Vivi berjalan gontai. Pikirannya dipenuhi gerakan tari permintaan Bu Lina untuk bergabung lagi di sanggar seninya dan berbagai kemungkinan yang mungkin akan mengikuti bila ia berkata setuju. Sejujurnya, keinginannya untuk kembali bergabung ke dunia tari begitu kuat, tapi apakah ia mampu mengejar ketertinggalan? Tanpa disadari, langkah kakinya membawanya sampai di pintu utama alun-alun.
Ia awalnya sempat ragu jika ia harus pulang melewati pintu utama alun-alun. Sebab, tempat itu dekat dengan kios Mbok Sum berada dan ia sedang tak ingin bertemu keluarga mantan asisten rumah tangganya itu. Alhasil, ia memilih untuk memutar dan keluar dari gerbang yang berada di bagian barat. Memang agak jauh, tapi itu lebih baik ketimbang harus berpapasan dengan Galih.
Sayangnya, pilihan yang ia ambil ternyata bermasalah lantaran persis di depan gerbang barat dirinya bisa melihat kerumunan orang tengah berkumpul. Entah sedang menonton apa, tapi dirinya yakin sekali kalau itu bukanlah sebuah pertunjukan. Dari posisinya berada sekarang, ia dapat mendengar teriakan lelaki yang bercampur dengan kasak-kusuk warga.
"Orangnya sedikit begini, ya?" seorang wanita paruh baya berkata sambil meletakan telunjuk yang diletakkan miring di atas dahi.
"Padahal ganteng orangnya, lo," timpal wanita lain, yang Vivi taksir seumuran dengan Mbok Sum.
"Kasihan, ya. Ganteng-ganteng tapi ndak normal begitu," ujar wanita yang lebih muda.
Vivi mendengkus jijik mendengar percakapan tiga orang di sampingnya itu. Apa mereka tidak memiliki pekerjaan sehingga bisa dengan mudah mengomentari kondisi orang lain? Sambil mengumpat ia pun melewati sekumpulan wanita bermulut sampah itu dan berjalan lurus membelah kerumunan di depan pintu gerbang, sampai tiba-tiba ada yangmenabraknya. Gadis itu terhuyung ke belakang. Untungnya ia cukup sigap untuk menjaga keseimbangan, jika tidak, mungkin ia sudah terjatuh dan terinjak-injak.
Tadinya, Vivi ingin memaki sipapun yang telah menabraknya. Akan tetapi, begitu ia menoleh, hawa dingin sekonyong-konyong merayap di punggungnya. Tepat di sampingnya, berdiri seorang laki-laki bersetelan hitam. Wajahnya pucat dengan dua bekas luka di bawah mata kanan hingga ke hidungnya. Gadis itu langsung membuang muka dan otomatis melangkah mundur lalu berbalik pergi. Ia tak mengerti, tapi instingnya mengatakan agar ia harus segera menjauhi lelaki itu secepatnya.
Pada akhirnya, meski enggan, ia terpaksa kembali ke gerbang gerbang utama alun-alun. Ia lantas menyembunyikan dirinya di antara pengunjung pasar malam sewaktu melewati kios Mbok Sum sambil berharap ia tak akan terlihat oleh Mbok Sum maupun Galih. Sayangnya, hal yang diharapkannya tak terjadi karena Nabila—yang kebetulan baru kembali dari kios penjual es krim— tak sengaja mengetahui keberadaannya.
Melihat Vivi di antara kerumunan pengunjung Nabila sempat berniat memanggilnya. Namun, ia akhirnya mengurungkan niatnya karena sungkan. Bisa dibilang, mereka adalah orang asing. Jika bukan karena paman, bibi, dan kakak sepupunya yang jadi penghubung di antara mereka, ia mungkin tidak akan mengenal satu sama lain. Jadi, ia memutuskan untuk membiarkan anak dari mantan manjikan bibinya itu pergi begitu saja jika memang dia tidak ingin mengunjungi kios bibinya.
Mengenai sosok Vivi, Nabila mengira dia adalah orang yang sangat arogan dan kasar. Akan tetapi, semakin bertambahnya usia, ia mulai mengerti jika sifat jelek gadis itu hanyalah tameng untuk melindungi dirinya yang rapuh.
Nabila menghela napas gusar. Ia tiba-tiba jadi kepikiran kejadian beberapa hari lalu. Malam itu, seperti biasa, bibinya memerintahkan dirinya mengantarkan makanan untuk Vivi. Sesampainya di sana, dia terperanjat mendapati pintu depan kontrakannya tak terkunci. Begitu masuk, tak ada satu pun lampu yang menyala hingga rumah dalam keadaan gelap gulita. Karena hal itu ia berinisiatif untuk membuat ruangan itu terang-benderang. Sayangnya, belum sempat ia menemukan sakelar lampu, Vivi sudah terlebih dulu melakukannya.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Vivi tanpa ada emosi dalam suaranya.
“Na—Nabil ke sini mau antar makanan buat Neng Vivi," katanya sembari mencoba menormalkan jantungnya yang nyaris berhenti berdetak karena kaget.
"Saya sudah bilang, kalian nggak perlu repot-repot antar saya makanan. Saya udah kerja sekarang."
"Tapi, Neng Vivi baru kerja sehari, jadi pasti belum dapat gaji, kan?" balas gadis kecil itu cepat.
"Saya masih ada uang peninggalan ibu saya. Kamu nggak usah khawatir."
Nabila meremat pegangan rantang yang dibawanya. "Kalau begitu. Untuk hari ini aja, ya. Nanti Nabil bilang sama si Mbok kalau besok ndak usah lagi antar makanan buat Neng Vivi, bagaimana?"
"Ya, terima kasih." Vivi berbalik, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Nabila buru-buru meletakkan rantang berisi nasi dan lauk-pauk di meja. Begitu berbalik, pemandangan yang tersaji di depan dapur membuatnya kaget setengah mati. Layaknya di film-film horor, ia mendapati tali tambang menggantung di kusen pintu dapur. Terdapat simpul besar di salah satu ujung tali yang menjuntai. Kakinya melemas seketika.
"Kenapa kamu belum pulang?" Vivi bertanya risi karena masih mendapati Nabila belum juga pergi. Padahal dia sendiri telah selesai berganti baju.