Ketika Cinta Menuntun Pulang

Willian Selva
Chapter #2

TERUSIR

Pak Zairin menceritakan diakhir tahun 80 an, ketika putaran tahun berganti ke awalan angka 90an, dengung laju pembangunan terasa sangat mengkilap. Negara seperti pemimpin dimasa itu mengatakan memasuki era tinggal landas. Pembangunan berlari demikian pesat. Akses pembangunan kearah kemajuan semakin terbuka. Semua rakyat mulai tahu apa itu ekonomi, apa itu peluang, dan bagaimana prospek hidup dimasa depan. Kehidupan rakyat semakin bergairah dan menggeliat.

Namun disaat kesempatan duniawi yang semakin memperdaya itu begitu terbuka, dilain sisi kondisi ini sedikit memukul pola pikir dan kearifan masyarakat. Kilau dunia semakin menggoda. Harga tanah melambung tinggi. Rayuan para investor, para pemilik modal untuk menguasai tanah dan lahan sangatlah menggiurkan. Ada yang akan dibangun pertokoan, pabrik, perkebunan, atau gugusan komplek perumahan baru.

Pemilik tanah didekati dengan berbagai cara. Imbasnya, sekalipun tanah adat, tanah pusaka tinggi yang sebenarnya haram untuk dijual, namun dengan berbagai dalih dan cara Ninik Mamak sebagai pengendali suatu kaum melakukan apapun agar keinginannya terwujud. Tidak lagi memandang hak dan batil. Walaupun memperebutkan harta pusaka dengan cara-cara batil dilarang dalam agama.

Tampaknya hal itu pun sudah tercium didaerah ini. Tak seperti air danau Maninjau yang senantiasa terkurung dalam tepiannya, keinginan soal uang dan materi tidaklah ada pembatasnya. Hal yang sama juga dirasakan Sutan Palindih, Ninik Mamak kaum bu Juriah, istri Pak Zairin. Adalah tanah dan sawah pusaka kaum yang ditempati bu Juriah dan keluarganya yang menjadi sumber kegusarannya 3 bulan belakangan ini. Tanah dan sawah itu saat ini tepat  berada disisi pembangunan jalan baru, membuat harga tanah itu melambung tinggi. Sudah banyak orang orang yang ingin membeli tanah itu. Namun bu Juriah selalu menolak. Juriah dengan tegas tidak akan menjual tanah itu. Sesuai adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, tanah itu adalah haknya sebagai kaum perempuan, dan sesuai amanah para pendahulunya tidak ada alasan yang bisa dibenarkannya saat ini untuk menjual tanah itu. Tanah ini adalah tempat tinggalnya, sandarannya bersama keluarga dan anak anaknya kelak.

 Namun Sutan Palindih tidak pernah menyerah. Kemilau dunia telah membutakan matanya. Sekalipun dia tidak berhak menjual, namun sebagai Ninik Mamak tanda tangannya berlaku dalam surat menyurat perkara harta kaum. Dia menyadari bahwa Juriah kemenakannya ini, adalah batu sandungan satu satunya yang dihadapinya  saat ini, karena saat ini dialah yang menempati tanah itu. Juriah jugalah dalam garis keturunannya satu satunya anak perempuan yang berhak mewarisi tanah itu.

Apapun caranya dilakukan Sutan Palindih. Belum lagi bisikan bersemangat dari istrinya. Istri Sutan Palindih mulai gelisah karena para tetangganya sudah banyak memiliki mobil dan perabotan keluaran terbaru. Setiap dilihatnya pihak toko menurunkan kursi baru atau mobil baru kerumah tetangganya, langsunglah tensi darahnya naik. Hampir hampir pingsan istri Sutan Palindih dibuatnya. Semakin bersemangatlah dia menyuruh Sutan Palindih menjual tanah pusaka kaumnya itu.

Sutan Palindih pun melakukan bermacam cara. Mulai dari membujuk bu Juriah secara halus, sampai dengan meminta paksa yang memicu pertengkaran. Tidak kurang 4 kali dalam sepekan dia terus mendatangi rumah bu Juriah. Dilihatnya dulu pak Zairin pergi bekerja. Setelah dipastikannya bu Juriah dirumah hanya dengan anaknya, barulah dia memasuki rumah.

Seperti yang terjadi di sore itu untuk kesekian kalinya."Juriah, buka pintunya Juriah," Sutan Palindih mendorong pintu rumah bu Juriah dengan nada tinggi. Tangannya penuh paksaan tak berhenti memukul mukul daun pintu dengan keras."Keluar kau Juriah." suara Sutan Palindih semakin membahana. Daun pintu pun berderit pelan dari dalam."Ada apa mak Sutan?" ucap bu Juriah dengan suara serak."Saya sedang sakit mak Sutan, tolonglah saya ingin istirahat. Hampir setiap hari saya ribut dengan mak Sutan. Masalah yang kita ributkan hal itu itu saja. Sudah saya katakan, saya tidak akan pernah setuju kalau tanah ini dijual, apapun yang terjadi. Ini adalah hak saya, hak anak anak saya kelak. Saya mengerti, mak Sutan adalah Ninik Mamak kepala waris. Tanda tangan mak Sutan berlaku, tapi tentu saja atas izin dan tanda tangan saya juga. Begitulah sesuai adat. Namun saya tidak akan pernah izin menjual sejengkal pun tanah ini. Apapun taruhannya. Saya ingin istirahat mak Sutan, saya sakit, sudahlah." bu Juriah membalik badan, sambil tangannya menggapai daun pintu untuk ditutup.

 Melihat hal itu Sutan Palindih terlihat langsung memutar otak. Sejurus kemudian dia tersenyum kecil. Kebetulan kemarin dia memang melihat pak Zairin singgah di Apotik dekat pasar. Cepat digapainya daun pintu yang didorong bu Juriah."Tunggu Juriah," wajah Sutan Palindih langsung berubah lunak dan begitu sangat simpatik. Suaranya beralih lembut."Jangan begitu Juriah, jangan langsung marah, semua bisa dibicarakan baik baik. Tidak selalu aku kesini untuk bertengkar dengan engkau. Aku kesini karena kemaren aku melihat suamimu kepasar membeli obat. Tak sabar rasanya bagiku menunggu pagi Juriah, ingin memastikan keadaan kau bersama anak anakmu. Siapakah yang sakit gerangan?Ternyata memang engkau Juriah." raut wajah kesedihan dan hiba mengganti lukisan awan bengis dan marah di wajah Sutan Palindih. Sekejap ucapan ucapan sutan palindih berubah laksana ucapan malaikat. Bu Juriah terpana, walaupun sejenak hatinya serasa tak percaya."Terima kasih mak Sutan." senyum bu Juriah terasa kaku melihat perubahan Sutan Palindih yang tidak dia duga sebelumnya. Pintupun tetap ditutupnya. Sutan Palindih berlalu.

Semenjak saat itu keadaan pun berubah 180 derajat. Sutan Palindih hampir setiap hari mengunjungi rumah bu Juriah. Bertanya kabar dan perkembangan sakit bu Juriah. Membawakan buah tangan selayaknya menjenguk orang sakit. Rasa simpati dan perhatian tak putus  putusnya ia berikan. Sekalipun agak heran dengan perubahan itu, namun yang namanya kebaikan adalah hal yang sulit ditolak. Sutan Palindih mencarikan dokter, mengurus obat dan tak lupa pula memberikan bantuan uang. Dan dari hasil pemeriksaan dokter, penyakit yang diderita juriah tidaklah ringan. Virus basil telah menggerogoti paru parunya. Ketika basil itu ganas menyerang, tubuhnya menggigil diserang demam tinggi. Keringat dingin mengucur diseluruh tubuhnya.

Sore itu Pak Zairin dan Sutan Palindih berdiri di depan dipan tempat bu Juriah terbaring. Mata mereka tak berkedip memandangi bu Juriah dengan nanar. Nampaknya situasi semakin parah. Penyakit yang diderita bu Juriah semakin menjadi jadi.“Begini Zairin,” Sutan palindih berucap lembut dengan suara rendah memecah kesunyian.“Melihat kondisi Juriah saat ini, jalan satu satunya yang harus kita lakukan adalah membawa Juriah segera dirawat di rumah sakit. Dia harus mendapat perawatan maksimal secepatnya. Lihatlah kondisinya semakin jauh menurun. Apalagi virus basil ini berbahaya bagi anak anakmu. Bisa menular.” Sutan palindih mengalihkan pandangannya sejenak kepada pak Zairin. Pak Zairin menghela nafas.“Itulah yang menjadi buah pikiran saya mak. Saya pun ingin Juriah segera dirawat. Tapi harus bagaimana mak. Saya juga harus bekerja keras mencari nafkah untuk biaya berobat. Saya juga harus mempersiapkan makan dan mengurus mereka. Jadi untuk merawat   Juriah terus selama 24 jam di rumah sakit sangatlah sulit.” pak Zairin berucap sambil memandang kedua wajah anak lelakinya.”Ahh, kalau itu tak usah kau rusuhkan Zairin.” Sutan Palindih tersenyum kecil.“Aku mamaknya. Aku punya  kewajiban juga terhadap kemenakanku. Biar aku yang menjaganya di rumah sakit. Tidak mungkin aku membiarkan kemenakanku tergeletak di rumah sakit seorang diri. Mamak macam apa aku?,apa kata orang nanti? Serahkan saja padaku.” Sutan Palindih tersenyum seraya menepuk pundak pak Zairin.

Tak banyak yang bisa dilakukan pak Zairin selain menerima. Walaupun disudut hatinya menyelipkan sedikit tanda tanya. Entah apa yang membuat Sutan Palindih begitu berubah. Tapi sudahlah. Tidak baik berburuk sangka terhadap sebuah niat baik. Apalagi dia sepertinya tak melihat jalan lain, selain apa yang ditawarkan Sutan Palindih.

Bu Juriah pun menjalani hari harinya dirumah sakit didampingi Sutan Palindih, mamaknya itu. Sudah kira kira seminggu keadaan belumlah berubah. Ganasnya basil yang menggerogoti paru parunya masih begitu terasa. Demam tinggi masih terus menyerang. Hingga akhirnya demam panas yang begitu tinggi merenggut penglihatan dua bola matanya. Syaraf matanya rusak akibat tubuhnya yang mengejang. Air mata deras bercucuran tak terbendung menerima kenyataan ini. Namun seperti halnya hari hari yang lalu, Sutan Palindih selalu menjadi malaikat. Dengan lembut dia mengatakan ini adalah takdir yang harus dijalani. Dia mengatakan jangan terlalu larut dalam kesedihan, dia sebagai mamak akan selalu ada untuk juriah dan keluarganya. Seakan akan Sutan Palindih adalah sebuah kayu besar tempat bersandar. Melihat apa yang telah dilakukan Sutan Palindih, sampailah bu Juriah dan pak Zairin sebagai orang yang betul betul percaya kepada semua kebaikan Sutan Palindih, mamaknya itu. Hilanglah seluruh kecurigaan atas sikap buruk Sutan Palindih selama ini.

Hingga suatu malam, ketika hanya tinggal bu Juriah dengan Sutan Palindih saja yang tinggal di ruangan perawatan rumah sakit itu, disaat matanya yang setengah terpejam karena menahan sakit, dengan penglihatan yang tidak sempurna, Sutan Palindih mengeluarkan selembar kertas. Dengan lembut Sutan Palindih berkata "Juriah, tanda tanganlah disini.” Sutan Palindih mengarahkan bu Juriah untuk menanda tangani sesuatu.“Surat apa itu mak?" tanya bu Juriah.”Surat jaminan pembayaran biaya rumah sakit. Surat ini menyatakan bahwa seluruh biaya rumah sakit sampai engkau sembuh, saya lah sebagai mamakmu yang menjaminnya." ucap Sutan palindih meyakinkan.

Bu Juriah bangun perlahan. Tanpa rasa curiga sedikitpun, tangannya mengikuti petunjuk Sutan Palindih. Kemampuan penglihatan yang sudah hilang tidak bisa membaca apa isi surat itu sebenarnya. Namun   dalam hatinya tentu saja surat ini sangat menolong. Mengurangi beban hidup yang ditanggung bersama suaminya Zairin. Maklumlah, penghasilan pak Zairin saat ini tentu saja tidak memadai untuk membiayai biaya perawatan rumah sakit yang terhitung cukup lama. Pikiran Zairin yang terpecah karena istrinya sakit, tentu saja membuat semangat berusaha dan mencari nafkah tidaklah maksimal. Belum lagi 2 orang anak yang harus ia asuh karena sang istri dirawat melengkapi nestapa hatinya.“Baiklah mak.” tanpa rasa curiga sedikitpun surat itupun ditanda tanganinya.

Waktu terus berjalan. Hampir 3 bulan bu Juriah dirawat di rumah sakit. Sampai pada akhirnya bu Juriah diperbolehkan pulang. Badannya sudah terasa lumayan sehat, namun penglihatannya tidak dapat dikembalikan. Bu Juriah kembali berkumpul bersama pak Zairin  dan anak anaknya. Kehidupan baru telah dimulai. Bu Juriah memulai hidup barunya tanpa melihat. Karena keterbatasan itu ada kalanya tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga terpaksa diambil alih pak Zairin. Sebuah keadaan yang yang terkadang disambut bu Juriah dengan cucuran air mata. Namun pak Zairin mencoba menyabarkannya. Pak Zairin hanya menyalahkan keadaan, bukan dirinya. Dan biasanya pak Zairin menutupnya dengan ucapan jaminan bahwa pak Zairin tetap mencintainya sampai kapanpun dan apapun yang terjadi.

Pak Zairin memulai tugas barunya merangkap seorang bapak dan ibu rumah tangga. Bu Juriah mulai membiasakan diri hidup dengan penglihatan tidak sempurna. Sebelum kesawah dan bekerja bercocok tanam, pak Zairin membereskan pekerjaan rumah terlebih dahulu. Disiapkannya makanan, dibantunya istrinya sampai selesai mandi. Dibereskannya kedua anaknya, barulah Pak Zairin berangkat bekerja. Sekalipun berat, semua dilakukannya dengan hati suka. Dia berusaha menyamarkan luka yang terjadi sekuat tenaga. Kesedihan yang terus dikenang akan sulit berlalu. Dipancarkannya rasa keceriaan kepada istri dan anak anaknya. Dia tidak ingin hidup keluarga dan anak anaknya terus menerus larut dalam kesedihan.

Lihat selengkapnya