Seumur hidup, sudah tiga kali ia merasa hidupnya sungguh payah dan tak berguna. Orang tuanya mati demi dirinya. Sekarang Dharmaja pun pasti tengah berjuang hidup setelah berusaha menyelamatkannya. Angreni tergugu dalam keadaan tangan dan kaki terikat, serta mata yang ditutup kain hitam. Ia ingin bertemu Dharmaja untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja.
Pedati yang membawanya tiba-tiba berhenti, kemudian disusul dengan teriakan Pu Watabwang. "Malam ini, kita akan menginap di sini. Sebentar lagi badai dan perjalanan ke Bandar Lor* akan sangat berbahaya karena jalan yang akan kita lewati rawan longsor dan banjir bandang."
Memang benar, bau hujan sudah tercium dan gemuruh dari langit juga telah terdengar; pertanda sebentar lagi akan terjadi hujan badai.
Pu Watabwang berseru lagi, "Coba cek keadaan bocah itu. Jangan sampai dia mati!"
Seseorang naik ke pedati lalu menjulurkan tangannya ke depan hidungnya. Demi mengelabui mereka, Angreni berpura-pura masih tak sadarkan diri.
"Dia masih bernapas, Tuan!"
"Bagus. Sekarang bawa dia ke dalam."
Angreni berusaha untuk tak membuat pergerakan kala seseorang membopongnya. Ia hampir saja mengumpat saat dirinya dilempar begitu saja seperti bongkahan kayu ke atas dipan. Desisan kecil tak sengaja lolos ketika lukanya bergesekan dengan ujung tilam yang berlubang.
Beruntung, karena kejadian itu penutup matanya mengendur. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengintip keadaan. Kamar yang ditempatinya sungguh menyedihkan; kayu penyangga rumah reyot dimakan rayap dan ada beberapa lubang di atap hingga ia bisa melihat langsung kilat serta langit malam yang memerah. Ia sendiri tak yakin dirinya bisa selamat dari hujan badai. Bisa saja ketika pagi dirinya sudah mati karena tertimpa atap yang rubuh.
"Kangmas, kau yakin bocah itu masih tak sadarkan diri?"
Sekujur tubuh Angreni menggigil menahan amarah. Itu suara wli wasya yang pernah menculiknya! Kalau bukan karena lelaki itu, mungkin ibunya masih hidup dan bersama dirinya sekarang.
"Ya. Aku sudah menekan titik syarafnya. Aku yakin dia baru akan sadar besok."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan dengannya? Menjualnya lagi?"
"Tidak."
"Kenapa? Apa kau berniat menjadikannya budak? Kudengar kau kekurangan pekerja."
"Bocah sialan itu memang telah menghabiskan sebagian hartaku untuk ganti rugi. Karena itu aku berniat menjadikannya jalir di Bandar Lor. Lagipula, apa kau lupa jika aku telah menemukan beberapa budak dengan keahlian layaknya mangrumbi*? Awalnya aku curiga mereka adalah murid dari salah seorang Empu terkenal, tapi sepertinya itu tak mungkin mengingat mereka hanyalah orang-orang nomaden miskin."
Dijadikan jalir? Ia lebih baik mati jika diharuskan menjual diri. Usahanya untuk melepaskan tali yang mengikatnya makin kuat, tak peduli jika hal itu membuat luka-luka baret tercetak di pergelangan tangannya.
Tak lama, suara Pu Watabwang dan adiknya terdengar menjauh. Sebelum pergi ia memerintahkan dua anak buahnya untuk berjaga di depan pintu. Angreni bersyukur karena hanya dua orang. Kalau lebih dari itu kesempatannya untuk melarikan diri sudah bisa dipastikan tidak ada.
Gadis kecil itu beringsut turun, tapi di tengah perjalanan petir tiba-tiba menyambar yang diikuti dengan turunnya hujan. Tubuhnya seketika menegang dan tak bisa digerakkan. Dulu, jika mendengar petir ia akan langsung bersembunyi di dalam pelukan ibunya. Namun sekarang, ia tak punya tempat berlindung.
Angreni menggeleng, berusaha menghalau rasa takutnya. Ia tak boleh kalah di sini. Maka, dengan segala keberanian yang tersisa, ia bergerak lagi. Sayangnya, belum sempat kakinya menyentuh tanah. Kain yang melilit tungkainya tersangkut sesuatu. Ketika mengecek, ia menemukan retakan besar pada dipan. Seperti mendapatkan berkah dewa, mendadak Angreni mendapatkan ilham. Ia mulai menekan-nekan retakan itu dengan sekuat tenaga sambil berusaha menimbulkan suara seminim mungkin.
Beberapa saat berlalu, meski badan sudah basah kuyup akibat hujan dan kamar yang di tempatinya pun sudah menyerupai kandang babi karena genangan air yang bercampur tanah, ia tetap tak berhenti. Sebab, ia harus keluar dari jeratan Pu Watabwang malam ini atau tidak selamanya.
Pada percobaannya yang keseratus sekian, usahanya berhasil. Sebagian kayu yang retak itu patah dengan ujung tajam yang mencuat.
"Hei, kau dengan sesuatu?" salah seorang penjaga berucap setelah ia mendengar bunyi patahan kayu dari dalam kamar.
Angreni merasa jantungnya seperti jatuh ke lambung ketika salah satu penjaga di luar berbicara. Tanpa sadar ia menahan napas dan kembali pura-pura tak sadarkan diri.
"Dengar apa?" sahut penjaga yang lain. "Dengan suara guntur?"
"Bukan. Bukan itu! Aku mendengar suara berisik dari dalam."
"Ah, kau hanya melindur. Sudah, aku kedinginan dan kelaparan di sini. Aku akan mengambil makanan untuk kita. Lagi pula bocah itu tak akan bangun dengan segera."
"Hei! Dengarkan aku dulu!"
Angreni menghembuskan napas lega ketika suara kedua orang penjaga kian menjauh. Tak mau buang waktu, ia segera menggesekkan tali di tangannya dengan patahan kayu itu. Setelah beberapa saat mencoba, tali yang mengikat tangannya melonggar. Usahanya tak sia-sia. Sebentar lagi ia bebas!
Ketika ia telah berhasil membuka seluruh ikatan di kaki dan tangan, tiba-tiba seorang penjaga masuk. Jantungnya seakan-akan berhenti berdetak saat itu juga. Si penjaga menghampirinya dengan raut murka dan hendak memukulnya. Untungnya Angreni mampu berkelit dari serangan dan menyempatkan diri untuk menendang tempurung lutut si penjaga. Penjaga itu terjatuh dan memaki-maki dengan brutal. Terima kasih pada hujan deras yang membuat ruangan itu seperti kubangan babi sehingga pergerakan si penjaga jadi kurang tangkas. Setelah berhasil menghindar, Angreni menggunakan kesempatan itu untuk berlari keluar.
Di bawah derasnya hujan, Angreni mampu melihat anak buah Pu Watabwang yang lain ikut mengejarnya. Angreni tak peduli dan terus berlari hingga ia memasuki hutan. Salah satu keahlian yang ia kuasai setelah bertahun-tahun menjadi perampok gunung adalah bersembunyi. Angreni seolah-olah telah menyatu dengan pekatnya malam, Ditambah lagi badai masih mengamuk. Tak ada satu pun anak buah Pu Watabwang yang berhasil menemukan Angreni hingga pagi menjelang.
.
.
.
Selama lima hari ini Angreni terus berlari tanpa henti hingga ia sampai di desa asing. Sudah berhari-hari tak ada satupun makanan yang masuk ke lambung membuat Angreni mencapai batasnya. Ia sudah tak sanggup lagi berjalan. Dirinya ambruk di pinggir jembatan.
Tidak. Dia tidak boleh mati di sini. Angreni berusaha mempertahankan kesadaran, tapi rasanya sangat sulit.
"Kau tidak apa-apa?"
Saat kesadarannya hampir hilang, samar-samar ia mendengar suara yang begitu halus dan ringan seperti gemerincing lonceng pandita. Ia mencoba mengangkat kelopak matanya yang terasa amat berat. Di hadapannya kini tampak sosok seorang gadis cilik tersenyum manis.
"Kau tidak apa-apa?" tanya gadis cilik itu lagi. "Bibirmu biru. Badanmu juga dingin sekali."
Angreni merasa tangannya digenggam erat. Rasanya hangat dan nyaman.
"Apa aku perlu membawamu pada walyan*? Aku kenal dengan walyan desa ini. Rumahnya pun tak jauh dari sini."
Angreni menggeleng lemah.
"Ta-tapi kau bisa mati." Raut kekhawatiran sangat kentara di wajah gadis cilik itu. Angreni menduga jika usianya mungkin hanya beberapa tahun di bawahnya.
Sambil tersenyum kecil Angreni berkata, "Cukup berikan aku makanan. Aku pasti akan baik-baik saja."
"Makanan? Sebentar. Aku punya ini." Gadis cilik itu membuka bungkusan daun pisang yang berisi kudapan manis. Dengan segera ia menyuapkan kudapan itu langsung ke mulut Angreni.
Angreni mengunyah lamat-lamat. Rasa manis yang lumer di lidah membuat suasana hatinya membaik. "Siapa namamu?"
Gadis cilik itu menatap Angreni dengan mata bulatnya. Raut khawatir berubah menjadi senyuman. "Unengan," jawabnya sembari menyuapi Angreni kembali. "Kalau kau?"
"Angreni." Angreni tertawa kecil. "Unengan, terima kasih. Kalau tidak ada dirimu, aku yakin sudah mati."
"Kakakku selalu berpesan kepadaku jika aku harus selalu berbuat baik kepada sesama."
"Meskipun aku orang asing?" Angreni bertanya heran.
"Meskipun terhadap orang asing." Unengan berkata penuh afirmasi.
"Kakakmu baik sekali." Membayangkan kata kakak, entah mengapa Angreni teringat pada sosok Dharmaja. Baginya Dharmaja telah menjadi sosok kakak, guru, sekaligus pengganti ayah.
Senyum simpul Unengan tiba-tiba saja menghilang. "Tapi, aku sudah lama tak bertemu kakakku itu. Aku bahkan tidak tahu di mana keberadaannya."
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Angreni menggenggam tangan Unengan. "Aku yakin suatu saat kau pasti akan bertemu dengan kakakmu lagi.
Unangan mengangguk. "Ya, aku juga yakin kalau aku akan segera bertemu dengannya." Gadis cilik itu terkesiap ketika seseorang memanggilnya. Ia menoleh ke belakang dan menemukan seorang wanita dewasa melambaikan tangan padanya. "Ah, sepertinya aku harus pergi. Sudah saatnya aku kembali. Aku letakkan sisanya di sini, ya." Gadis kecil itu pun lekas berdiri setelah meletakkan sisa kudapan di dekat kepala Angreni. Begitu ia hendak pergi, Angreni mendadak menghentikannya.
"Tunggu, aku boleh tanya sesuatu?" Angreni melanjutkan tanpa menunggu persetujuan Unengan. "Kau tahu nama daerah ini?"
Unengan mengangguk semangat. "Kau sedang berada daerah Panumbangan, Angreni. Kalau begitu sampai jumpa. Semoga kita bisa bertemu lagi."
"Ya, semoga kita bertemu lagi," ucap Angreni sebelum ia menutup mata dan jatuh tertidur.
.
.