangat serasi dan saling melengkapi, seolah tarian itu tengah menunjukkan bahwa semesta telah merestui dan menakdirkan mereka untuk bersama; tak peduli jika ruang, waktu, dan maut memisahkan keduanya.
Vivi tercenung. Setitik air mata muluncur jatuh. Ia pun buru-buru menghapusnya sebelum Bu Lina melihat. Ia berdeham sekali lalu melanjutkan, "Tarian itu ... tari kreasi yang Ibu buat?" Ia mampu melihat bulu mata Bu Lina bergetar, diikuti dengan senyuman sedih.
"Bukan. Tarian itu ..." Jeda panjang tercipta. "Awalnya tarian itu diciptakan oleh kenalan Ibu." Bu Lina menerawang jauh, seakan-akan orang yang dimaksud tengah berada di tempat yang tak terjangkau. Vivi menebak, mungkin orang itu sudah lama meninggal.
Bu Lina kemudian melanjutkan, "Dia salah satu murid Ibu saya. Murid paling pandai. Dia seharusnya bisa jadi penari terbaik, tapi sayangnya, takdir seolah mempermainkannya. Ia diboyong ke istana tapi tak lama ia diusir—"
Vivi memotong cepat. "Maaf, diboyong ke istana? Maksud Ibu, istana negara atau istana keraton Jogja, gitu?"
Bu Lina tersentak, lalu dengan cepat mengubah raut wajahnya. "Ah, maaf ibu cuma melantur tadi." Wanita itu tersenyum kecil. "Tarian ini sebenarnya tarian modifikasi. Ibu cuma menambahkan beberapa gerakan dan memasukkan unsur cerita ke dalamnya aja."
Vivi mengangguk, meski sejujurnya ia masih menyimpan rasa tak percaya. Karena malas menggali lebih jauh, ia memutuskan untuk diam dan kembali mengalihkan atensinya ke panggung.
Tepat pada kursi di deretan ketiga dari depan, Vivi menangkap sosok Mbak Irma. Awalnya ia merasa aneh kenapa seniornya itu bisa menempati kursi orang-orang penting. Namun kemudian, ia teringat jika beberapa hari lalu Mbak Irma pernah memamerkan video latihan keponakannya. Ia langsung bisa menduga jika Mita adalah keponakan yang dimaksud.
"Vivian," panggil Bu Lina tiba-tiba.
Vivi menoleh. "Ya, kenapa, Bu?"
"Kamu ... mau join lagi di sanggar Ibu?"
Vivi tak menjawab pertanyaan itu, bahkan sampai tarian di panggung selesai. Setelahnya, ia berakting seolah-olah seseorang meneleponnya dan langsung berpamitan dengan Bu Lina.