Hari berganti. Selesai shalat isya dimalam itu, sesuai dengan yang telah dijadwalkan nagari dilaksanakanlah pengajian malam ke tujuh untuk mendoakan kepergian ibunda Hamdi. Pengajian diawali dengan ceramah agama untuk menggugah kesadaran manusia tentang betapa singkatnya hidup di dunia ini. “Ibarat antara azan dan iqamat saja. Kematian adalah mutlak rahasia Allah. Dialah yang maha memiliki. Nyawa di badan hanyalah pinjaman saja. Kapanpun Dia berkehendak Dia langsung mengambilnya. Tak satupun makhluk hidup di dunia ini yang lolos dari kematian. Soal waktu, tempat dan bagaimana cara kematian menjemput itu adalah rahasia Allah. Tak akan maju ataupun mundur sedetikpun (Surat Al-Munafiqun ayat 11)".
"Bermacam macam cara orang menjemput ajal, bahkan dengan cara yang tidak disangka sangka saja. Bahkan ada yang masih sehat walafiat, tak satupun memberikan tanda tanda , diambil Tuhan jua. Ingatlah sakitnya kematian bukanlah caranya, namun cara malaikat mencabutnya. Terkadang ada orang yang mati ketika sedang bersenang senang dengan pezina di rumah bordil, lidah dan matanya menjulur keluar. Mulutnya menganga dan susah di katupkan. Mayatnya mengeluarkan bau yang tidak sedap. Namun lihatlah para syahidin yang mati di depan hunusan pedang. Bersimbah darah, namun mati dengan bibir tersenyum, dan muka cerah berbinar. Jadi janganlah disangka mati dalam keadaan bersenang senang bermaksiat itu tenang. Malah sebaliknya. Ketika syahid, malaikat mencabut nyawa dengan memperlihatkan surga dipelupuk matanya. Itulah yang membuat para syahidin dan orang orang yang beramal shaleh tersenyum dan terlihat bahagia dalam kematiannya. Berbeda dengan mati dalam keadaan maksiat, tentulah malaikat mencabut nyawa itu dengan cara yang keras pula dengan azab yang ada di depan mata".
"Karena kematian pasti adanya, tugas manusia adalah mempersiapkan diri. Senantiasa bermuhasabah, menghitung hitung diri. Hidup hanyalah sekali. Salah langkah, salah pertimbangan tidak ada kesempatan kedua. Penyesalan tidak akan ada gunanya. Bahkan dalam Al quran Tuhan pun telah mengatakan tentang penyesalan manusia dialam akhirat nanti. “Kembalikan kami ke dunia, niscaya kami akan beramal shaleh”, (Qs: Faathir ayat 37). Sebuah hal yang tidak akan mungkin. Tidak ada orang yang hidup lagi didunia ini sesudah mati. Bahkan para nabi dan rasul pun tidak pernah dihidupkan kembali ke dunia ini. Tidak akan ada lagi kehidupan dunia lagi sesudah kematian. Hidup sesudah mati hanyalah hari pembalasan di alam akhirat. Dunia darul Amal, Akhirat darul jaza." Buya Salman Datuak Mangkuto Basa menyampaikan ceramah agamanya yang membuat seluruh hadirin yang hadir bertakziah tertegun menghitung diri masing masing. Suasana hening. Hamdi dan Zainal meneteskan air mata.
Ceramah malam itu ditutup dengan suasana haru, beriring doa untuk keselamatan almarhumah semoga diletakkan di tempat yang layak disisi Allah. Segala taufik dan hidayat dilimpahkan Allah kepada keluarga dan masyarakat yang ditinggalkan. Selesai pengajian semua yang hadir pun pamit untuk kembali pulang. Masing masing yang hadir menyalami Hamdi dan Zainal, menepuk bahu meminta supaya sabar akan ujian ini. Kedua pemuda yang baru beranjak dewasa itupun mengucapkan banyak terima kasih kepada yang hadir.
Ketika seluruh tamu yang hadir beranjak pulang tinggalah Hamdi, Zainal dan Pakiah Leman, garin penjaga Masjid. Setelah duduk sebentar, terlihat jam sudah menunjukkan jam 11 malam.“Mak Pakiah, hari sudah jam 11 malam, sudah waktunya kita istirahat.” Hamdi membuka pembicaraan.”Iyaa Hamdi, istirahatlah, kau terlihat lelah sekali. Tidurlah, tenangkan dirimu,” jawab Pakiah Leman.“Iyaa, mak Pakiah. Tetapi malam ini saya punya satu permintaan. Saya ingin malam ini bersama adik saya tidur di dalam surau. Sudah lama saya tidak tidur di dalam surau. Saya ingin lebih tenang di surau malam ini.” ucap Hamdi menerangkan.“Kalau begitu permintaanmu, tidak apa apa Hamdi, tidurlah.” Pakiah Leman menjawab tanpa ada rasa curiga apapun.“Terima kasih mak Pakiah,” Hamdi menutup pembicaraan.
Tak berapa lama Hamdi pun mulai beranjak diiringi Zainal sang adik. Mereka masuk ke dalam surau. Sesampai di langkan surau, Zainal pun berbisik “Apa gerangan yang mendorong uda untuk tidur di dalam surau malam ini?" dengan penuh tanda tanya, karena biasanya mereka tidur di kamar di sisi surau.”Duduklah dahulu, nanti kujelaskan.” jawab Hamdi. Setelah menutup pintu dan memastikan semua aman dengan suara serak dan terbata Hamdi mulai berbicara.”Begini Zainal, malam ini adalah peringatan 7 hari perginya ibu dari sisi kita, artinya sudah 7 hari peristiwa yang memilukan ini terjadi. Selama rentang waktu itu, bayang bayang ibu dan kejadian buruk itu belum bisa saya hilangkan. Setiap saat ingatan saya selalu tentang ibu saja. Ketika saya berdiri di pinggir danau, wajah ibu serasa menari nari dipermainkan riak air. Padahal saya sangat mengerti, bahwa kita tidak akan selamanya hidup begini. Tidak selamanya kita hidup dalam kasihan orang karena tidak akan selamanya pula orang akan iba dengan kita.“Ibo urang bakutiko,” begitulah pepatah menyampaikan, artinya rasa kasihan orang terhadap kita ada saat dan masanya. Terkadang sayapun mencoba berpikir tentang apa yang bisa saya usahakan untuk menyambung hidup dan untuk kemandirian hidup kita. Berbagai macam rencana pun saya pikirkan. Namun ketika semangat itu muncul, seketika itu pula tekad dan semangat itu luluh lantak, ketika puing reruntuhan rumah kita yang habis dilalap api saya pandangi. Air mata dan kesedihan tidak sanggup saya bendung. Hancurlah angan angan dan rencana itu dari ingatan. Apalagi rasanya saya tidak sanggup menerima kepulangan bapak dengan keadaan kejadian seperti ini. Tak tahu apa yang harus saya jawab, dan tak dapat saya bayangkan hancurnya hati dan perasaan beliau.” Hamdi terdiam sejenak. Sesak terlihat jelas didadanya, ketika mencurahkan seluruh apa yang sedang dirasakannya
“Selama kesedihan dan kebimbangan ini masih berada di pelupuk mata, nampaknya selama itu pula suasana hati sulit berubah. Tampaknya untuk saat ini tanah Maninjau ini belum ramah dan bersahabat terhadap jalan hidup kita. Jalan satu satunya yang harus kita tempuh sekarang adalah kita tinggalkan tanah Maninjau ini. Kita coba peruntungan di tempat lain. Kita adu nasib di rantau orang. Ini harus kita lakukan, apapun taruhannya. Untung kehendak Allah, nasib akan berubah. Namun jikalau malang nasibnya badan, kepada Allah jualah kita berpulang. Semua kita serahkan kepada takdir dan suratan tangan.” Zainal terdiam mendengar penjelasan kakaknya. Matanya berkaca kaca terbawa keharuan.“Kemana kita akan pergi uda?” sebuah pertanyaan yang tentu saja beriring rasa cemas dihatinya. Maklum sepengatahuannya, kakaknya pun belum pernah menetap keluar dari Maninjau ini. Belumlah ada pengalaman merantau. Kerabat dan keluarga ditempat lain pun tidaklah dia punya.“Kemana kaki melangkah saja Zainal. Selagi di bumi Allah jua disana langkah kaki kita ayunkan. Disana kedua tangan kita usahakan dan disana pula doa kita panjatkan. Langkah pertama keluar dari Maninjau ini tentu saja Bukittinggi. Hanya Itulah daerah yang sudah pernah saya jejaki. Mana tahu ada rezeki kita disana." ucap Hamdi sambil menatap adiknya itu dengan tajam.“Saya terserah uda saja. Selain uda, tidak ada lagi junjungan saya tempat bergantung didunia ini. Kepada uda saja semua saya serahkan. Saya menurut saja”. Zainal berujar sambil tertegun.
Hamdi berdiri. Dipeluknya adiknya zainal itu. Sambil mengecilkan sumbu lampu yang menyala di dinding surau dia berujar ”Nanti sekitar pukul 3 subuh kita turun dari surau. Makanya ku ajak kau tidur didalam surau, supaya kita keluar nanti tidak diketahui garin. Kita tinggalkan Tanah maninjau ini." Zainal mengangguk ”Baiklah uda” zainal menjawab dengan patuh.
Kedua anak manusia itupun mulai merebahkan badan. Mata Hamdi mengarah ke jajaran kayu di loteng surau, pikirannya jauh menerawang. Terbayang tantangan hidup yang akan dihadapi esok hari. Entah kemana kaki akan dilangkahkan. Entah kemana untung dan parasaian badan akan singgah. Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu. Wajah ibu tetap terbayang dipelupuk mata. Setetes air mata bening jatuh di sela pipinya. Sekarang hidup mutlak sepenuhnya ada ditangannya. Dia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan adik yang sangat dikasihinya. Dia merasa terlahir sebagai orang yang baru didunia ini. Tidak punya apa apa dan memiliki siapa siapa. Dia harus berjuang dengan tulang delapan karatnya. Arah hidupnya saat ini sepenuhnya ada ditangannya. Sejurus kemudian Hamdi pun tertidur. Lelah telah menghukum matanya di dalam itu.
Malam merambat semakin jauh. Angin dingin semakin merasuk ke tulang. Selesai Tahajjud dan bermunajat, Hamdipun mulai membangunkan Zainal. Setelah Zainal terbangun dan kembali ke alam sadarnya, Hamdipun mengajak Zainal bersiap siap. Mencuci muka mempersiapkan sedikit baju tukaran yang diberikan warga. Dengan memikul kain sarung berisi bekal seadanya. Dengan berucap Bismillah dan dengan mendahulukan kaki kanan dengan mantap langkahpun diayunkan."Turun berbilang anak janjang," begitu ungkapan minang mengatakan. Memandang dan menghitung bilangan anak janjang surau tanah Maninjau untuk terakhir kalinya.
Dengan cepat langkah kaki diayunkan. Zainal mengiringi langkah kakaknya dari belakang. Sewaktu melewati bekas bangunan rumahnya yang terbakar, Hamdi berhenti sejenak. Ditatapnya bangunan itu untuk terakhir kalinya. Dengan harapan kelak nanti seandainya umur panjang Tuhan mempertemukannya lagi.
Pado mananam lobak lambau
Bialah sawi batugakan
Pado manahan hati risau
Bialah kampuang batinggakan.
Sebuah pantun Minang lama yang menggambarkan ungkapan perasaaan Hamdi pada saat itu. Dengan yakin dia lurus menatap ke depan. Tidak menoleh kebelakang lagi.“Cepatlah Zainal, kalau bisa pas shalat Shubuh kita sudah sampai di pasar Tanjung Raya. Biasanya ada mobil setelah shalat Shubuh itu lewat menuju ke Bukittinggi.” Hamdi menyentak langkah adiknya agar berayun lebih cepat."Iyaa uda,” sahut Zainal sambil berusaha mengimbangi langkah kakaknya. Mereka terus berjalan. Mereka berdua mempercepat langkah di pagi yang masih buta itu. Jalanan begitu sunyi, dingin dan berselimut kabut. Mereka berpacu dengan waktu, berharap tak satupun dari orang kampung yang melihat kepergian mereka. Sesuai dengan keinginan dan kehendak hati mereka tak ingin lagi menjadi belas kasihan orang kampung. Tidak boleh ada yang melarang kepergian mereka.
Mereka terus berlalu. Ranah Koto Gadang mereka tinggalkan semakin jauh. Menjelang azan subuh sampailah mereka di Tanjung Raya. Pintu gerbang keluar nagari salingka danau. Pintu gerbang menuju pendakian kelok 44 yang sangat terkenal itu. Setelah duduk dan melepas lelah sebentar, azan subuhpun berkumandang. Azan yang dikumandangkan muazzin dengan sangat merdu. Azan yang begitu lantang, mengusik mimpi orang orang yang sedang tertidur terdengar begitu nyaring dari Mesjid Raya Tanjung Raya. Azan yang dengan sangat jelas mengatakan bahwasanya Shalat lebih baik daripada tidur. Azan yang menandakan fajar segera menyingsing. Azan yang menandakan pengharapan dan dimulainya siang untuk mencari nafkah, dan berakhirnya malam untuk beristirahat. Begitulah Allah menciptakan pembagian waktu.
Hamdi dan Zainalpun segera menuju tapian Mesjid untuk berwudhu. Membasuh anggota wudhu dengan air danau yang begitu dingin. Shalat subuh didirikan dan ditutup dengan doa dan zikir. Fajar mulai menyingsing dari ufuk timur. Matahari menyembul dibalik gunung malintang yang kokoh menampung air danau. Hamdi dan Zainal bergerak dari duduknya. Berjalan melangkah keluar Mesjid.
Dipintu Mesjid terlihat seorang bapak tua sedang mengikat tali sepatu. Hamdi pun berusaha menegur dan mengakrabkan diri.“Asslamualaikum pak,“ sang bapak pun menjawab salam.”Waalaikum salam.” sambil tak bergeming dari mengikat tali sepatunya.“Sekilas sebelum subuh tadi saya melihat sang bapak turun dari truk yang terparkir di depan Mesjid. Hendak kemanakah bapak?” tanya Hamdi.“Saya hendak ke Bukittinggi.” jawab bapak itu seadanya. Hamdi mengangguk.“Yang didepan Mesjid ini mobil bapak?” lanjut Hamdi."Bukan, mobil induk semang saya. Induk semang saya menunggu dimobil. Saya mengangkut kelapa dari Pariaman. Kelapa ini akan saya bongkar di stasiun Bukittinggi.” jawab bapak itu menjelaskan.“Bolehkan kami menumpang pak?” Hamdi lanjut bertanya."Kau hendak kemana?”tanya sang bapak.”Saya hendak ke Bukittinggi juga, turunkan saja kami di tempat bapak membongkar kelapa kelapa ini,” jawab Hamdi.”Baiklah, tapi kau duduk dibelakang. Soalnya didepan ada induk semang saya.” jawab sang sopir.“Dan nanti sebagai upahnya kau harus membantu saya menurunkan kelapa-kelapa ini setiba di Bukittinggi, bagaimana? apakah kau sanggup?” ucap sang sopir.”Dengan senang hati pak, bapak pasti saya bantu.” ucap Hamdi.”Kalau begitu naiklah cepat, pukul sembilan kita harus sampai di Bukittinggi. Toke kelapa di Pasar Bawah sudah menunggu.” lanjutnya."Baiklah pak.”jawab Hamdi dengan cepat.
Tanpa menunggu perintah dua kali Hamdi dan Zainal langsung melompat naik ke bak belakang mobil. Merekapun duduk di atas tumpukan kelapa yang hampir penuh. Dan mobilpun lekas bergerak. Asap hitam mengepul dari lubang knalpot menyesakkan dada. Perlahan mobil beranjak naik. Hamdi membuang pandangan sekeliling. Terlihat Guratan danau maninjau yang sangat indah yang perlahan-lahan luput dari matanya. Dalam hatinya dia berharap kelak akan bertemu lagi, melihat indahnya danau ini. Danau yang tiada duanya di dunia. Tentunya dia berharap suatu saat nanti dia kembali dengan situasi dan suasana yang berbeda. Dalam hatinya ia bertekad dia akan kembali ke daerah ini hanya dalam dua keadaan yaitu kaya atau mati. Lain dari itu ia tidak akan kembali. Ketika mayatnya dibawa orang pulang, biarlah pahit masa silam terkubur bersama jasadnya di daerah ini. Ketika pulang dalam keadaan kaya, akan dibangunnya negeri ini sebagai pelampiasan dendam dari kepahitan hidup dimasa lalu. Dendamnya yang berisi kebaikan. Bagaimanapun juga, budi baik masyarakat terhadap keluarga dan ibunya tak akan pernah ia lupakan. Terpatri mati di dalam hatinya.
Mobil mendaki semakin jauh. Lamunan tentang kampung halaman yang ia tinggalkan perlahan dicoba untuk dihilangkannya. Digantikan dengan keyakinan untuk menghadapi hidup yang baru yang masih kabur entah kemana arahnya. Akan tetapi dia hanya punya satu keyakinan, asalkan masih di bumi Allah jua tentu Dialah jua tempat menolong. Allah lah yang menguasai segala urusan. Allah lah yang memegang segala perbendaharaan makhluk. Tiadalah pantas ia merasa takut. Satu hal yang sangat ditakutinya dan pantas ditakuti oleh umat manusia adalah ketika Allah sudah berpaling dari kita. Itulah seburuk buruk keadaan.
Daerah Matur dan Embun Pagi sudah dilewati. Hamdi dan Zainal pun berputar merubah arah pandangan. Saat tadi keduanya memandang ke arah danau, sekarang mereka memandang searah dengan laju mobil. Tak berapa lama sampailah di daerah stasiun Bukittinggi. Tempat mobil membongkar muatan. Tempat para saudagar membongkar barang untuk diangkut para kuli panggul. Sangat ramai pagi itu. Sesampai di stasiun mobil pun menepi.
Sang sopir pun bergegas turun.”Cepatlah turun, kita bongkar kelapa kelapa ini. Jika lambat kita turunkan bisa jadi kelapa ini tidak terjual, jangan sampai lebih dulu orang daripada kita.” ucap sang sopir dengan tegas.“Baiklah pak, akan segera saya turunkan.” bergegas Hamdi dan zainal pun bersiap. Satu persatu kelapa dengan muatan penuh itu diturunkannya. Matahari mulai naik. Panas yang mulai menerpa mulai membuat kedua anak itu berkeringat. Tak terlihat lelah dimuka ke dua anak itu. Balasan yang ingin mereka berikan atas kemurahan sang supir memberikan tumpangan.
Kira kira ketika jarum jam menunjukkan jam 9 pagi, kelapa pun siap dibongkar. Hamdi dan Zainal pun mulai mengibaskan baju membuang butiran butiran sabut kelapa yang melekat dibadan.“Hei nak,” ucap sang juragan pemilik kelapa.”Karena engkau telah membantu menurunkan kelapa ini saya beri jerih peluh engkau.” ujarnya.” Ah, tidak usah pak,” jawab Hamdi menolak.”Mendapat tumpangan dari Maninjau ke sini bagi saya hal itu sudah lebih dari cukup. Lagipula saya soal menurunkan kelapa ini sudah menjadi kesepakatan saya dengan pak supir sebelum naik pas saya shalat Shubuh tadi,” Hamdi menolak halus.”Dari semenjak pertama kali bertemu saya perhatikan engkau berdua belum mempunyai tujuan yang jelas,”sang sopir ikut menyela pembicaraan.“Terimalah, tidak baik menolak pemberian orang. Mana tahu berguna dalam perjalanan engkau berdua dengan adikmu.” ucap sang supir setengah memaksa. Ucapan sopir itu ada benarnya juga.“Baiklah pak, Alhamdulillah terima kasih banyak."ucap Hamdi tersenyum.