Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #21

Negeri Pemberontak

Selama ini hanya ada dua hal yang mampu menyita perhatian Dharmaja. Pertama, bagaimana caranya ia melepaskan diri dari bayang-bayang Rawisrengga. Kedua, bagaimana ia bisa bertahan hidup. Namun setelah bertemu Angreni, tiba-tiba saja seluruh atensinya terpusat pada gadis kecil itu. Rasanya ia ingin mengetahui Angreni lebih dalam; tentang asal-usulnya, keluarganya, masa lalunya, dan semua hal yang belum ia ketahui. Berbekal niat tersebut, akhirnya pada suatu malam dirinya pun berinisiatif untuk bertanya.

Selama beberapa saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis kecil itu. Dharmaja mengira jika Angreni tak mau bercerita. Ia pun memerintahkan Angreni untuk tidur dan melupakan pertanyaannya barusan. Namun, ketika membalik badan, gadis kecil itu mendadak bersuara. Suaranya terdengar lirih bagai embusan angin. Dengan kepala tertunduk ia menceritakan masa lalunya yang tak lepas dari kemalangan.

Angreni berkata ia tak ingat berasal dari mana. Sebab selama ini ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah bersama kelompok kecil yang juga masih kerabat dekatnya. Meski hidup nomaden, gadis kecil itu mengaku ia cukup bahagia. Namun, kebahagaian itu terenggut ketika mereka memutuskan untuk singgah di sebuah desa di lereng Gunung Pawinihan.

Setelah beberapa hari mereka menetap, Gunung Pawinihan tiba-tiba mengamuk. Awan panas serta lahar yang menyembur dari puncaknya membuat keluarganya tercerai-berai. Ia bersama kedua orang tuanya pun menyelamatkan diri daerah Kahyunan1. Ibarat kemalangan terus menghantui tiap langkah, sejumlah bretya dari Daha datang menyergap. Sampai di sini, Dharmaja seperti diingatkan akan sesuatu. Hanya saja ia tak ingin menyela dan membiarkan Angreni melanjutkan ceritanya.

Ayahnya kemudian mati saat ingin melindunginya. Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat memerintahkan ibunya untuk membawa dirinya pergi sejauh mungkin. Setelah beberapa waktu terlunta-lunta, mereka tiba di Kalang2. Di sana pun sepertinya nasib buruk tak jua berakhir karena keduanya kemudian diculik oleh seorang wli wasya3 dan dipekerjakan sebagai budak. Karena tak tahan dengan kehidupan keras seorang budak, mereka berdua pun melarikan diri. Naas, tak lama kemudian keduanya tertangkap dan dijual kepada pemimpin perampok gunung. Pemimpin itu mengatakan jika mereka ingin bebas, mereka harus membeli diri mereka sendiri seharga sepuluh kali lipat dari harga yang dibayarkannya kepada si wli wasya.

Dhamaja merasa dadanya seperti dihantam godam. Ia pun bergegas merengkuh tubuh ringkih Angreni ke dalam pelukannya. "Kau bilang, ayahmu dibunuh bretya dari Daha. Kesalahan apa yang ayahmu lakukan, Angreni?" tanyanya dengan suara bergetar. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk dari jawaban yang akan diutarakan Angreni nanti.

Angreni menggeleng ragu. "Tidak tahu. Tapi, sebelum ibu membawaku pergi, aku sempat mendengar mereka menyebut kami sebagai orang Lwaram."

Dharmaja merasa langit seketika runtuh di atas kepalanya. Lawaram, negeri yang pernah dua kali memberontak. Pemberontakan pertama terjadi ketika rajanya, Wurawari, yang bekerja sama dengan Sriwijaya berhasil menggulingkan Medang, kerajaan awal yang menjadi cikal bakal sebelum Panjalu dan Janggala terpecah. Namun, pada akhirnya Lwaram mampu dikalahkan oleh Airlangga, leluhurnya yang juga merupakan penyelamat Medang. Walaupun telah dikalahkan, rupanya dendam Wurawari teramat besar sehingga mereka menggunakan kesempatan saat ayahnya melakukan kudeta untuk kembali memberontak. Meski begitu, percobaan kedua tersebut lagi-lagi gagal. Lwaram pun hancur dan orang-orang yang tersisa dari negara tersebut pun tercerai-berai.

Mengetahui pemberontakan kedua yang dilakukan oleh keturunan Wuwari membuat ayahnya yang telah berhasil menjadi maharaja Panjalu memberikan mandat untuk menghabisi siapa pun yang berani mengusik ketentraman negara. Ketika itu Dharmaja masih belia. Ia ditugasi untuk memimpin pengejaran sisa-sisa orang Lwaram yang berhasil melarikan diri ke Gunung Pawinihan. Namun, tanpa diduga gunung itu meletus. Sesudah bencana itu ia mendengar kabar beberapa orang Lwaram yang berhasil menyelamatkan diri kabur ke daerah Kahyunan. Ia pun tak tinggal diam dan tetap mengejar para pemberontak itu. Setelah beberapa hari melakukan pengejaran, akhirnya ia menangkap dan membunuh semuanya, termasuk lelaki yang merupakan keturunan langsung dari Wurawari.

Lelaki itu pun mengeratkan pelukannya. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Apakah ia harus tertawa atau mengutuk diri sendiri setelah mendengar cerita Angreni. Apakah ini karma untuknya? Dulu, ia tak pernah ragu untuk membasmi orang Lwaram, tapi sekarang, ia malah melindungi Angreni—yang nyatanya merupakan keturunan terakhir dari Wurawari.

*

Angreni sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Dharmaja. Ia telah banyak berutang budi pada lelaki itu tapi ia seakan tak kenal lelah memberikannya kebaikan yang melimpah. Sejujurnya Angreni ingin menolak semua kebaikan yang itu. Bukannya ia tak suka, hanya saja ... ia takut tak bisa membalasnya.

Gadis cilik itu memandangi titik-titik air yang menjuntai dari ujung rumput. Sudah genap tiga minggu dirinya menetap di desa ini. Dharmaja membeli sebuah rumah petani terbengkalai dan menyulapnya menjadi tempat yang nyaman ditinggali, serta menyewa sepetak tanah untuk bercocok tanam.

Sewaktu Dharmaja pertama kali mengungkapkan niatnya untuk menetap, Angreni langsung memberondonginya dengan berbagai macam pertanyaan. Bukannya risi, lelaki itu malah menanggapinya dengan tawa dan berseloroh, "Aku bosan berkelana. Aku butuh rumah untuk pulang dan aku juga butuh orang yang akan mengurusiku, seperti kau misalnya."

Angreni mendesah, tapi kemudian, wajahnya mendadak semringah saat sosok Dharmaja datang dari kejauhan. Ia pun bergegas menghampiri lelaki itu.

"Kau sudah bangun rupanya. Kau mau membersihkan diri dulu atau langsung ikut aku ke pasar?" Dharmaja yang baru kembali dari ladang bertanya. Di belakangnya, kuda kesayangannya meringkik dengan hasil bumi dan binatang buruan terikat di punggungnya.

"Aku sudah membersihkan diri sebelum kau pulang. Ada yang bisa kubantu?"

Dharmaja terkekeh. Tanpa aba-aba langsung mengangkat tubuh kecil Angreni dan meletakkannya di atas kuda. "Kau cukup diam saja dan temani aku berjualan."

 

Di perjalanan menuju pasar, Angreni tak lelah menatap punggung Dharmaja yang tegap dan kekar. Lelaki itu begitu berwibawa. Bila lelaki itu mengaku sebagai pangeran pun semua orang pasti akan percaya tanpa ragu.

Dia jadi teringat suatu malam tanpa sengaja melihat Dharmaja sibuk membaca dan menulis di atas lontar. Ia tak tahu isi lontar itu karena dia buta huruf, tapi karena hal tersebut dirinya meyakini bahwa Dharmaja bukanlah orang biasa. Akan tetapi, di balik itu semua, ada satu pertanyaan besar yang terus bergelayut di pikirannya; mengapa lelaki itu malah memilih untuk hidup bersamanya? Ia bukan siapa-siapa.

Lihat selengkapnya