SEBUAH mobil SUV X5 putih menepi di Jalan Trunojoyo. Tepatnya di depan Stasiun Baru Kota Malang. Jam menunjukkan pukul 19.40. Setelah mengucapkan terima kasih dan berjabat tangan dengan keempat lelaki berpakaian rapi yang duduk di dalam mobil, seorang pemuda pamit undur diri. Dua dari keempat lelaki itu keluar bersama pemuda itu dan mengantarkannya sampai ke dalam stasiun. Karcis tinggal ditunjukkan kepada petugas sebab sudah dipesan sebelum meninggalkan hotel di mana dia menghadiri acara seminar dan bedah buku.
Wajah panitia begitu puas dengan jawaban selama mengikuti bedah buku yang disponsori oleh salah satu kampus terkemuka di Malang. Lalu dengan penuh hormat, kedua lelaki berjas biru muda itu menyalami pemuda itu.
“Sukses selalu buat Mas Syamsul.”
“Terima kasih. Kalau begitu, saya mohon pamit undur diri dulu.”
“Monggo, Mas!”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sebuah kereta telah menunggu para penumpang dan bersiap berangkat menuju kota tujuan: Banyuwangi. Lalu pemuda itu masuk ke dalam gerbong kereta dan mencari tempat duduk sesuai dengan yang tertera di karcisnya. Dia lantas menemukan bangku A20. Tepat di dekat kabin jendela. Ruangan di dalam gerbong itu terlihat bersih. Berbeda dengan kereta listrik di Ibu Kota Jakarta yang kumuh. Baunya wangi. Di sana dia melihat seorang gadis mengenakan kerudung putih motif bunga.
“Permisi, Mbak. Tempat duduk saya berada di sebelah tempat duduk mbak,” kata pemuda itu dengan berkata kalem pada gadis yang memiliki tubuh sintal itu. Lantas si gadis mendongak dan melihat ke arah pemuda itu. Lalu ia memberinya jalan.
“Terima kasih.” Pemuda itu lewat di depan gadis itu.
Pemuda itu duduk di bangku dekat jendela sehingga dia bisa melihat keluar. Tampak rel dipasang bersaling-silang. Juga tampak beberapa gerbong yang tidak terpakai.
Dia baru saja menghadiri acara seminar bedah bukunya di salah satu hotel. Pendukung utamanya adalah Kampus Unisma. Para peserta seminar yang didominasi oleh mahasiswa sangat antusia mendengarkan penjelasan demi penjelasan yang dituturkan oleh pemuda itu. Mereka tahu bahwa penulis itu bukanlah lulusan Universitas Al-Azhar, Cairo, atau juga bukan lulusan Universitas Islam Madinah. Namun bukunya yang sebelumnya diterbitkan dalam jurnal kampus membuat para pembacanya tersihir karena selama ini belum pernah membaca tulisan yang memuat jawaban dari berbagai jurnal-jurnal Islam, yang justru isinya mencari pembenaran sendiri.
Dalam seminar bedah bukunya, pemuda itu menjelaskan kepada para peserta, tentang asal-usul sejarah penciptaan manusia. Sehingga andai saja manusia yang beragama dapat menghargai dan menghormati orang lain. Bukan saling memperdebatkan kebenaran ajarannya sendiri-sendiri.
“Bagaimana manusia bisa mengenal pencipta-Nya jika ia sendiri tidak mengenal dirinya secara utuh? Sebuah ilmu dibutuhkan untuk mencapai pengetahuan sejati sifat-sifat kemanusiaan pada umumnya. Ilmu itu diberi nama ilmu tarekat, yaitu imu pengenalan diri. Ilmu yang digunakan untuk memahami identitas diri,” pemuda itu mengawali penjelasan ilmiahnya. Meskipun ia sama sekali belum kuliah, namun untuk urusan ilmu yang berdasarkan data ilmiah dia sama sekali tidak kalah dengan para mahasiswa yang kini duduk di hadapannya itu.
Para peserta seminar terdiam. Seakan mereka mendengarkan penjelasan ilmiah dari seorang Doktor atau pakar ilmiah dunia. Sebab menurut mereka, seorang penulis buku yang apabila bukunya memuat ilmu yang berat dan berbobot serta memuat jawaban-jawaban atas pertanyaan yang selama ini menghantui umat manusia jauh lebih pantas disebut dengan sebutan doktor atau profesor.
“Berikut definisi masing-masing unsur pada manusia. Jasad adalah yang memiliki bentuk atau wujud atau sosok yang tergambarkan, yang diciptakan dari tanah yang dibentuk menjadi daging, tulang lalu membentuk; badan, kaki, tangan, panca indera dan sebagainya. Jiwa (nafs) adalah sesosok mahluk dalam wujud halus alam yang dibentuk dari unsur alam min sulaatin min thiin (ekstrak alam), yang hidup dan memiliki pemahaman, Pikiran, Perasaan, Intuisi, Emosi, dan Akal. Roh adalah satu kejadian uap atau gas yang keluar dari dalam hati kasar atau jantung. Uap atau gas itu berjalan ke seluruh bagian urat saraf di dalam tubuh manusia,” lanjutnya dengan kata-kata yang penuh sihir sehingga membuat para audiensi mencerna kalimat yang terucap dari jiwanya.
“Unsur ini adalah bagian rahasia Allah, manusia tidak akan bisa menggapainya. Sedangkan qolbu adalah sifatnya jiwa yang selalu berubah-ubah (bolak-balik), tidak tetap. Asal kejadian jiwa inilah yang perlu kita ikuti dan telusuri, karena dengan bagitu kita akan mudah mengidentifikasi diri kita. Dan Al-Qur`an sudah meng-isyaratkan bahwa unsur kejadian manusia terdiri atas tiga.
“Yaitu unsur badan atau jasad (jasad), unsur Jiwa (nafs), dan unsur roh (ruh). Berikut tahapan pembentukan diri manusia menurut firman dan hadist.
“Sebagai tahap awal, Allah mengambil sumpah kepada “jiwa” yang masih berada di alam ghaib. Para jiwa ini belum dipasangkan ke dalam jasad, karenanya ia masih bebas beterbangan dan menunggu dipanggil untuk melaksanakan tugas. Allah berfirman dalam Qs. Al Araaf ayat 172: “Dan Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: ”Bukakankan Aku ini Tuhanmu”, mereka menjawab: “Bahkan engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan demikaian agar di hari akhirat kelak kamu tidak mengatakan: sesunggunya kami adalah oran-orang lalai terhadap keesaaaan-Mu.”
“Lalu apa yang terjadi pada saat ini? Banyak manusia yang lalai akan perjanjiannya dengan Allah. Manusia sudah lupa akan tujuan diciptakannya ke dunia. Mereka sama sekali tidak berusaha mencari Allah, melainkan mencari pembenaran. Dan pembenaran itu tidak berarti apa-apa karena hanya didasarkan atas kitab suci agama masing-masing.”
Para audiensi mengangguk-angguk.
“Apakah kalian tahu, apa tugas yang diembankan oleh Allah kepada kita semua selama di dunia? Apakah untuk saling memperdebatkan ajaran masing-masing?”
Para audiensi menggelengkan kepala.
“Secara akademik, Anda jauh lebih tinggi daripada saya.” Pemuda itu mengulum senyum. “Saya sama sekali belum merasakan bangku kuliah. Kenapa? Sebab sejak dulu saya menginginkan sebuah ilmu yang mengajarkan saya tentang pribadi Rasulullah Saw, yang sedari awal tugasnya memang ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak. Surfei membuktikan, dan hal ini tidak dapat dibantah. Bahwa Rasulullah Saw., memang ditugaskan hanya menyempurna-kan akhlak untuk masyarakat Arab yang saat itu masih dalam kondisi jahiliyah. Bukan untuk mengajarkan agama. Oleh karena itu saya tidak menimba ilmu. Sebab semakin tinggi ilmu yang saya dapatkan maka saya akan semakin pandai beribadah dan semakin pandai merendahkan orang yang tidak tahu.”
Para audiensi manggut-manggut kagum. Ada juga sebagian yang mengatakan ‘betul.”