Ketika Cinta Menuntun Pulang

Willian Selva
Chapter #4

BELAJAR BERDAGANG

Hari beranjak sore. Sejurus terlihat jalanan beranjak ramai. Lalu lalang orang berjalan pulang dari sawah, bercampur dengan iringan itik melenggak lenggok pulang petang. Sejurus di ujung jalan, kesibukan mulai terlihat. Itulah Balai Ahad namanya, pasar rakyat yang ramai setiap hari Minggu. Pasar tempat pusat ekonomi masyarakat sekali dalam sepekan. Sudah hal yang biasa di tanah Minangkabau, daerah dinamakan berdasarkan hari pasarnya. Masing masing daerah bergiliran hari pasarnya setiap minggu. Cara ini sangat baik dilihat dari aspek ekonomi. Perputaran ekonomi akan merata. Alasan penting lain adalah karena setiap daerah memiliki andalan komoditi yang berbeda beda, sehingga bagi pedagang kondisi pasar yang bergiliran ini sangat menguntungkan.

Tapi hari ini pasar ini akan berubah wajah. Balai Ahad Koto Gadang akan dijadikan pusat perayaan hari Maulud. Terlihat ramai bapak-bapak bergotong royong membersihkan kawasan pasar. Membuang dan membakar tumpukan sampah. Kaum ibu tak tinggal diam mengayunkan sapu dan mengerjakan apa yang mereka bisa. Sudah lazim di daerah Minangkabau, semuanya dilakukan bersama-sama, bergotong royong dan saling membantu melakukan apapun. Alek atau perayaan hari besar nagari yang paling ditunggu baik penduduk asli maupun tamu yang sengaja datang dari daerah lain. Alek sebagai peringatan kelahiran baginda Nabi, juga sebagai tumpahan rasa syukur atas nikmat atas panen padi dan hasil ikan yang melimpah.

Di Balai Ahad inilah pasar malam akan digelar. Pasar malam yang dicampur dengan berbagai kesenian tradisi. Seperti Randai, perlombaan Pencak silat, dan besok paginya akan dilanjutkan dengan perlombaan pacu jawi dan lomba pacuan itik di areal sawah yang tidak jauh dari balai. Disudut lain juga akan dilanjutkan dengan lomba pacu biduk, sampan nelayan yang dikayuh sekitar 6 orang setiap sampan. Pacu biduk inilah yang biasanya ditunggu masyarakat Maninjau dan sekitarnya. Karena pada acara tahun ini para pemacu juga didatangkan dari daerah lain. Pendayung Palinggam yang terkenal dari daerah muara Batang Arau Padang, pendayung dari Muara Sungai daerah Bungo Jambi, pendayung dari pelaut Air Bangis yang terkenal tangkas dan banyak lagi peserta dari daerah lain.Tahun ini acara dibuat sangat meriah. Karena permerintah baru saja selesai membangun dam dermaga di daerah Tiku, sehingga pasar ikan dan pelabuhan Tiku pun menjadi ramai. Acara ini menjadi buah bibir dan gurauan orang di kedai di pinggir pelabuhan.

Hamdi terlihat pulang dari sawah. Dengan lenggang sorenya, dia berjalan dengan santai. Terkadang pandangannya di lepaskan ke udara. Menatap burung yang melayang di riak danau. Sementara pandangannya melayang tinggi, dia dikejutkan tepukan pundak dari seseorang dibelakangnya. Sejenak dia berkelit, mengelak dan mengambil sikap siaga. Bekas pelajaran silat pelindung diri masih terbawa dalam langkahnya. Silat yang dahulu diajarkan guru tuo silek Maninjau , Rajo Angek Garang. Kalau tidak cepat dia tersadar, dengan reflek cangkul itu di ayunkan pada saat dia berbalik. Akan tetapi tidak, dia memiliki pemahaman dan ketenangan tentang silat yang dianutnya. Dia berbalik dan melihat.”Eh, kaulah rupanya,” Hamdi tertawa.”Tangkas sekali kau Hamdi, teman sendiri ingin kau pukul juga” ujar Mukhlis menggeleng sambil tersenyum."Bukan begitu Mukhlis, gerakanmu teramat halus, aku kira tadi binatang buas. Gerakanmu seperti Harimau Buluh saja, tidak terdengar dan terasa, makanya aku ingin mengenal gerakanmu." ujar Hamdi berseloroh. “Mengenalkanku dengan tangkai cangkulmu?, mati bujanglah saya nanti, belum lengkap merasakan dunia seperti apa, sudah berkalang tanah pula” jawab Mukhlis. Mereka berdua pun tertawa.

“Bagaimana kabarmu kawan?” ucap Mukhlis sembari menepuk pundak sahabatnya itu. “Alhamdulillah baik,” Hamdi menjawab sambil tersenyum.“Engkau sendiri bagaimana?" Hamdi balik bertanya.”Baik, sebaik kabar yang akan aku sampaikan kepadamu" jawab Mukhlis mantap. ”Kabar apa itu?” Hamdi bertanya penuh rasa ingin tahu. ”Ahh, kabar santai kawan, tak usah tegang pula” Mukhlis tersenyum."Bagaimana kalau kita bicara sambil berendam di sungai?, biar badan dingin kepala dingin?" lanjutnya.“Bagus juga pikiranmu. Ayolah, sudah lama pula kita tidak berendam”. Hamdi mengamini ajakan mukhlis sambil mempercepat langkahnya.

Tak berapa lama sampailah mereka di hulu Batang Antokan. Sungai jernih yang sangat terkenal di hilir danau. Sungai dengan aliran yang deras. Berhulu dari danau Maninjau. Merekapun berendam mencuci badan. Sambil berendam, Mukhlispun membuka pembicaraan.”Begini kawan, aku ingin bertanya. Apakah engkau sudah terlalu nyaman dengan pekerjaanmu saat ini?. Aku lihat di usia yang masih muda ini, tenteram sekali hatimu untuk mengayun cangkul menengadahkan punggung ke langit” Mukhlis berkata sambil mencuci mukanya. Hamdi mendengar sambil terdiam, tangannya memainkan gemericik air, seolah olah tidak mendengar. Melihat Hamdi yang belum menjawab, Mukhlis pun kembali menyambung.”Tidak inginkah engkau sedikit merubah nasib?.Tidak inginkah engkau seperti orang orang lain kebanyakan? bukankah kita sama seperti mereka?”ucapan Mukhlis pun membuat Hamdi terbangun dari lamunannya. Mulai dia dapat memahami, pertanyaan temannya bukan untuk sekedar bertanya, bukan sekedar merendahkan dan menghina.Tetapi dia menangkap ada harapan dibalik itu.

”Kenapa kau bertanya demikian?” Hamdi mulai bereaksi. Pertanyaan Hamdi membuat Mukhlis makin bersemangat. Mukhlis memperbaiki posisinya. Dia menatap serius ke arah Hamdi.“Mungkin aku sama dengan engkau Hamdi. Kita berdua adalah pekerja untuk induk semang masing-masing. Sehari-hari kita bangun pagi dan bekerja untuk memperkaya orang saja. Saya bekerja sebagai pemberi makan ikan tuan Lenggang. Setelah panen akulah yang membongkar ikan. Saya yang mengantar, uang penjualan saya yang bawa, saya yang setorkan, dari sanalah upahku dihitung. Ikan mati saya yang salah, terlalu banyak ikan yang mati saya dianggap lalai. Malam ikan aku yang menjaga. Takut dicuri orang. Ahh, terlebih ikan itu seperti anak kandungku saja, tidak lepas dari penglihatanku. Untung saja malam tidurnya ikan itu tidak pula aku dendangkan.”Mukhlis tertawa. “”Hahaha, iya, untunglah tidurnya ikan tidak kau dendangkan. Kalau kau dendangkan makin banyaklah ikan itu mati mendengar suaramu. Makin rugilah tuan lenggang.” Hamdi membalas candaan Mukhlis. Merekapun saling tertawa dengan suasana yang mulai sedikit mencair.

 ”Akupun juga begitu Mukhlis, setiap hari sawah orang yang aku bajak. Sampai kerbaunya Sutan Marajo itu tidak mau bekerja kalau bukan akulah tukang bajaknya.” Mukhlispun tak kuasa menahan tawanya."Sudah sehati kau tampaknya dengan kerbau itu. Pantaslah kulihat, kau tak ingin kawin, sibuk disawah saja. Sudah ada tambatan hati kau rupanya.” Hamdipun memercikkan air ke wajah Mukhlis, tawa kembali pecah diantara mereka.”Makanya kawan, kita harus merubah nasib. Engkau tahu kita sama dengan semua orang-orang kaya itu. Sama-sama punya tangan, kaki dan mata. Bumi sama sama dihamparkan Tuhan juga untuk kita. Bumi dan segala isinya diciptakan Allah dalam keadaan diam. Kitalah sebagai manusia yang menggerakkannya. Menggerakkan dan menghasilkan rezki. Ingatlah kawan, rumput yang tidak kita tanam tumbuh juga, apalagi sesuatu yang kita tanam. Tanpa kita usahakan ikan di danau sudah tersedia, apalagi kalau kita usahakan. Tentu hasilnya jauh lebih berlipat. Selagi kita mau memulainya, pasti jalan akan terbuka, bagaimana kawan?" Mukhlis menyambung ucapannya

Hamdi terpana mendengar paparan Mukhlis.’’Iyaa, ucapanmu benar. Tetapi itu falsafahnya kawan, teorinya. Bagaimana dengan pelaksanaannya?. Hidup dengan falsafah saja tidak cukup. Memikat Kenari tidaklah cukup dengan membaca syair dan puisi yang indah, harus ada umpan yang kita semai. Bagimana caranya?” Hamdi balik bertanya.”Pertanyaanmu bagus kawan, aku berencana dan berbuat tentu dengan apa yang sudah kupikirkan sebelumnya. Tidak mungkin aku mengajakmu berendam disungai ini hanya untuk berkhayal dan mengada-ada. Berandai andai itu bagusnya sebelum tidur , mudah-mudahan terbawa mimpi. Kalau berkhayal yang indah-indah disungai nanti bisa lupa diri. Hanyut dibawa arus sungai kita nanti.” Hamdi tersenyum mendengar penuturan temannya itu.

”Begini kawan,” Mukhlispun mulai terlihat serius.”Tidakkah kau lihat, sebentar lagi pasar malam di Balai Ahad akan dimulai. Bukankah acara itu pusat keramaian seluruh anak negeri. Bukan negeri ini saja, tapi Sumatera Tengah pada umumnya. Negeri kita ini akan ramai. Dari segala penjuru orang datang. Bukankah ini adalah peluang kita untuk berdagang?. Ini adalah peluang terbaik kita. Tidak boleh disia-siakan. Kalau hendak berdagang sekaranglah saatnya. Bagaimana menurutmu?” Hamdi menghela nafas dan berpikir sejenak.“Ucapanmu benar mukhlis. Ini saat yang baik. Tapi kita akan berdagang apa?. Apakah kita sudah pernah mencoba sebelumnya?. Dan bukankah berdagang memerlukan modal?. Modalnya darimana?”. Hamdi memberondong mukhlis dengan pertanyaan.

Mukhlis pun menjawab dengan tenang. Seakan pertanyaan Hamdi sudah dia duga sebelumnya.”Itulah masalahnya kawan, aku bawa kau berunding disini. Aku sebenarnya tertawa dalam hati atas pilihanku ini. Kenapa aku membicarakan dan membahas masalah rencana berdagang dengan orang melarat semacam kau?” Mukhlis berujar sambil kembali mengusili temannya itu.”Tapi yakinlah, kita berkawan sudah lama. Mitra berdagang harus dengan orang sehati, saling percaya, dan setia kawan. Itulah modal yang lebih dahulu ada sebelum adanya modal uang. Makanya aku mengajak kau.” Mukhlis diam sejenak.

Sejurus kemudian Mukhlis pun melanjutkan.”Begini Hamdi, sewaktu panen ikan berlimpah musim haji kemaren saya menerima kebaikan Tuan Lenggang. Satu petak keuntungan kolam ikan di berikannya kepadaku. Anggaplah sebagai upah kesetiaan dan kejujuranku bekerja selama ini dengannya. Alhamdulillah menghasilkan sekitar 3 emas. Rencananya aku gunakan untuk modal berdagang. Kau carilah modal barang sedikit, biar kurangnya nanti bisa ditambahkan dengan apa yang aku punya. Setelah nanti pasar malam selesai, barulah modal itu kau kembalikan. Soal berdagang, kebetulan saya pernah mencoba dan melihat. Kau tahu, adik tuan Lenggang adalah pedagang kain. Kebetulan saya pernah dibawanya menggantikan anak buahnya yang sedang ada hajat menikah untuk membeli barang dan berdagang ke daerah Padang Panjang selama 2 bulan lamanya. Dari sanalah saya memahami bagaimana caranya berdagang kain, mulai dari membeli barang, sampai menakar harga beli dan keuntungan. Janganlah kau ragu soal itu. Mustahil bergerak dan melakukan sesuatu tanpa ilmu yang mengiringinya. Pastilah semuanya dilakukan dengan perhitungan. Kau jangan takut, aku akan mengajarimu.“ ucap Mukhlis dengan nada meyakinkan.

Hamdi mengangguk kecil. Dalam hatinya ajakan Mukhlis ini sangatlah menarik hatinya. Sebuah kesempatan yang sangat baik dan entah kapan kesempatan seperti ini kembali ada.”Itulah Mukhlis, kalau untuk modal itu saya pikirkan dulu. Engkau tahu sendirilah, keadaanku seperti apa. Walaupun tambahannya dilidah terucap sedikit, tetapi belum tentu bagiku ada. Tetapi yang perlu engkau ketahui aku sangat sepaham dan seniat dengan engkau. Untuk modal aku usahakan dulu. Mungkin besok kita bicarakan lagi."ujarnya.“Baiklah kalau begitu.” Mukhlis mengamini.”Kalau kau sudah punya jawaban pasti, kabari aku secepatnya” balasnya.“Baiklah” tutup Hamdi. Kedua teman baik itu pun berdiri, berganti pakaian dan berjalan pulang ke kediaman. Seiring Azan yang sayup sayup terdengar berkumandang, tak lupa dua orang muda itu menyempurnakan wudhu, mempersiapkan diri untuk beribadah menyembah Khalik disenja itu. 

***

“Lambat kau pulang Hamdi,” ucap ibunya menyambut langkah Hamdi menaiki tangga rumah. ”Iyaa, bu.” salam pun terucap, seraya mencium tangan ibunya.”Tadi saya berendam di sungai dengan Mukhlis, lama tidak berjumpa.” sambungnya sambil berjalan masuk kamar. Pakaiannya pun diganti. Karena sewaktu berendam disungai tadi dia sudah berwudhu, maka dengan segera shalat Maghrib dia tunaikan.

Selesai Shalat Hamdi pun beranjak keluar, dia bersandar di balai-balai luar teras. Tak berapa lama, ibunya pun datang menghampiri.”Sudah 3 hari bapak pergi ya bu.” Hamdi menyapa ibunya seraya menghirup teh hangat ditangannya.”Iya nak, semoga bapakmu sehat dan selamat saja”. Ibunya menambahkan.

Hamdi melihat ke halaman. Ingin rasanya perbincangan tadi sore dengan Mukhlis disampaikannya, namun rasa ragu masih menyelimuti hatinya. Rasa sungkan terhadap ibunya masih sedikit menghadang. Hamdi lebih banyak diam.“Apa yang sedang kau pikirkan Hamdi?, apakah kau punya masalah?" naluri keibuan bu Juriah menangkap kegelisahan pikiran Hamdi.“Ahh, tidak ada bu". Hamdi tersenyum sedikit mengelak.”Kalau ada masalah, berbagilah dengan ibu, mana tahu ibu bisa membantu. Jangan kau simpan sendiri.” ujar bu Juriah. Tangannya tetap tak berubah mengatur irama tasbih yang berputar teratur di tangannya.”Begini bu, ada yang ingin saya katakan. Namun berat sebenarnya bagi saya untuk mengucapkan.” ucap Hamdi sungkan.“Ahh, katakan saja nak, aku ini ibumu” bu Juriah tersenyum menimpali ucapan Hamdi.

Seraya memperbaiki posisi duduknya Hamdi pun akhirnya bicara.”Begini bu, bertahun tahun kita menjalani hidup disini, sampai saat ini nasib belumlah berubah. Saya yang membanting tulang bersama bapak, hanya bisa memberikan nafkah yang dapat pagi habisnya petang. Bapak yang ikut membanting tulang bersama saya, tentu saja dengan bertambahnya usia, kemampuan beliau tentu saja semakin berkurang. Tidak akan selamanya beliau sanggup bekerja berat seperti dulu. Dan melihat apa yang sudah dijalani, selama pekerjaan yang dilakukan hanya membanting tulang saja, rasanya hidup akan sulit berubah. Saya sudah dewasa, tentu saja saya juga mempunyai cita cita. Kelak saya pun tentu ingin berkeluarga. Saya pun ingin meretas apa yang diretas orang lain. Seandainya saya dalam keadaan begini terus, tentu sulit buat saya.” suasana hening sejenak. Hamdi menghela nafas panjang.

 “Saya ingin merubah nasib bu. Tak lama lagi dikampung kita ada acara besar. Perayaan Maulud yang ramai dan megah, yang diiringi dengan acara pasar malam. Saya ingin mengadu nasib disana , saya ingin berdagang, mana tau ada suratan tangan nasib berubah.” sambungnya. Bu Juriah termenung. Dia begitu mendengar jelas dan sangat mengerti apa yang diutarakan anaknya.”Ibu sangat paham keinginanmu nak. Tapi tentunya berdagang tentu saja butuh modal, apa yang kita punya?, dengan apa modal berdagang engkau dapatkan? ibu tidak punya apa-apa nak, bisa kau lihat sendiri”. Hamdi tertunduk mendengar jawaban ibunya. Sebuah jawaban sudah dia duga sebelumnya.

“Tidakkah ibu punya sedikitpun barang berharga atau simpanan yang bisa dijadikan modal? Saya yakin bu, kalau ada, InsyaAllah kalau rezeki kita berdagang mudah-mudahan beruntung. Saya menjual barang yang cepat putarannya saja bu. Kebetulan saya berdiskusi dengan Mukhlis. Dia hanya meminta saya menyediakan sedikit modal saja, kekurangannya sementara dialah yang menutupi. Setelah acara dan dagangan selesai, semua akan dihitung. Yang akan dijual adalah kain. Mukhlis sudah berpengalaman berdagang kain. Kabarnya perayaan maulud kali ini acaranya cukup besar. Jual beli biasanya sangatlah ramai bu, apalagi tamu dari negeri seberang banyak yang datang. Murid Baru dari seluruh pelosok negeri banyak baru bergabung ke Pesantren Thawalib dan Parabek. Biasanya di acara ini mereka datang.Tentu saja ini adalah peluang yang cukup besar. InsyaAllah bu, bantulah saya.” Hamdi memohon dengan mata berkaca kaca.”Ibu paham nak, paham apa yang engkau sampaikan, tapi apa yang bisa ibu berikan?" Tak banyak yang mampu Bu Juriah jawab, selain hanya mengulang jawaban yang sudah dia jawab sebelumnya. Mereka berdua pun saling terdiam.

Hamdi kehabisan kata kata lagi untuk meminta, dan bu Juriah kehabisan sudah kehabisan kata kata untuk menjawab. Sebagai seorang ibu, Juriah pun sangat memahami apa yang dirasakan anaknya. Lirih hatinya melihat anaknya terisak. Dalam pikirannya apa yang disampaikan Hamdi sangat benar adanya. Sebagai laki laki, tentulah dia ingin maju merubah nasib, tidaklah ingin seumur hidup menjadi buruh tani saja. Sebuah pemikiran yang sangat baik, namun apa yang mau diberi.

”Begini nak, sebenarnya ibu hanya punya 1 barang berharga. Ketika engkau lahir, ada sekitar 5 emas perhiasan yang diberikan kakekmu, sebagai hadiah menyambut cucu pertamanya lahir,” suara bu Juriah memecah kesunyian.“Ibu dan ayahmu menggenggam perhiasan ini baik baik. Emas ini adalah satu satunya harta cadangan, untuk sebagai simpanan jika keluarga kita menghadapi hal hal yang tidak terduga seperti jika ada keluarga yang sakit maupun musibah lainnya. Jika keras hatimu, bulat keinginanmu, ibupun tidak tega untuk melarang. Pakailah nak, pakailah emas simpanan itu. Mudah mudahan rezekimu ada disana. Simpanan itu kembali dan bertambah hendaknya” ucap ibunya sambil berlinangan air mata.

Lihat selengkapnya