Ketika Cinta Berbuah Dusta

Khairul Azzam El Maliky
Chapter #1

1. Jodoh itu Dekat

LAMPU-LAMPU jalan tiang listrik dinyalakan. Mendung berputar-putar dibawa oleh angin ribut yang mengamuk bak raksasa yang tidak makan korban selama bertahun-tahun. Kantong-kantong plastik bekas yang dibuang sembarangan di pinggir jalan, terbang seperti ruh-ruh makhluk yang dibawa oleh Malaikat Maut. Orang-orang berteduh untuk menghindari amukan hujan yang turun membasuh bumi. Hujan itu seolah mengamuk karena terlalu banyak dosa manusia yang mengotori kelestarian dunia. Pelbagai kendaraan juga memperlambat lajunya supaya tidak tergelincir karena jalanan basah.

Sungai banjir. Bahkan air sampai meluap dan membanjiri jalan raya. Rumah-rumah penduduk banjir. Parit-parit penuh. Lalu muntab dan menenggelamkan ratusan rumah. Tanaman kelelep. Padi-padi megap-megap. Jagung-jagung kelelep macam Fir`aun yang taubat ketika nyawanya berada di ujung kerongkongan.

Di tengah kota listrik padam. Sorot lampu kendaraan yang melintas di persimpangan jalan menyala. Klakson salak-menyalak. Kliningan becak dan sepeda saling menyapa. Lampu merah juga padam sehingga kendaraan tak beraturan. Namun hujan yang cukup deras membuat manusia tidak berani untuk keluar dari rumah.

Perkampungan mati. Gelap bak kuburan angker yang hanya dihuni oleh bangsa jin. Tidak ada lampu. Mengingatkan kita pada zaman dulu. Zaman di mana ketika lampu belum masuk desa. Penduduk kalau itu hanya menggunakan lampu petromaks. Itu pun hanya penduduk yang mampu. Sementara penduduk yang hidupnya tak beruntung karena kemiskinan yang diakibatkan oleh sistem penjajahan yang dilakukan oleh penjajah Belanda, hanya menerangi rumah mereka dengan lampu minyak tanah.

Jalan-jalan kampung gelap gulita. Sehingga membuat pengendara sepeda atau motor agar lebih berhati-hati. Apalagi sungai-sungai kecil banjir, dan jalanan tak terlihat. Sawah-sawah juga semakin gelap. Sehingga petani tidak dapat membedakan antara tambak dan ladang. Tanaman padi tiarap sebelum panen. Tanaman jagung juga tumbang diterjang angin kencang.

Malam itu pemandangan memang gelap gulita. Petugas PLN bergerak dengan cepat untuk mengatasi permasalahan ini. Namun mereka juga lebih berhati-hati ketika memperbaiki tegangan listrik agar tidak kesetrum. Sebab jika hal itu terjadi maka nyawa mereka akan melayang sia-sia. Mereka juga tidak mau mati konyol.

Sebuah bus melintas di pusat kota Kraksaan. Sopir memperlambat laju kendaraannya untuk mempersilakan kendaraan yang melaju di depannya. Jalanan di depan taman kota banjir. Drainase yang telah ditata dengan rapi oleh bagian pengairan tidak mampu menampung air hujan yang meluap. Apalagi sungai telah penuh dengan sampah. Meski sudah dilarang dan diancam dengan kurungan pidana, tapi warga masih sering melemparkan sampah ke sungai.

Taman kota juga terlihat basah. Pepohonan yang berada di sisi kanan dan kiri lapangan terdiam membisu. Menyaksikan hujan yang turun karena memang telah diperintahkan oleh Tuhan Yang Mahatinggi. Hujan tidak bisa menolak atau membangkang perintah. Tidak seperti manusia yang kebanyakan paling melanggar titah Tuhan. Jangankan titah Tuhan, titah pemerintahnya saja mereka abaikan. Andai saja manusia melaksanakan titah pemerintah dengan tidak membuang sampah ke sungai, insya Allah kota tidak akan banjir. Tidak ada penduduk yang dirugikan dan merana lantaran rumahnya kebanjiran.

Sayangnya manusia. Mereka telah memahami betul isi kitab ajaran agamanya, tapi mereka hanya sebatas membaca artinya saja. Walau sudah dipasang slogan di mana-mana, memakai bahasa Arab lagi, namun slogan tetaplah slogan. Hanya sekedar dibaca saja. Sehingga karena terlalu seringnya terkena hujan dan sinar matahari, perlahan tulisan berbahasa Arab yang berisi hadits Nabi Saw., itu luntur.

Cat plangnya juga mengelupas termakan karat.

Seorang pemuda duduk di bangku agak tengah. Tepatnya di dekat jendela. Kaca mengembun karena rembesan air hujan yang mengalir dari atap bus. Dari balik jendela dia dapat melihat taman kota yang basah. Lampu bohlam dan lampu merkuri yang menerangi taman kota itu padam. Tak ada muda-mudi yang biasanya berpacaran di pinggir taman. Pedagang kaki lima juga menggigil di bawah tenda dagangannya.

Pemuda itu terlihat rapi dengan mengenakan kemeja lengan panjang warna merah menyala, celana panjang hitam, sepatu pantofel hitam mengilat, dan tas laptop berukuran sedang. Rambutnya disisir dengan rapi. Lalu rambut itu ditaklukkannya dengan minyak rambut wangi. Sepasang matanya yang teduh menyisir seluruh sudut kota. Basah. Usianya yang memasuki kepala tiga, tidak berpengaruh pada wajahnya yang masih terlihat muda. Tidak seorang pun yang mengira kalau dia sudah lulus kuliah.

Allah...Allah...Allah...Allah...” Pemuda itu tiada henti menyebut asma Allah di sekujur organ tubuhnya. Tangannya bertakbir. Kakinya bertakbir. Rambutnya bertakbir. Darahnya bertakbir. Syaraf-syarafnya bertakbir. Matanya juga bertabir. Takbir itu otomatis. Dan hanya orang-orang yang telah mengenal Tuhannya senantiasa akan menggumamkan takbir. Mengingat Allah (shalat) di mana saja. Tidak terbatas hanya di masjid dan musalla. Bahkan di atas kendaraan pun mengingat Allah wajib hukumnya.

“Allah...Allah...Allah...Allah...”

Lihat selengkapnya