Sejujurnya ia benci jika ia harus menunjukkan emosinya di hadapan orang lain, tetapi sungguh, apa yang tersaji di hadapannya saat ini mampu membangkitkan sisi sentimentalnya. Rasanya seperti kembali ke masa lalu di mana semua masih baik-baik saja, di mana ia masih bisa mengekspresikan diri melalui gerakan tubuh; memutar, melenggok, berayun tanpa beban. Bebas seperti embusan angin.
"Ayo, Vivi, kita masuk.”
Vivi melangkah ragu. Memasuki ke pekarangan rumah Bu Lina yang luas, ia bisa menyaksikan beberapa anak perempuan dari berbagai rentang usia tengah bersiap dengan peralatan tari; selendang warna-warni, topeng-topeng kayu, jambangan kuningan berisi bunga dan potongan-potongan kertas kecil. Di salah satu sudut pekarangan, terdapat sebuah pendopo berukuran delapan kali sepuluh meter yang dipenuhi dengan barang pribadi milik murid-murid Bu Lina. Di sana, Vivi menangkap sosok Mita, keponakan Mbak Irma, beserta tiga gadis sebayanya.
Gadis-gadis remaja itu menatap Vivi seperti mesin pemindai, terutama Mita yang jelas-jelas melihatnya seperti musuh.
Vivi tak mengindahkan tatapan mereka dan terus berjalan mengikuti Bu Lina memasuki bangunan utama yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal mantan gurunya tersebut. Di dalam, wanita itu menyuguhkan Vivi dengan es cokelat yang rasanya persis sama seperti minuman yang dulu pernah ia nikmati ketika masih menjadi murid Bu Lina.
“Vivian, terima kasih sudah mau berkunjung dan membantu ibu.” Bu Lina tersenyum sembari menepuk-nepuk tangan Vivi yang berada di meja.
“Nevermind.” Vivi balas tersenyum. “Omong-omong, murid-murid Ibu di depan berasal dari daerah sini, ya?” katanya sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
Bu Lina mengangguk. “Ya. Mereka anak-anak daerah sini. Kebetulan sekolah-sekolah yang ada di sini bekerja sama dengan sanggar ibu.”
Melalui jendela, Vivi mengamati Mita. Bu Lina yang mengetahui hal itu mengikuti arah pandangnya. “Kenapa dengan Mita, Vivian?” tanya wanita itu, seolah-olah ia bisa membaca isi pikirannya.
Dengkusan tawa meluncur dari mulut Vivi. “Nggak apa-apa, Bu.” Sesudah ia menghabiskan cokelat panas buatan Bu Lina, mantan gurunya itu pun mengajaknya keluar untuk melihat jalannya latihan.
Satu jam pertama, Vivi habiskan untuk melihat Bu Lina melatih gerakan dasar sepuluh bocah perempuan. Dia tanpa sadar tersenyum. Mendengar alunan gending dari pengeras suara, ditambah melihat bocah-bocah junior itu kesulitan mengikuti instruksi Bu Lina, membuat mood-nya sedikit membaik.
Jujur, dia sangat terkesan dengan kegigihan dan semangat Bu Lina. Ia tahu kalau Bu Lina menjalankan sanggarnya ini seorang diri, mulai dari merancang materi pembelajaran, melatih, hingga mempromosikan sanggarnya—ya meskipun ada beberapa orang yang membantunya di bidang administrasi. Namun, Vivi tahu ada kalanya Bu Lina akan merasa kerepotan, apalagi saat jadwal lomba dan festival yang tumpang tindih. Untuk menyiasati hal itu mantan gurunya itu pasti akan meminta bantuan murid senior dari sanggarnya untuk membantu melatih para junior. Inilah salah satu cara mengajar Bu Lina yang dirinya sukai karena mantan gurunya itu tak segan melibatkan muridnya langsung.
Memasuki waktu istirahat, tanpa diduga sama sekali bocah-bocah perempuan itu mendadak mengerubutinya bagai semut melihat gula. Sementara Bu Lina beralih pada murid-murid senior.
"Mbak ini yang namanya Mbak Vivian, ya?”
"Mbak! Aku lihat videonya Mbak Vivian menari di sanggarnya Bu Lina dulu, lo!"
"Aku ndak sangka Mbak Vivian menarinya bagus sekali! Padahal kakak di video kakak masih seumuranku!"
Vivi mengerutkan kening karena tak mengerti hal yang bocah-bocah itu bicarakan, apalagi pelafalan mereka yang bercampur dengan logat lokal membuat Vivi nyaris kelepasan tertawa. Salah satu bocah paling tinggi dari mereka kemudian memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya dan bertanya, "Mbak sekarang masuk sanggar apa?"
"Kalian bicara apa, sih? Saya nggak ngerti. Lagian, saya sudah nggak ikut di sanggar mana pun. Saya udah berhenti menari." Dahi Vivi makin mengerut dalam ketika bocah-bocah itu malah menatap kecewa.
"Jadi, begini, Mbak ...." Si bocah paling tinggi mulai bercerita bagaimana mereka bisa melihat video rekaman festival tari yang pernah Vivi ikuti ketika pertama kali ia bergabung di sanggar Bu Lina. Bocah itu juga berkata jika sebelum memutar video itu Bu Lina sempat marah besar pada Mita karena gadis itu sempat absen latihan geladi bersih. Alasan absennya pun terdengar sangat konyol; ia sedang tidak mood karena PMS. Setelahnya, Bu Lina menunjukkan video rekaman itu dan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan Vivi.
Vvi mendengkus geli. Oh, astaga. Hanya karena masalah sepele dia jadi sasaran kebencian? Ia melemparkan tatapan mencemooh pada Mita. Sekelebat muncul ide konyol di kepalanya. Bagaimana kalau sekalian saja ia mengikuti permainannya gadis manja itu?
Selama sisa jam latihan Vivi banyak bercanda dengan bocah-bocah yang tadi mengerubunginya. Ia juga sempat membetulkan gerakan tangan atau kaki yang dibuat oleh mereka. Hal ini tentu membuat Mita tampak kesal dan mungkin cemburu. Dia pun tak mau ambil pusing dengan kebencian yang berkobar dari tatapan Mita. Dia tidak takut dengan itu. Dia justru menikmatinya.
Kelas menari Bu Lina berakhir pada pukul tujuh malam. Sebelum Vivi pulang, mantan gurunya itu menyempatkan diri untuk mengajaknya makan malam di salah satu restoran favoritnya.