Wajah Dharmaja seketika mengeras. Ia sangat mengenali suara itu. Tanpa berbalik ia membalas, "Oh, sudah lama sekali kita tak bersua. Mohon maaf atas kelancangan hamba, tapi tuan putri yang ada digendonganku ini sangat kelelahan, jadi aku tak ada waktu untuk meladenimu." Ia menyentak tangannya dan melanjutkan langkah.
Rawisrengga mengatup rahangnya kuat-kuat hingga urat-urat kemarahan di dahinya tercetak jelas. Dengan langkah lebar ia berjalan melewati Dharmaja dan berhenti tepat di hadapan lelaki itu. "Aku tidak mengerti kenapa begitu membenciku? Tak tahukah kau selama dua tahun ini aku terus mencarimu, Raka!"
"Mencariku?" Dharmaja mendengkus geli. "Kukira selama ini kau melepas status kebangsawananmu dan berkelana bersama kelompok seniman. Ya, aku tahu kau memang sangat berbakat di bidang seni," ujarnya dengan nada mencela.
"Aku melakukan semua ini sebagai penyamaran! Aku bersama Paman Nawarsa tengah mengumpulkan kekuatan dari seluruh penjuru negeri." Rawisrengga terlihat tak senang, tapi ia berusaha menutupinya.
Dharmaja tahu siapa Paman Nawarsa yang dimaksud. Lelaki itu adalah penyusun strategi kompeten. Dialah dulu yang ikut andil membantu ayahnya untuk merebut takhta. Atas jasanya itu ia dinobatkan sebagai Rakryan Kanuruhan setelah tampuk kekuasaan Panjalu jatuh ke tangan ayahnya. Lewat tangan dinginnya juga Panjalu selalu meraih kesuksesan dalam menaklukkan kerajaan bawahan. Sayangnya, hal itu hanya terjadi beberapa tahun karena Paman Nawarsa memilih untuk menyingkir dari hingar bingar istana setelah mempersunting seorang acari. Setelah itu ia tak mendengar kabar apa-apa lagi kecuali tentang dirinya yang menetap di Panumbangan1.
Lelaki itu pun mengangguk, merasa lega meski sejujurnya itu hanya kepura-puraan belaka. "Aku bangga padamu, Adikku. Akhirnya kau mampu membuat keputusan sendiri. Kau memang berhak mendapatkan takhta itu. Mungkin dengan adanya aku, aku hanya akan jadi batu sandungan untukmu."
"Raka!" Rawisrengga berteriak. "Tak bisakah kau berhenti membahas persoalan itu?"
Mendengar teriakan Rawisrengga, Angreni yang terlelap dalam gendongan Dharmaja terusik. Bulu matanya bergetar, seolah-olah ia hendak bangun saat itu juga. Dharmaja yang mengetahui itu pun langsung menggumamkan sebuah lagu untuk menenangkannya. "Mohon maafkan hamba. Hamba izin undur diri untuk menidurkan tuan putri ini."
Sesungguhnya Rawisrengga penasaran dengan sosok gadis kecil yang berada dalam gendongan Dharmaja, tapi ia kenal betul dengan sifat kakaknya ini. Kakaknya tidak akan mungkin menjawab pertanyaan yang bersifat pribadi. Ketika sang kakak melewatinya, wajah Rawisrengga diselubungi gundah. "Raka," panggilnya putus asa. "Kembalilah. Aku membutuhkanmu. Mari kita bersama merebut Panjalu kembali."
Dharmaja tak menanggapi perkataan adiknya itu dan terus melangkah tanpa ragu menuju rumahnya. Rumah yang selama ini selalu ia impikan. Rumah yang hanya berisi kebahagiaan tanpa adanya intrik, kecemburuan, dan persaingan.
Bertahun-tahun yang lalu, ia adalah sosok paling naif dengan berjuang segenap tenaga demi mendapatkan pengakuan sang ayah. Namun, seorang putra dari selir memangnya bisa apa? Tak peduli seberapa banyak keringat dan darah yang ia keluarkan, dia akan tetap kalah. Sedangkan Rawisrengga, sang putera mahkota yang tiap hanya memikirkan tentang seni, bisa dengan mudah meraih puncak tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Dunia memang tak seadil itu.
Dengan mantap Dharmaja meninggalkan Rawisrengga bersama kenangan buruk tentang masa lalunya. Di sisi lain, rupanya Angreni telah terbangun dan ia sempat mendengar ucapan terakhir Rawisrengga. Tebakannya tepat. Ternyata laki-laki itu memang bukan orang biasa. Biar begitu, ia tak berniat mencari tahu. Jika lelaki itu tak mau bercerita, maka ia akan membiarkannya. Ia merasa tak berhak mengulik masa lalu lelaki itu.
Keeseokan paginya entah mengapa Dharmaja masih merasa gelisah. Sebenarnya ia enggan untuk meninggalkan Angreni, tapi mereka masih harus melanjutkan hidup, terlebih lagi ladang yang ia urus tak mungkin ia tinggalkan begitu saja. Karena ketakutannya ini, ia pun menyempatkan diri untuk memberi wejangan panjang kepada gadis kecil itu sebelum pergi. Intinya, ia ingin Angreni tetap di rumah dan jangan membukakan pintu bagi siapapun sampai dirinya kembali.
Awalnya Angreni menolak karena persediaan kayu bakar mereka sudah menipis, tapi begitu melihat ketakutan di mata Dharmaja, ia memutuskan untuk mematuhi perkataan lelaki itu.
Dharmaja kemudian berangkat. Akan tetapi, di tengah perjalanan menuju ladang, ia memutuskan untuk pulang. Hatinya hari ini benar-benar berat untuk meninggalkan Angreni sendirian.
"Kau sudah pulang? Cepat sekali. Aku yakin kau baru sepuluh langkah meninggalkan rumah. Di luar bahkan ayam-ayam belum bangun." Gadis kecil itu tertawa, tapi Dharmaja malah memeluknya erat.
"Biarkan seperti ini sebentar," ucap laki-laki itu dengan suara goyah.
"Baiklah." Angreni menurut. Namun, dahinya mengerut kala merasakan debaran jantung Dharmaja yang tak biasa. "Raka," panggilnya setelah mereka berdiam dalam posisi seperti itu dalam waktu yang cukup lama.
"Diamlah, Angreni. Suasana hatiku sedang tidak bagus," balas lelaki itu blak-balakan.
Hal ini tentu mengundang kekesalan dalam hati Angreni. Gadis kecil itu segera melepaskan diri dari kungkungan Dharmaja. "Aku akan memasak air. Kau tunggu saja di sini."
"Tidak!" Dharmaja segera meraih lengannya. "Kau tetap di sini bersamaku." Ia mengecangkan pegangannya saat mendengar kerosak dari luar. Tatapannya berubah waspada.
Tiba-tiba, pintu rumah mereka menjeblak terbuka setelah ditendang seseorang. Kemudian, segerombolan orang bersenjata masuk dan langsung memenuhi rumahnya yang sempit. Jika dihitung jumlah mereka mencapai belasan. Ia menduga di luar mungkin saja masih ada anggota kawanan mereka yang lain.