"Kau tidak ingin mampir sebentar?" ucap Alvin ketika berdiri disebuah rumah mewah dengan gerbang besi berukuran besar dan bewarna putih. Besi dengan ukiran kuda pada setiap bagiannya menambah kesan mewah pada rumah berlantai dua tersebut.
Alvin masih setia menggandeng tangan pacarnya itu sembari menatapnya dengan lembut. Ririn hanya menggeleng untuk menanggapi pertanyaan Alvin. Mereka berdua saling memandang dan terlihat seulas senyum kecil dibibir gadis cantik dengan rambut panjang itu.
"Baiklah kalau tidak mau." Alvin berjalan lurus dan menarik tangan kekasihnya itu. Ririn bingung tetapi kencangnya tarikan Alvin membuatnya tidak bisa menolak dan mengikuti arah Alvin pergi.
"Kau mau kemana ? bukankah ini rumahmu." Ririn terseok-seok mengikuti langkah pria tinggi didepannya itu. Alvin hanya tersenyum dan terus menggeret tangan Ririn.
"Alvin lepasin!" Ririn meronta agar dilepaskan genggaman Alvin dari pergelangan tangannya. Alvin tidak merasa terganggu justru semakin kencang menggenggam pergelangan tangan Ririn.
"Alvin stop!" Teriakan Ririn membuat Alvin menghentikan langkahnya. Alvin berbalik memandang Ririn yang sepertinya kesal dengan perlakuan Alvin.
"Vin... ini sudah sore. Mama kamu pasti nungguin kamu di rumah. Aku takut kamu dimarahi sama mama kamu gara-gara pulang sore. Gak cuma pulang sore, tapi bolos dijam pelajaran terakhir."
"Baiklah aku akan pulang setelah urusanku selesai." Ririn memadang Alvin penuh tanya. Ririn merasa kalau Alvin sudah tidak memiliki urusan.
"Urusan?" Ririn berpikir sejenak.
"Iya urusan. Urusan mengantar pacarku yang sangat cantik ini. Aku tidak mau ada yang mengganggumu dijalan. Jadi aku akan memastikanmu sampai rumah dengan selamat. Ayo!" Alvin menarik tangannya Ririn.
*****
Mereka berdua berjalan pelan menikmati senja sore yang begitu indah. Langit merah keemasan menghiasi langit sore diatas sana. Pantulan cahaya senja membuat baju seragam yang mereka kenakan terlihat kemerahan menggambarkan betapa kuatnya warna merah keemasan mendominasi bumi dengan indahnya suasana sore yang ditampakkan.
Jalanan yang mereka lewati adalah jalan alternatif yang tidak dilewati kendaraan. Sepanjang jalan membentang aliran sungai yang bersih. Permukaan air memancarkan warna orange kemerahan dengan kilauan bak permata langka dan sulit didapatkan.
Tak banyak orang berlalu lalang disana. Hanya beberapa orang dewasa sedang berolahraga dan berlari-lari kecil, beberapa remaja mengendarai sepeda dengan santai dan penuh kebahagiaan, serta anak-anak yang berlari saling mengejar karena permainan yang mereka mainkan.
"Jika kita menikah, bulan madu seperti apa yang kau impikan?" Ucapan Alvin membuat Ririn memalingkan wajahnya dari keindahan sore itu. Ririn diam memandang Alvin yang masih saja fokus dengan jalaan dihadapnnya.
"Hei... Aku bertanya." Alvin mencubit hidung mancung Ririn sembari tersenyum gemas.
"Sakit Alvin" Ririn memukul keras lengan Alvin lalu memegang hidungnya yang terasa sakit. Meski pukulan Ririn keras, tapi Alvin tidak merasakan sakit pada lengannya yang sedikit berotot itu.
"Makanya kalau ditanya dijawab bukan malah bengong." Ririn melepas tangan dari hidungnya dan memandang keindahaan yang tergambar jelas didepan matanya.
"Kenapa bertanya sesuatu yang belum tentu terjadi?" Alvin menoleh.
"Apanya yang tidak pasti?" Alvin kembali memalingkan wajahnya dari Ririn karena butuh jawaban.