Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #20

Negeri pemberontak

Selama ini hanya ada dua hal yang mampu menyita perhatian Dharmaja. Pertama, bagaimana caranya ia melepaskan diri dari bayang-bayang Rawisrengga. Kedua, bagaimana ia bisa bertahan hidup. Namun, setelah bertemu Angreni, tiba-tiba seluruh atensinya terpusat pada gadis kecil itu. Rasanya ia ingin mengetahui Angreni lebih dalam; tentang asal-usulnya, keluarganya, masa lalunya, dan semua hal yang belum ia ketahui. Berbekal niat tersebut, akhirnya pada suatu malam Dharmaja pun memberanikan diri untuk bertanya.

Selama beberapa saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis kecil itu. Dharmaja mengira jika Angreni tak mau bercerita. Ia pun memerintahkan Angreni untuk tidur dan melupakan pertanyaannya barusan. Namun, ketika membalik badan, Angreni mendadak bersuara. Suaranya terdengar lirih bagai embusan angin. Dengan kepala tertunduk ia menceritakan masa lalunya yang tak lepas dari kemalangan.

Angreni berkata ia tak ingat berasal dari mana. Sebab selama ini ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah bersama kelompok kecil yang juga masih kerabat dekatnya. Meski hidup nomaden, Angreni mengaku ia cukup bahagia. Namun, kebahagaian itu terenggut ketika mereka memutuskan untuk singgah di sebuah desa di lereng Gunung Wilis.

Setelah beberapa hari mereka menetap, Gunung Wilis tiba-tiba mengamuk. Awan panas serta lahar yang menyembur dari puncaknya membuat keluarganya tercerai-berai. Ia bersama kedua orang tuanya lari hingga ke daerah Kahyunan* untuk menyelamatkan diri. Seolah kemalangan terus menghantui tiap langkah, sejumlah bretya dari Daha datang menyergap. Sampai di sini, Dharmaja seperti diingatkan akan sesuatu. Hanya saja ia tak ingin menyela dan membiarkan Angreni melanjutkan ceritanya.

Ayahnya kemudian mati saat ingin melindunginya. Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat memerintahkan ibunya untuk membawa dirinya pergi sejauh mungkin. Setelah beberapa waktu terlunta-lunta, mereka tiba di Kalang*. Di sana pun sepertinya nasib buruk tak jua berakhir karena keduanya kemudian diculik oleh seorang wli wasya* dan dipekerjakan sebagai budak. Karena tak tahan dengan kehidupan keras seorang budak, mereka berdua pun melarikan diri. Naas, tak lama kemudian keduanya tertangkap dan dijual kepada pemimpin perampok gunung. Pemimpin itu mengatakan jika mereka ingin bebas, mereka harus membeli diri mereka sendiri seharga sepuluh kali lipat dari harga yang dibayarkannya kepada si wli wasya.

Dhamaja merasa dadanya seperti dihantam godam. Ia pun bergegas merengkuh tubuh ringkih Angreni ke dalam pelukannya. "Kau bilang, ayahmu dibunuh bretya dari Daha. Kesalahan apa yang ayahmu lakukan, Angreni?" tanyanya dengan suara bergetar. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk dari jawaban yang akan diutarakan Angreni nanti.

Angreni menggeleng ragu. "Tidak tahu. Tapi ... sebelum ibu membawaku pergi, aku sempat mendengar mereka menyebut kami sebagai orang Lwaram."

Lwaram. Negeri bawahan yang pernah dua kali memberontak. Yang pertama, rajanya, Wura Wuri berhasil menggulingkan Dharmawangsa—leluhurnya. Namun kemudian, Lwaram bisa ditaklukan oleh Airlangga. Sayangnya, dendam yang disimpan oleh keturunan Wura Wuri amat besar hingga mereka menggunakan kesempatan saat ayahnya merebut takhta Daha untuk kembali memberontak. Namun, tentu saja percobaan yang kedua juga gagal. Selicik apapun mendiang ayahnya, ia tetap menjunjung tinggi leluhur. Ayahnya tak akan segan untuk menghabisi siapapun yang berani mengusik ketentraman Daha.

Dharmaja merasa langit seketika runtuh di atas kepalanya. Firasatnya terbukti karena ia ingat betul saat usianya masih belia, ia pernah memimpin pengejaran sisa-sisa orang Lwaram yang berhasil melarikan diri ke Gunung Wilis. Namun, tanpa diduga gunung itu meletus. Kemudian, terdengar kabar beberapa orang Lwaram berhasil menyelamatkan diri ke daerah Kahyunan. Di sana, ia berhasi membunuh lelaki yang merupakan keturunan langsung dari Wura-Wuri.

Lelaki itu pun mengeratkan pelukannya. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Apakah ia harus tertawa atau mengutuk diri sendiri. Oh, apakah ini karma untuknya? Dulu, ia tak pernah ragu untuk membasmi orang Lwaram, tapi sekarang, ia malah melindungi Angreni—yang nyatanya merupakan keturunan terakhir dari Wura Wuri.

.

.

.

Angreni sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Dharmaja. Ia telah banyak berhutang budi pada lelaki itu tapi ia seakan tak kenal lelah memberikannya kebaikan yang melimpah. Sejujurnya Angreni ingin menolak semua kebaikan yang itu. Bukannya ia tak suka, hanya saja ... ia takut tak bisa membalasnya.

Gadis cilik itu memandangi titik-titik air yang menjuntai dari ujung rumput. Sudah genap tiga minggu dirinya menetap di desa ini. Dharmaja membeli sebuah rumah petani terbengkalai dan menyulapnya menjadi tempat yang nyaman ditinggali. Selain itu ia juga menyewa sepetak tanah untuk bercocok tanam.

Ketika Dharmaja pertama kali mengungkapkan niatnya untuk menetap, Angreni langsung memberondonginya dengan berbagai macam pertanyaan. Bukannya risih, Dharmaja malah menanggapinya dengan tawa dan berseloroh, "Aku bosan berkelana. Aku butuh rumah untuk pulang dan aku juga butuh orang yang akan mengurusiku, seperti kau misalnya."

Angreni mendesah, tapi kemudian, wajahnya mendadak sumringah ketika sosok Dharmaja datang dari kejauhan. Ia pun bergegas menghampiri lelaki itu.

"Ah, kau sudah bangun rupanya. Kau mau membersihkan diri dulu atau langsung ikut aku ke pasar?" Dharmaja yang baru kembali dari ladang bertanya. Di belakangnya, kuda kesayangannya meringkik dengan hasil bumi dan binatang buruan terikat di punggungnya.

"Aku sudah membersihkan diri sebelum kau pulang. Ada yang bisa kubantu?"

Dharmaja terkekeh, lalu tanpa aba-aba langsung mengangkat tubuh kecil Angreni dan meletakkannya di pelana kuda. "Kau cukup diam saja dan temani aku berjualan."

Di perjalanan menuju pasar, Angreni tak lelah menatap punggung Dharmaja. Punggung itu tegap, kekar, dan liat. Ia terlihat seperti bangsawan. Kalaupun ia mengaku sebagai pangeran, semua orang pasti akan dengan mudah percaya. Selain itu, ia juga pernah tak sengaja melihatnya membaca dan menulis di atas lontar malam-malam. Ia tak tahu isi lontar itu karena ia sendiri tak bisa membaca. Angreni yakin sekali Dharmaja bukanlah orang sembarangan. Lalu, kenapa Dharmaja malah memilih untuk hidup bersamanya? Ia bukan siapa-siapa. Wajah Angreni seketika mendung dan perasaan bersalah menyeruak. Bisa saja dirinya menjadi batu sandungan bagi Dharmaja di masa depan.

"Apa yang kau pikirkan? Jangan memasang wajah seperti itu, Angreni."

Suara Dharmaja dan ringkikan kuda menyadarkannya. Ia pun menggeleng dan dengan cepat mengubah raut wajahnya. "Aku tadi berpikir sudah saat kita menambah luas ladang. Sebab, sayuran yang kautanam, semuanya tumbuh dengan baik."

"Ide bagus. Nanti akan kupikirkan lagi," ucap Dharmaja sambil menepuk-nepuk kepala kudanya.

.

.

.

Pasar memang tak pernah sepi di pagi hari. Namun pagi ini, ada yang berbeda. Pasar tampak jauh lebih padat dari biasanya. Banyak sekali orang-orang berkumpul, terutama anak-anak.

"Ah, ada apa dengan ramai-ramai ini?" Dharmaja bermonolog dengan muka masam. "Angreni, coba lihat, tempat kita berjualan malah dijadikan tempat bermain. Ah, rasanya aku ingin sekali memukul bokong mereka."

Angreni terkikik kecil. Akan tetapi mendadak ekspresinya berubah saat telinganya mendengar tetabuhan gending dari kejauhan. Apakah ada yang sedang mengadakan hajatan?

Dharmaja seketika berseru, "Ah, aku ingat! Jadi ini yang dimaksud oleh istri si tuan tanah kemarin?"

Angreni menaggapi perkataan Dharmaja dengan tatapan ingin tahu.

"Hari ini jadwalnya rombongan seniman terkenal singgah di desa ini. Kau mau melihatnya, Angreni?" Dharmaja menatap gadis kecil itu sambil menunggu jawaban darinya.

"Bolehkah?" tanya Angreni ragu-ragu.

"Tentu boleh! Ayo, kita jual dulu barang dagangan kita sampai habis, baru setelah itu kita melihat pertunjukan. Aku bahkan berencana melihat pertunjukan itu sampai malam."

Tempat pertunjukan yang dimaksud Dharmaja tadi berada di tanah lapang dekat pasar. Tepat di sisi utaranya terdapat sungai kecil yang mengalir ke sawah-sawah penduduk. Sesuai janji, Dharmaja benar-benar mengajak Angreni ntuk melihat pertunjukan rombongan seniman setelah barang dagangan mereka terjual seluruhnya.

Rombongan seniman yang datang itu punya beragam pertunjukan. Di awal, ada atraksi akrobat yang dilanjutkan dengan suguhan lawak. Setelahnya, ada pertunjukan dari para penabuh gendang. Sore hari, giliran pementasan tari dan teratrikal yang dilakukan oleh orang-orang terlatih. Sedangkan malam harinya akan diadakan pergelaran wayang semalaman suntuk.

Selama menonton pertunjukan itu Angreni tak henti menampilkan beragam ekspresi, terkadang ia memekik dengan mata berbinar atau tertawa sampai keluar air mata. Dharmaja bersyukur karena Angreni telah menemukan kembali kebahagiannya. Diam-diam ia menikmati raut wajah Angreni dan berniat menjadikannya kenangan manis yang akan selalu ia ingat sampai roh meninggalkan raga.

Saat matahari mulai bergerak ke barat, orang-orang yang datang untuk melihat pertunjukan makin banyak, rombongan seniman itu pun memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum memulai pementasan tari. Dharmaja yang mengetahui itu kemudian mengajak Angreni untuk mengisi perut. Ketika mereka berdua menikmati makanan yang dibeli Dharmaja, beberapa orang dengan bahasa yang tak Angreni mengerti melintas. Angreni memandangi orang-orang itu seolah-olah mereka adalah patung dewa yang bisa berjalan.

Dharmaja yang menyaksikan itu pun terbahak. Angreni membalasnya dengan pandangan kesal.

"Jangan menatapku begitu," ucap Dharmaja sambil menahan tawa. "Apakah kau baru pertama kali mendengar bahasa orang Khmer*?"

"Orang Khamer?" Angreni menatapnya bingung.

"Mereka berasal dari daratan yang lumayan jauh. Butuh beberapa minggu berlayar di lautan untuk sampai ke negeri mereka," jelas Dharmaja.

"Laut?"

"Kau pernah melihat laut?"

Angreni menggeleng.

Lihat selengkapnya