Venus Zeaneda rangkaian nama yang disematkan orangtuaku. Panggilan kecil justru Kemuning. Saat ini, tinggal di salah satu pesantren daerah Benculuk, Cluring.
Entah mengapa masih terngiang nasihat serta keinginan mbah putri mengenai pendamping hidup, beliau seringkali menanyakan perihal jodoh di umurku yang genap dua puluh dua tahun. Setiap kali pertanyaan itu terlontar, bingung harus menjawab bagaimana, sebab hidup di dalam cangkang tembok pondok tidak mengizinkan diriku untuk berkelana di luar sana.
“Ada cucu temannya Mbah kung, rumahnya di Glenmore. Dekat sama rumahmu, masih bujang. Umurnya juga ndak terlalu tua, mau Mbah kenalkan tah? Siapa tahu cocok, jadi jodohnya.” Mbah putri menyesap kopi hitamnya yang selalu pahit. Kami menikmati waktu di dapur, merebus air dan menggoreng pisang mengisi hari—yang sudah beranjak sore.
"Inggih, Mbah. Pengestunipun, doakan biar Kemuning segera ada yang meminang." Hanya jawaban itu yang terlintas dalam benak.
Hidup dan dibesarkan dalam aturan pondok memang cukup membatasi ruang gerak. Tetapi, banyak ucapan syukur yang harus digaungkan sebab Abah dan Ibu memberikan sarana pendidikan yang luas. Guru didatangkan ke dalam rumah. Mengajari banyak hal, sehingga ilmu pengetahuan yang kupunya tidak kalah dengan mereka yang berpendidikan tinggi dan melalang buana.
Mengingat nasihat Mbah putri jadi merasa tak nyaman di hati baru menyadari kalau beliau sudah tak lagi paruh baya. Kalau Abah dan ibuku saja berusia hampir lima puluh tahun itu artinya Mbah putri lebih sepuh dari mereka. Sayangnya keinginan beliau untuk menimang cicit belum bisa terlaksana sebab di antara kami, aku dan dua saudara yaitu; Roziq dan Rahmat belum ada yang menikah.
Ya, aku adalah si sulung dari dua saudara lelakiku. Roziq dan Rahmat usianya hanya berjarak tiga bulan sebab sebenarnya bungsu kami itu putra angkat abah dan ibu. Pemuda berusia baru sembilan belas tahun itu menyukai kopi dengan takaran yang sama persis dengan seduhan Mbah putri.
Soal kopi, kami memang lebih menyukai seduhan kopi pahit. Ndak manis bukan berarti benci sama gula. Hanya, kopi akan terasa nikmat tanpa tambahan apapun. Aroma dan rasanya tidak berubah, hirup saat mengepul, mengalahkan bau harum apa pun menggelitik hidung. Selalu bisa menggugah selera, kapan pun.
Mbah putri memiliki sebuah filosofinya sendiri soal kopi. Biji kopi itu dikeringkan dibawah terik matahari selama beberapa hari, kemudian digoreng di atas cobek tanah liat sampai menjadi hitam. Setelahnya, baru ditumbuk menggunakan alu khusus, dibacakan sholawat Nabi, setelahnya baru bisa diseduh dengan air mendidih dan biarkan tanpa gula.
Aku jadi ikut menyukai cairan berwarna hitam beraroma khas itu.Ya, karena filosofi ala mbah putri tersebut. Seolah menceritakan, betapa kopi pada zamannya mbah putri dengan kopi zaman sekarang yang tinggal seduh, memiliki makna berbeda.
Proses di dalamnya yang membutuhkan tidak sekedar tekun, tapi juga sabar dan tirakat.
“Memangnya siapa?” Pura-pura antusias sambil menyesap kopi di cangkir yang ada di meja. Sejujurnya, aku bahkan tidak memikirkan soal jodoh. Atau kelak akan bersuami di usia berapa. Biar saja mengalir. Bukan wanita yang ambisius soal itu.
“Mbah lupa, Nduk, siapa namanya yang jelas dia pemuda yang baik, santun, ganteng. Putranya seorang ulama besar. Mengko awakmu iso dadi (nanti kamu bisa menjadi) Bu Nyai kalau bersuamikan dia.” Aku terkekeh mendengarnya beliau begitu antusias bercerita tentang sosok pemuda itu.
“Mbah ini loh, saya itu nikah tujuannya untuk membina rumah tangga bukan menjadi Bu Nyai. Emoh (tidak mau) kulo kalau disandingkan dengan yang levelnya setinggi itu. Wong sekolah saja ndak seperti ning-ning kebanyakan. Emoh, ah.”
“Menjadi seorang Nyai tidak harus bersuamikan kyai, menjadi istri serta guru bagi putra-putri nya kelaklah bagian dari seorang nyai. Tidak perlu bergelar kumludkoyo (seperti) Roziq cukup menjadi perempuan yang neriman, selalu berpikir positif dan jangan tinggalkan tirakat. Sebab ruh kasih sayang bisa menjadi pusaka seorang wanita menghadapi kerasnya kehidupan berumah tangga.”
Gusti, betapa beruntungnya diri ini bisa mendengar nasihat semanis itu langsung dari si mbah.
“Purun (mau), ya, kalau Mbah kenalkan nanti?” Pinta beliau kemudian.
Baiklah, mungkin memang sudah waktunya aku bertemu dengan lelaki selain kedua saudaraku. Maka dengan penuh keikhlasan kuanggukkan kepala pertanda setuju. Mbah putri bahagia dengan keputusan ini beliau mendekapku erat sembari mengecup pipi kanan kiri lalu berkata, “ora (tidak) sabar rasanya, sebentar lagi ndak hanya lihat kamu menikah tetapi juga memiliki cicit yang lucu-lucu.”
“Insyaallah, Mbah. Insyaallah,” jawabku dengan tenang.
Beberapa hari berselang, waktunya abah dan ibu pulang dari umroh beserta rombongan. Pakde Jamal, istrinya serta sepupu membawa beberapa kendaraan, untuk mengakomodir kepulangan beberapa jamaah yang ikut serta umroh.
Kami semua duduk menunggu karena rombongan umroh belum tiba. Sepupuku, Gus Miftah datang bersama seorang lelaki—yang dia sebut adalah teman sewaktu sama-sama menempuh pendidikan di Yaman, beberapa tahun lalu.
“Sini, duduk sini," pinta Bude kepadaku agar duduk di sampingnya.
Kami berada dalam satu meja yang sama, bude dan pakde duduk di samping kananku lantas ada Gus Miftah yang duduk di sebelah kanan abahnya. Melirik ke arah mereka aku yakin ada sesuatu yang aneh saat ini.
Mengapa kami-aku dan lelaki itu justru terlihat duduk berdampingan? Meskipun jika dilihat lagi kami tidak sedang duduk sedekat itu, tapi … ya Allah kenapa rasanya lelaki itu terus menatapku?
Sekilas dapat terlihat kalau sebenarnya lelaki itu lumayan tampan, garis rahangnya tegas ada hias cambang di sekitar dagu, kuyakin tinggi badannya hampir mencapai 185cm atau bahkan lebih karena dengan duduk begini saja punggungnya sudah tampak menjulang. Bibirnya sewarna delima sekalipun lelaki, mungkin karena memiliki kulit sewarna salju. Putih.
Ck, kenapa aku malah sibuk meneliti kesempurnaan fisiknya? Dia bukan siapa-siapa dan tidak kukenal juga. Menyingkirkan wajah yang memanas akibat malu, pura-pura aku berdehem samar lalu mengalihkan pandangan ke arah sepatu yang kukenakan.
“Yang ini memang jinak-jinak merpati, semoga bisa sabar dalam menghadapi.” Entah mengapa aku mendengar canda pakde seperti sebuah sindiran. Untuk siapa ditujukan?
“Tapi Pakde Jamal bisa meyakinkan kalau yang terlihat keras tidaklah selalu batu. Kecantikan memang akan pudar seiring waktu, tapi ketulusan serta kepasrahan diri alias neriman bisa dibawa sampai mati.”
“Benar, Pakde. Saya juga sedang berpikir seperti itu dan semoga saya lah yang bisa menjadi pawangnya. Pawang dari merpati yang tak jinak tersebut.”
Kemudian tawa terdengar bersaing dengan ingar bingar keadaan kafe kopi ini.
“Berusahalah dulu, jika tidak sanggup bisa lambaikan tangan. Ah, tapi kuyakin kamu bisa menaklukkan merpati itu. Singgah di kerajaanmu sebagai ratu.”
Apaan Gus Miftah? Merpati, kerajaan lalu ratu. Siapa yang sedang mereka bicarakan?
“Ya sudah, silakan dipirsani (dilihat) dulu jangan sampai seperti membeli kucing dalam karung kami tinggalkan kalian berdua untuk saling mengenal.” Derak kursi kembali terdengar.