Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #19

Kecemburuan dan Keterikatan

Galih terbangun karena sesuatu mendarat di pahanya. Ia menunduk dan menemukan sebuah bola karet kotor. Tak lama, seorang balita bersama ibunya mendatanginya untuk mengambil bola itu. Galih tersenyum maklum ketika si ibu meminta maaf.

Setelah kepergian sepasang ibu dan anak itu, Galih termenung. Pikirannya melayang pada mimpi yang barusan ia alami. Siapa Angreni? Kenapa tiba-tiba saja terlintas nama itu di kepalanya? Lagi pula kenapa wanita cantik itu memanggilnya Sekartaji? Terlebih lagi, Nabila juga turut hadir di sana.

Galih merunduk hingga dadanya menyentuh lutut. Ia pun meremas kepalanya yang berdenyut. Semakin ia memikirkan hal tersebut, semakin ia tak mengerti—otaknya seolah berubah jadi jalinan benang kusut yang sukar diurai.

"Mas Galih!"

Suara Nabila terdengar dari kejauhan. Galih cepat-cepat menegakkan tubuh dan mengubah raut wajahnya seperti sedia kala.

"Nabila, kenapa?" tanyanya ketika Nabila baru saja sampai.

"Si Mbok dari tadi cari-cari Mas, tahu! Habis, Mas ke kamar mandi aja lama banget."

Galih terkekeh malu. "Maaf, ya. Tadi rencananya Mas cuma mau duduk-duduk di sini. Tapi, ternyata ketiduran."

"Tuh, kan. Mbok tadi sudah kasih, ya. Kalau capek, Mas pulang saja. Bandel, sih!" omel Nabila sambil meraih tangannya. "Ya, sudah sekarang kita balik aja ke kios."

Pemuda itu mengangguk dan membiarkan tubuhnya ditarik Nabila. Selama perjalanan, adik sepupunya berkomentar tentang banyak hal. Tentang pedagang yang begini, pengunjung yang begitu. Tak lupa ia menceritakan pengalamannya saat mengikuti karnaval pagi tadi.

"Mas, tahu ndak, Neng Vivi datang ke sini, lo!" seru Nabila tanpa mengetahui perubahan raut wajah kakak sepupunya.

"Yang benar kamu?" Galih memandangi gadis kecil itu tak percaya.

Seolah-olah mengerti gestur yang diberikan Galih, Nabila pun menceritakan semuanya; dimulai dari dirinya yang diantar pulang oleh Bu Lina, pertemuan mereka dengan Vivi di tengah jalan, serta Bu Lina yang mengajak Vivi untuk melihat pasar malam. Akan tetapi, ia terpaksa melewati bagian di mana ia bertemu Vivi dengan kondisi berantakan. Ia tak ingin kakak sepupunya itu khawatir.

Perkataan Nabila membawa sedikit kekecewaan di dada Galih. Vivi bahkan menolak diajak kemari oleh ibunya, tapi begitu Bu Lina yang meminta, gadis itu langsung menyetujui. Ia buru-buru menghilangkan pikiran picik tersebut. Tentu saja Vivi lebih memilih mengikuti kata-kata Bu Lina karena wanita itu adalah salah satu orang yang paling dihormatinya.

Sesampainya di kios, Galih buru-buru bertanya keberadaan Vivi kepada sang ibu. Sayangnya, jawaban yang didapat membuatnya sedikit kecewa. Gadis itu ternyata baru saja pergi setelah mendapat panggilan telepon.

"Siapa yang telepon, Mbok?" tanya Galih, terdengar agak tak senang. “Nomor handphone Neng Vivi itu, kan, baru dan Galih yakin belum ada yang tahu selain kita dan teman kerjanya.”

"Bu Lina yang telepon. Memangnya kenapa kalau Bu Lina tahu nomor teleponnya Neng Vivi, Le?" jawab sang ibu tanpa menoleh. Pasalnya dia tengah sibuk membungkus jajanan pesanan pembeli.

Belum sempat Galih bertanya lebih jauh, Nabila sudah keburu memotong. "Bu Lina tahu dari aku, Mas!”

Galih menghela napas dalam-dalam. Ekspresinya sedikit melunak. "Oh, ya sudah. Ndak apa-apa.” Ia lantas mengambil alih pekerjaan ayahnya untuk menata kardus-kardus yang berisi barang dagangan.

*

Di lain tempat, ini pertama kali baginya mengunjungi pasar malam alun-alun meski sudah dua tahun tinggal di kota ini. Vivi terdiam di depan pintu masuk. Pagar besi yang cuma setinggi betis seolah membesar berkali-kali lipat. Ia juga merasa semua pasang mata tertuju padanya. Seakan-akan mereka tengah menelanjanginya beramai-ramai, lalu berniat melemparinya dengan batu sampai mati.

Gadis itu menunduk. Tangannya gemetar. Ah, seharusnya tadi ia tidak ke sini. Bersembunyi di kontrakan bobroknya jauh lebih baik daripada harus berbaur di antara kebisingan ini. Saat ia hendak kabur, panggilan Bu Lina masuk. Ia pun terpaksa berbalik walau sedikit enggan.

"Vivian, sudah lama menunggu?"

Vivi menggeleng pelan.

"Ya, sudah kalau begitu. Yuk, ibu antar buat lihat persiapan anak-anak. Kebetulan mereka lagi menunggu waktu pentas." Bu Lina melihat jam tangannya sekilas. "Tadi, kan, ibu sudah janji sama kamu."

Vivi tak menrespons tapi Bu Lina tahu kalau gadis itu setuju. Sambil tersenyum, wanita itu pun menggandeng lengan Vivi.

Tempat yang digunakan sebagai ruang rias bagi peserta pertunjukan adalah losmen yang terletak di selatan alun-alun. Saat mereka berdua melewati deretan kios yang menjual kerajinan, tiba-tiba Vivi berhenti. Ia pun melepas tangan Bu Lina lalu mendekati salah satu kios yang di depannya tergantung topeng kayu dengan berbagai macam rupa dan warna.

Lihat selengkapnya