Vivi berjalan terseok-seok meninggalkan ruang rawat intensif. Sambil berpegangan tembok, ia berusaha menata pikiran. Informasi yang diterima dari Ibunda Dimas ditambah kondisi Dimas yang tengah berjuang hidup menjejali kepalanya. Telinganya juga seakan-akan tak berfungsi. Ia bahkan tak mendengar teriakan Tante Dinar yang memerintahkannya untuk kembali.
Setibanya di dekat pintu masuk rumah sakit, Vivi menyandarkan tubuhnya sebentar pada dinding. Selain karena lelah, dia juga hendak memberikan ruangan bagi dua orang ners yang tengah mendorong keranda jenazah. Di belakangnya, empat orang dewasa serta dua orang remaja mengikuti sambil terisak-isak. Setelah iring-iringan itu pergi, ia kembali melangkah dengan lunglai.
Di saat yang sama, seorang lelaki bersetelan hitam berjalan lambat dari arah berbeda. Bahu keduanya bersentuhan ketika keduanya melewati pintu. Vivi yang hilang keseimbangan sempat hampir tersungkur, beruntung si lelaki berhasil menangkap lengannya. Selama beberapa saat, si lelaki merasa jika dunia berubah menjadi ruang hampa. Seketika di sekelilingnya muncul ratusan layar usang yang menampilkan potongan-potongan kejadian yang tak ia tahu dari mana asalnya. Pada salah satu layar, ia menyaksikan seorang raja lalim tengah membantai ratusan kawula; tua, muda, lelaki, wanita, tak ada yang luput dari kekejiannya. Tangis serta ratapan para pesakitan yang tengah menunggu ajal sepertinya tak mampu menggetarkan nuraninya.
Di lain sisi, Vivi meringis merasakan genggaman kuat si lelaki. "Lepasin!" serunya sambil menyentak tangannya.
Genggaman itu akhirnya terlepas, menyisakan bekas cengkeraman berwarna merah terang, sangat kontras dengan kulitnya yang kuning langsat. Tanpa berterima kasih Vivi pergi meninggalkan lelaki itu. Ia bahkan tak sempat melihat dengan jelas wajahnya. Peduli setan! Sekarang yang ia inginkan hanyalah tidur sampai pagi.
Lelaki itu menatap bahu sempit Vivi yang mulai menjauh dengan pandangan merana. Dahinya berkerut. Bibirnya yang terkatup rapat bergetar, seolah-olah hendak memuntahkan jutaan kata tapi tertahan oleh sesuatu yang tak kasatmata.
Ia menatap telapak tangannya yang gemetar. Rasa hangat kulit gadis itu masih tersisa di permukaan kulitnya.
Lelaki itu terdiam dan baru ingat dengan kabar burung yang pernah mampir di telinganya sekian tahun lalu; bahwa, jika Pesuruh Hyang Yama menyentuh seseorang yang sangat berarti di kehidupannya yang lalu, maka memori di masa hidupnya itu akan kembali.
Mungkinkah gadis itu adalah bagian dari masa lalunya?
Si lelaki jatuh berlutut dan tersengguk-sengguk. Di kepalanya, ratapan dan teriakan orang-orang itu kembali. Wajah-wajah pesakitan yang meminta belas kasih mengoyak kewarasannya. Mayat-mayat bergelimpangan. Genangan darah berbau anyir mengalir bagai air bah. Lelaki itu pun bangkit lalu berlari sekuat tenaga demi menghindari lautan darah yang seakan hendak menenggelamkannya.
"Aku, Sri Srenggalencana, mulai hari ini, akulah yang akan menggantikan kakakku Sri Kamesywara. Demi jagad dewata, aku akan membawa kejayaan Panjalu kembali. Siapapun yang melawan, aku tak akan segan-segan untuk menghabisi."
Lelaki itu akhirnya berhenti setelah mendengar sumpah yang diucapkan seseorang. Ketika ia berbalik, di belakangnya berdiri seorang lelaki dengan pakaian kebesaran khas raja dan mahkota emas yang menjulang. Tremor mendadak menyerang tubuh. Si lelaki memandang wajah sang raja tanpa berkedip.
Rahang tegas itu. Wajah dan kulit yang kecokelatan itu, ditambah tahi lalat di pipi kirinya. Ia kenal betul sosok tersebut!
Ia yakin benar kalau itu adalah dirinya di masa lalu!
Si lelaki melangkah maju. Tangannya terjulur untuk menyentuh sosok sang raja. Sayangnya, sosok sang raja seketika menghilang seperti kabut yang diguyur hujan. Dia terkesiap lalu berlari mencari ke sana-kemari. Selama beberapa saat ia layaknya burung yang kehilangan arah, tak mengerti kemana pun ia pergi, yang dilihatnya hanyalah kegelapan.
Akhirnya, ia berhenti di titik di mana ia tak sanggup lagi melangkah. Hatinya terasa sangat berat, seolah akan meledak kapan saja. Lelaki itu jatuh tersungkur dan menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku. Maafkan aku," ucapnya pilu.
"Miruda."
Lelaki itu mengangkat wajahnya tatkala suara perempuan memanggil. Di hadapannya sosok perempuan berdiri membelakanginya. Punggung perempuan tak tertutupi apa-apa kecuali rambutnya yang hitam dan halus layaknya sutra. Kala angin berembus, rambut perempuan itu tersibak dan menampilkan bekas luka bakar yang mengotori punggung cantik itu.
Si lelaki terkesiap ketika perempuan itu berbalik.
"Miruda, aku tahu kau selalu bertindak bodoh dan temperamenmu buruk." Suara perempuan itu terdengar bagai genta, merdu dan menenangkan jiwa. "Aku harap kau bisa menyelesaikan masalah ini."
Wajah perempuan itu sangat tak asing. Namun, tiap kali ia mencoba menggali ingatannya, yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang menghantam kepala. Rasanya seperti ada ribuan jarum yang ditusukkan kedalam batok kepalanya. Lelaki itu meraung dan bersujud sambil menarik-narik rambutnya, berharap rasa sakit yang datang akan segera hilang.
"Miruda, tolong selamatkan aku. Aku harap kau bisa menyelamatkanku kali ini." Perempuan itu tersenyum
Lelaki itu mengangkat wajahnya yang berlinang air mata. "Ba-bagaimana caranya aku menyelamatkanmu?"
Perempuan itu menggeleng. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya kecuali senyum pedih.
"Tunggu! Jangan pergi! Kau belum bilang siapa dirimu! Tunggu!" Si lelaki mencoba berdiri, tapi tersandung dan tersungkur kembali. Namun, ia tak mau menyerah. Ia bangkit sekali lagi. Namun sayang, sosok perempuan itu telah menghilang, menyisakan kehampaan.