"Unengan!"
Seorang remaja lelaki yang baru memasuki usia remaja meloncat dari kuda. Dengan tangan gemetar ia meraih tubuh Unengan lalu memeluknya erat-erat. "Kau aman sekarang. Maafkan aku karena telah memarahimu tadi. Kumohon, jangan pernah ... jangan pernah pergi sendirian lagi."
Mendengar suara yang begitu familier, Unengan perlahan membuka mata. "Raka Miruda?"
"Ya, aku di sini, Unengan. Aku di sini." Remaja lelaki itu makin mengeratkan pelukannya.
"Raka, Tolong selamatkan Angreni," ucap Unengan sambil menunjuk arah yang tadi sempat dilalui gerobak yang membawa Angreni. Beberapa saat kemudian gadis cilik itu kembali tak sadarkan diri.
"Rahadyan, apa yang harus kita lakukan sekarang? Langit mulai gelap. Sebentar lagi akan turun hujan." Salah satu pemuda yang ikut dalam rombongan Miruda bertanya.
Miruda melihat langit. Awan mendung yang hitam mulai berkumpul di satu tempat. "Kau bawa pulang Unengan. Sisanya, ikut denganku. Aku masih punya urusan dengan orang-orang yang telah menculik Unengan," ucapnya dengan ekspresi keras.
Lima kuda lantas terbagi dua. Satu kuda yang ditugaskan membawa Unengan kembali ke tempat persembunyian, sementara sisanya mengikuti jejak-jejak roda pedati yang berjalan pelan menuju arah barat.
Miruda mencengkeram tali kekang kudanya kuat-kuat. Matanya menatap nyalang. Dalam hatinya ia bersumpah bahwa dirinya tak akan melepaskan siapa pun yang telah melukai adik satu-satunya.
Di sisi lain, Angreni tak tahu apakah ia mesti meratap atau merasa lega. Pasalnya Pu Watabwang beserta adiknya tak ada desa ini. Mereka berdua dikabarkan akan menghadiri upacara penetapan sima1 di Desa Angin2. Sebelum pergi, Pu Watabwang memberi mandat kepada para anak buahnya, yaitu mereka bisa bebas melakukan apa pun kepada Angreni—termasuk menggunakan tubuhnya sebagai pemuas nafsu binatang mereka.
Kini Angreni bagaikan buruan lezat yang dikerumuni kawanan singa lapar. Ia hanya bisa terdiam seperti patung batu ketika tangan-tangan kotor itu menggerayangi tubuhnya. Kepalanya menoleh ke samping. Dari jendela ia bisa melihat hujan mengguyur dengan deras, seakan-akan hujan menggantikan air matanya yang telah habis terkuras.
Siapapun ... tolong aku ...
Tiba-tiba, pintu mendadak menjeblak terbuka. Di antara kesdarannya yang masih tersisa Angreni melihat beberapa orang bercadar masuk dan langsung menghajar anak buah Pu Watabwang tanpa ampun. Kemudian, samar-samar ia mendengar suara seseorang memanggil namanya.
"Raka ... kau kah itu?" gumamnya sebelum matanya tertutup sempurna.
*
Segera setelah luka-lukanya mengering, Dharmaja bersikeras untuk mencari Angreni meski berulang kali keputusannya itu ditentang oleh Rawisrengga. Sebab, menurut sang adik, luka-luka di tubuh laki-laki itu masih belum pulih benar.
"Tapi kita belum mendapatkan informasi tentang mereka. Tunggulah beberapa saat lagi, Raka," ucap Rawisrengga mencoba sabar. Ia mengambil obat oles dari meja dan berniat untuk mengoleskan obat itu di luka-luka kakaknya.
"Aku tidak bisa menunggu, sialan!" seru Dharmaja. Ia lalu menampar tangan Rawisrengga yang menyentuh luka di samping kanan perutnya.
Rawisrengga meletakkan obat oles itu kembali ke meja dengan sedikit hentakan.Ia lalu menghela napas berat. "Baiklah. Aku mengizinkanmu untuk pergi, tapi ada satu syarat."
Senyum meremehkan Dharmaja lemparkan kepada adiknya itu. "Siapa dirimu sampai-sampai aku harus meminta izinmu? Kau bahkan sudah tak memiliki kekuasaan sedikit pun. Jangan berlagak seperti raja.”
Bukannya marah seperti keinginan Dharmaja, Rawisrengga malah mendengkus geli. “Dengar, Raka. Kau boleh mencemoohku sesukamu. Aku tak akan marah karena memang ucapanmu benar. Namun yang perlu kau tahu, aku sungguh-sungguh ingin membantumu. Sekarang, katakan kepadaku, di mana kau mau mencari Angreni? Kau punya petunjuk?”
Dharmaja bergeming.
“Aku mengartikan itu sebagai tanda setuju darimu, Raka. Jadi, biarkan kita menunggu sampai orang suruhanku datang memberi kabar.”
Sesaat setelah Rawisrengga berucap, Paman Nawarsa yang baru kembali dari pasar masuk ke dalam bersama seorang pemuda yang merupakan pembawa pesan dari ibunya yang berada di persembunyian. Pemuda itu kemudian berlutut dan mengangkat sembah setelah melihat Rawisrengga. Dharmaja mendengkus geli dan hampir saja mengejek mereka.
"Mengapa kau datang kemari. Apakah ada kabar buruk dari ibuku?" Rawisrengga memandangi pemuda itu, lalu mengalihkan perhatiannya Paman Nawarsa untuk meminta penjelasan. Sementara itu, Dharmaja yang luput dari pandangan adiknya pun menggunakan kesempatan itu bangkit dari tempat tidur dan membereskan perbekalan miliknya. Tekadnya untuk segera pergi sudah bulat.
"Mohon maafkan kelancangan hamba, Rahadyan. Maksud kedatangan hamba kemari untuk membawa pesan dari Rahadyan Miruda."
Rawisrengga diam-diam menghela napas lega. "Kabar apa itu?" tanyanya tak sabar.
"Sang Ahadyan3 Unengan sempat diculik oleh pedagang budak," kata si pembawa pesan tanpa berani mengangkat wajah.
Mendengar nama Unengan, Dharmaja otomatis berhenti bergerak. Tak bisa dipungkir ia memang membenci Rawisrengga, tapi tidak dengan Unengan. Adik perempuan satu-satunya itu adalah orang yang mampu sedikit melunakkan hatinya yang sekeras batu.