Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #25

Dunia Tempatnya Kembali

Sudah seminggu berlalu sejak Bu Lina memintanya untuk masuk ke sanggar, selama itu pula ia hanya pernah menghubungi sekali—entah dia mendapatkan nomornya dari mana, bisa jadi dari Nabila. Vivi sendiri tak ambil pusing karena ia sama sekali tak berniat kembali ke dunia tari, mungkin. Mungkin ...

Dia pun mengembuskan napas gusar. Oke, kalau boleh jujur, ada sebagian dari dirinya yang terus berteriak memerintahkannya untuk kembali. Tari adalah dunia yang dicintainya, tempat di mana ia bisa bebas mengekspresikan diri. Akan tetapi, dirinya sadar hidupnya tak lagi sama seperti dulu dan kembali ke dunia itu bukan pilihan yang tepat.

Entah sudah berapa lama Vivi tenggelam dalam pikirannya sendiri-untungnya minimarket dalam keadaan sepi dan bosnya sedang berada di belakang. Ia pasti bakal kena tegur karena kedapatan melamun di jam kerja. Tiba-tiba, bel penanda pada pintu minimarket berbunyi, diikuti dengan kemunculan sosok gadis tinggi semampai yang Vivi kenali sebagai keponakan Mbak Irma.

"Selamat siang, selamat berbelanja," ucap Vivi dengan keramahan palsu.

Gadis itu melengos, seakan-akan wujud Vivi terlihat seperti sampah yang tak sedap dipandang. Ia kemudian berjalan lurus dan berhenti di tempat Mbak Irma tengah membereskan display. Vivi menyumpahinya dalam hati. Ia tak tahu ada masalah apa dirinya dengan gadis itu, tapi ia bersumpah untuk membalas perlakuannya beribu kali lipat. Sebut saja ia pendendam karena memang benar begitu kenyataannya.

Di lain tempat, Galih tampak resah. Harusnya ia tak langsung menyetujui ajakan Bu Silvia untuk makan siang di rumahnya—wanita itu berdalih kalau undangan ini sebagai bentuk permintaan maaf karena minggu lalu Kris tantrum di tengah keramaian pasar malam. Sungguh, ia gugup. Bukan karena Bu Silvia, melainkan sosok Kris yang selama ini selalu memenuhi pikirannya. Ia seperti merasa telah mengenal Kris lama, lama sekali. Namun, ia tak tahu pasti seberapa lamanya itu.

Sosok Bu Silvia muncul tak lama setelah Galih memencet bel. "Ayo, masuk," ajak wanita itu sambil membukakan pintu. "Aduh, maaf ya, rumahnya agak berantakan."

Pemuda itu mengangguk kaku. Tangannya gemetar dan basah keringat dingin. Sesampainya di ruang tamu, senyum tulus terbit di wajahnya saat melihat tingkah ajaib Kris. Pasalnya saat ini, Kris dengan tubuh lelaki dewasa tengah meloncat-loncat di atas sofa.

"Kris, Kris, behave. Ini ada tamu." Bu Silvia mengingatkan sambil menarik-narik pelan lengan Kris, tapi sayangnya ia tak menurut. Baru ketika ia melihat Galih, tanpa diduga, ia langsung menurut.

Galih kemudian duduk sambil memandangi lukisan-lukisan yang terpajang apik di ruang tamu itu, sementara atasannya sibuk mengelap mulut Kris yang dipenuhi noda cokelat. Sayangnya, ketenangan itu tak berlangsung lama karena sekarang tubuh Kris mulai berayun ke depan dan ke belakang. Dari mulutnya pun terdengar gerungan tak koheren.

"Aduh, Galih, maaf ya." Bu Silvia meringis ketika ayunan tubuh Kris makin menjadi. Bahkan sofa yang didudukinya ikut bergeser. "Saya ke belakang dulu siapkan meja. Kamu di sini dulu sama Kris nggak apa-apa, kan? Sebentar lagi bapak datang. Dia lagi ke warung sebentar." Bapak yang dimaksud atasannya itu adalah suaminya.

Galih mengangguk sopan. "Terima kasih, Bu, sudah repot-repot."

Sepeninggal Bu Silvia, Galih mencoba untuk berkomunikasi dengan Kris. Selama beberapa hari belakangan ini ia sudah menjelajahi internet mencari cara yang tepat. Setelah menyingkirkan pikiran negatif yang memenuhi ruang kepala, akhirnya ia mencoba.

"Halo, Kris," sapanya dengan suara selembut mungkin.

Tak ada respons, tapi Galih tak menyerah. Ia terus mencoba lagi. Dipercobaannya yang kelima, Kris tiba-tiba memberikannya selembar kertas yang sudah sangat lusuh. Mungkin sudah lama diremas-remas olehnya. Setelah memberikan kertas itu, ia lari menuju tangga. Galih sempat ingin mengejar, tetapi suami dari Bu Silvia sudah keburu kembali dari warung.

“Galih, ya?” sapa suami Bu Silvia. ”Jodi,” katanya sembari mengangsurkan tangan.

Galih mengangguk sopan dan berdiri. “Ya, Pak,” jawabnya sembari berjabat tangan dengan suami atasannya tersebut.

Suami Bu Silvia tersenyum dan mengalihkan atensinya pada Kris. “Kris, sudah kenalan sama taumunya mami belum?”

Bukannya menanggapi Kris malah berlari ke lantai dua.

“Maaf, ya. Kris belum terbiasa sama orang baru.” Suami Bu Silvia tertawa canggung dan menggaruk pelipisnya. “Yuk, kita langsung ke ruang makan aja,” katanya seraya menepuk pundak Galih. Ia lantas sekonyong-konyong berteriak, “Mami! Ini teh Galih kenapa ditinggal sendirian di depan sama Kris? Kamu ini bagaimana?”

Kemudian terdengar balasan dari istrinya. “Ya, tadi Mbak sama aku lagi sibuk di dapur. Kamu tuh protes aja!”

Percakapan pasangan itu sedikit banyak membuat Galih merasa tidak enak hati. Ia mengikuti suami Bu Silvia dengan kepala sedikit menunduk.

“Kris ke mana?” tanya Bu Silvia ketika suaminya baru tiba.

“Ke kamar,” jawabnya. Suami Bu Silvia lantas menempati kursi di ujung meja, tempat di mana biasanya kepala keluarga berada. “Ayo, ayo, Galih, kamu duduk di sini, “katanya pada Galih sembari menepuk-nepuk kursi kosong yang berada di sisi kirinya.

Lihat selengkapnya