Pagi yang cerah dihari itu. Seperti biasanya seiring matahari naik, denyut kehidupan di daerah itu mulai terasa. Ada yang menuju sawah dan ladang, ada yang memulai hari dengan bercengkrama di warung sambil meminum kopi hangat. Begitu pula dengan Pak Zairin tak ubahnya seperti yang lain, dia duduk di balai balai depan rumahnya. Melepas pandangan ke danau lepas yang mengkilat kuning keemasan terkena cahaya matahari pagi. Segelas kopi hangat sajian mulai dihirupnya perlahan. “Assalamualaikum,” selembar ucapan salam terucap sayup sayup dari halaman rumah. Pak Zairin langsung mencari suara dengan gerakan kepalanya. Sembari memperbaiki posisi duduk, salam pun dijawabnya."Waalaikumsalam, kau ternyata Bakhtiar, masuklah, silahkan duduk." ucapnya.”Santai sekali tampaknya uda,” Bakhtiar membalas sembari mencari posisi duduk.”Ahh, mana ada orang seperti kita ini santai Bakhtiar. Duduk memang santai, tapi pikiran menerawang memikirkan apa yang akan dimakan hari ini.” Pak Zairin membalas gurauan Bakhtiar sambil tersenyum. Mereka berdua tertawa.
Setelah berbasa basi sejenak, Bakhtiar sang tamu pun mulai berbicara. Sambil memandang pak Zairin, dengan nada serius pun Bakhtiar memulai pembicaraan.”Sesuai dengan terawangan kita memikirkan hidup, agaknya saya punya kabar baik untuk uda Zairin,”. “Apa itu Bakhtiar?" sambil membereskan abu rokoknya Pak zairin pun menatap Bakhtiar dengan penuh rasa ingin tahu.”Begini uda. Kemaren sore, ada teman dari Kerinci datang ke rumah saya. Katanya saat ini ada pekerjaan dihutan rimba di daerah itu. Pekerjaan menebang kayu, membelah dan menarik kayu keluar hutan. Dari perhitungan yang disampaikannya kepada saya, upah yang ditawarkan cukup tinggi. Tempat tidur menginap dan makan disediakan. Upah yang diterima adalah upah yang bersih saja sekitar 200 ribu dari setiap batang kayu yang kita bawa. Adapun maksud saya kesini adalah untuk mengajak uda bergabung. Sebelumnya 2 orang teman lain, si Maksum dan si Amir sudah bersedia dan siap untuk berangkat. Sekarang bagaimana dengan uda, apakah uda bersedia?”.
Mendengar apa yang disampaikan Bakhtiar, Pak Zairin memperbaiki posisi duduknya. Baru saja ia bergerak tak sadar dan tidak sengaja sikutnya mengenai gelas kopi yang dia letakkan disisi balai tempatnya duduk. Gelas itupun jatuh ke lantai, terpecah tiga sama besar.”Astagfirullah," bibir Pak Zairin langsung beristighfar berkali kali. Pak zairin segera turun. Dibersihkannya pecahan gelas itu sampai bersih. Setelah bersih Pak Zairin pun kembali duduk.”Maaf bakhtiar,” pak Zairin meminta maaf atas yang terjadi.“Tidak apa apa uda Zairin." balas Bakhtiar seraya tersenyum.
Pak Zairin pun menghela nafas panjang. Pandangannya pun jauh lepas ke arah danau."Begini Bakhtiar, aku berterima kasih atas ajakanmu, tapi bukankah kita tahu kalau rimba hutan Kerinci itu cukup jauh, akses dan komunikasi begitu susah. Apalagi sebentar lagi ada perayaan Maulud di kampung kita, bukankah itu Alek Nagari?, acara yang ada satu kali dalam setahun, seandainya kita berangkat, tentulah acara itu kita lewatkan.” sepertinya Pak Zairin mencari cara halus untuk menghindari ajakan Bakhtiar."Hmm, iya uda, ucapan uda benar. Tak ada rimba yang dekat uda. Tetapi bukankah pekerjaan ini menyangkut hajat hidup keluarga kita?, nafkah kita dan anak istri untuk penyambung hidup?. Sedangkan acara perayaan maulud, ada dan tidak adapun kita, bukankah acara itu tetap berjalan?, dan dari keramaian orang, kitapun nanti tidak akan terlihat, hanya menjadi penonton saja, karena kita hanyalah orang kebanyakan. Ibarat abu di atas pokok kayu saja. Manakah rasanya yang lebih penting, alek nagari atau asap tungku dapur kita?" Bakhtiar menanggapi jawaban pak Zairin. Sebatang rokok daun enau pun mulai digulungnya."Benar ucapanmu bakhtiar, tapi walaupun begitu, lazimnya orang dikampung kita, bukankah selesai acara baru dia berangkat?" jawab pak Zairin. "Setelah acara selesai, barulah orang mulai berangkat berdagang, bekerja, kembali ke rantau untuk urusan masing-masing?" sambungnya."Betul uda, tapi mereka kan punya pencaharian tetap, berbeda dengan kita. Sedangkan kita bekerja sesuai panggilan orang. Kita tidak punya barang dagangan. Dagangan kita hanya tulang delapan karat ini saja. Pekerjaan ini tidak datang dua kali uda, saya berharap uda pikirkan lagi ajakan saya ini" ucap Bakhtiar sambil membuang pandangan. Sepertinya dia tidak ingin mendebat pak Zairin terlalu lama.