Pagi itu cukup cerah. Rona Langit terlihat jelas, merupa seakan ingin melupakan hujan yang turun tadi malam. Lalu lalang warga kota dan penduduk kota mulai terlihat. Pagi semenjak subuh Hamdi sudah bangun. Setelah shalat dia tunaikan dibukanya jendela kamar tempat dia tidur lebar lebar. Udara yang masih dingin menerpa wajah dan tubuhnya yang belum sepenuhnya bebas dari rasa nyeri. Ditatapnya matahari yang perlahan mulai naik. Kosong. Entahlah, tak tahu apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Tidak tahu apa yang akan dia lakukan, hendak kemana, apa yang menjadi harapan dan kemana ia akan bergerak. Pikiran dan tubuhnya seakan terkunci saja. Hampa. Tulang dibadan sakit semua.
Memar bekas bekas pukulan dan hantaman orang ramai cukup banyak terlihat diwajahnya. Zainal, adik yang sangat dicintainya saat ini entah dimana. Sakitkah dia saat ini? laparkah dia? Entahlah. Disaat dia menyelamatkan Zainal saat lari dari kejaran orang ramai dia tidak begitu ingat bus yang mana Zainal dia lompatkan. Apakah bus itu tetap setiap hari berhenti di terminal Aur Kuning, apakah bus itu hanya singgah dari Medan dan Aceh, kemanakah jurusan bus itu, apakah ke Pekan Baru, Pulau Jawa, kota Padang, atau ke Sibolga, dia tidak ingat. Saat itu dalam pikirannya hanya menjauhkan adiknya dari kejaran massa. Hanya itu saja. Dia mengejar bus itu dari belakang, dan melompatkan Zainal di pintu belakang pula. Kemana jurusan bus itu dia tidak tahu. Karena dia tidaklah sempat bertanya.
Ketika lamunan dan rasa gelisahnya semakin meninggi, terdengar Edi Maco menegurnya dari belakang.”Sudah bangun kau nak, bagaimana keadaanmu?” sapanya lembut.“Sudah pak, Alhamdulillah ” jawab Hamdi. Hamdi pun membalikkan badan.”Marilah kita ke bawah, kita sarapan pagi dahulu." Edi maco memapah Hamdi turun ke lantai bawah. Dimeja makan sudah menunggu seorang yang terlihat sebagai istri edi maco dan seorang lagi perempuan sebaya atau seumuran dua tahun dibawahnya yang tak lain adalah anak perempuan Edi Maco. Merekapun menyambut Zainal dengan ramah.”Duduklah,” ucap sang istri Edi Maco dengan ramah. Perempuan sebayanya itu menyiapkan piring. Mendekatkannya arah Zainal. Setelah semua semua siap dengan mengucapkan nama Allah merekapun mulai makan.“Makanlah ucap Edi Maco, ndak usah segan segan.” semua yang dimeja itupun makan.
Selesai makan, setelah melepas kenyang sebentar Edi Maco pun berbicara.“Begini nak, dari kemaren engkau ku ambil di sasaran amukan orang ramai. Sudah tidur pula kau disini sampai sekarang selesai makan, kita masih belum kenal. Siapa nama, dimana kampung, apa tujuan kemari, hendak kemana, sampai sekarang kami belum tahu. Begitupun engkau. Dengan siapa engkau bicara, dimana engkau sekarang engkaupun belum mengenal kami pula. Ada baiknya di meja makan ini kau ceritakan sedikit tentang diri engkau supaya kami paham.“Iyaa pak” Hamdi mengangguk.”Saya sangat mengagumi budi baik bapak dalam membantu saya. Bapak membantu orang yang sama sekali belum bapak kenal. Kerabat bukan, famili bukan. Saya mengucapkan banyak banyak terima kasih. Kalau bukan dengan tangan bapak mungkin sudah mati saya kena tangan.”Hamdi menghela nafas panjang, matanya mulai berkaca kaca. Meja makan itu sunyi seketika.
“Saya membantu karena Allah. Tidak tega dan tidak sanggup saya melihat anak semuda engkau dipukuli seperti itu, karena saya tidak yakin engkau adalah pelaku copet di Aur Kuning kemaren. Saya lama hidup di dunia kejahatan di Aur Kuning. Semua pencopet itu saya tahu. Pelakunya itu itu saja orangnya. Pencopet disini ada kompolotannya. Ada pemimpinnya.Tidak mungkin orang yang baru terlihat seperti engkau menjadi pencopet disini. Mencopet itu butuh keahlian dan kepandaian. Mencopet ditengah keramaian itu tidak mungkin dilakukan sendiri. Dilakukan bersama sama dengan cara mengambil dan mengoper apa yang dicopet ke teman lain sampai apa yang dicopet itu sejauh mungkin. Dengan itu pembuktian copet akan sulit. Makanya saya tidak yakin pelaku copet kemaren itu adalah kau”.
Hamdi mendengar dengan seksama.”Saya pak, jangankan mencopet, memakan buah buahan hanyut saja saya tidak mau. Dari kecil bapak dan ibu saya mengajarkan demikian.” Edi maco tersenyum.”Saya ingin tahu, coba kau ceritakan asal dan bagaimana engkau bisa sampai kesini.” Edi Maco kembali menatap Hamdi dengan serius. Hamdi memperbaiki posisi duduknya.“Baiklah pak, nama saya Hamdi. Negeri saya Koto Gadang Maninjau. Saya keluar dari negeri saya karena sebuah kejadian yang kalau saya mengingatnya sangat memilukan hati pak. Sebenarnya enggan saya untuk mengingatnya. Tapi tak apalah baiknya saya ceritakan juga.” Hamdi terdiam.
Sejurus kemudian dia pun melanjutkan.“Saya di kampung hidup sebagai orang yang tidak berada. Bagaimana miskinnya kami berawal, agaknya lebih perih lagi seandainya saya ceritakan. Layaknya hidup di kampung, tidak ada lahan untuk kami olah. Bapak terpaksa bekerja serabutan. Asal ada pekerjaan dibawa orang, bapak mau saja. Saya pun demikian. Berhubung tidak ada biaya, walaupun saya berdua dengan adik saya Zainal, tapi yang sekolah hanya Zainal saja. Saya bekerja mencangkul sawah orang. Ibu saya agak sedikit sakit sakitan pula. Pencaharian saya mencangkul sawah dan pencaharian bapak kami terpaksa dibagi dua. Setengah untuk makan dan setengahnya lagi untuk berobat ibu. Alhasil dari keadaan seperti itu pencaharian cukup untuk makan sehari hari saja. Tapi saya berkeinginan untuk merobah nasib. Dan harapan itu sempat muncul disaat saya diajak teman berdagang di peringatan hari Maulud Koto Gadang. Ada sedikit modal yang saya putarkan. Sampai hari ketujuh pasar malam Maulud semua baik baik saja.” Hamdi menarik nafas. Tatapan matanya semakin kosong menerawang, mengingat apa yang terjadi disaat lalu.
”Malam itu saya pulang larut malam dengan Zainal. Malam itu selesai dilakukan pawai obor, mengililingi tepian beberapa daerah danau Maninjau. Adik saya Zainal ikut serta. Disaat pulang malam, ketika mau masuk rumah, obor yang dimatikan Zainal di sandarkan didinding rumah. Tapi apa hendak dikata, malang tiba dibadan kami sekeluarga, ternyata obor damar yang ditiup Zainal belum sepenuhnya mati. Obor kembali menyala ditiup angin. Api obor menjilat dinding anyaman bambu rumah. Api semakin membesar. Kebetulan dinding tempat obor bersandar adalah dinding kamar ibu. Api membakar sampai akhirnya balok besar penyanggga atap jatuh menimpa. Disaat itulah kami baru terbangun. Api memenuhi seluruh isi rumah. Maklumlah pak, rumah bambu dan kayu lapuk, sangat mudah jadi santapan api. Singkat cerita ibu tidaklah bisa kami tolong. Kami melompat berdua, saya dan Zainal dengan pakaian yang lekat di badan saja. Orang kampung mencoba memadamkan api seadanya. Saya dan Zainal akhirnya pingsan tidak sadarkan diri. Sepertinya saya keracunan asap yang membuat saya dan Zainal sesak nafas. Saya diangkat orang ke surau. Saya dibangunkan disaat jenazah ibu saya sudah siap untuk disholatkan.” Hamdi berhenti sejenak sambil meneguk air putih yang ada didepannya.
“Hari terus berjalan dan saya mulai berpikir. Tidak mungkin rasanya saya dan Zainal menumpang di surau terus. Saya dan adik saya tetap butuh makan, pendapatan dan memiliki kebutuhan hidup seperti orang kebanyakan lainnya. Saya berusaha bangkit. Berpikir dan mencoba berusaha untuk memikirkan sesuatu yang mungkin saya dapat lakukan. Akan tetapi setiap berpikir, berjalan, merenungi sesuatu, bayangan kejadian yang memilukan seringkali hadir. Bayangan wajah ibu seringkali tiba tiba datang. Apalagi setiap kali melewati bekas bangunan rumah yang terbakar. Hati saya kembali luluh lantak. Air mata saya terkadang sangat sulit untuk dibendung. Oleh karena itu jalan satu satunya yang bisa sedikit melupakan dan menguatkan hati saya adalah keluar dari daerah Maninjau. Saya harus merantau. Meninggalkan tanah kelahiran saya.” Hamdi menutup ceritanya sambil menunduk. Seluruh yang mendengar cerita Hamdi terdiam dan tak dapat berkata kata.
Edi maco mengangguk2 kecil mendengarkan apa yang sedang Hamdi ucapkan.”Lalu apa yang membawa engkau ke Bukittinggi ini hamdi?” Edi maco kembali bertanya.”Saya selama hidup belum pernah keluar dari kampung halaman saya pak. Saya keluar dari tanah Maninjau hanya sekali pada saat saya membeli barang dagangan diwaktu saya berjualan di pasar malam. Hanya Bukittinggi inilah yang saya kenal. Saya lihat kota ini cukup besar. Mungkin saya akan dapat kesempatan mencari hidup disini. Ternyata inilah yang terjadi. Kebetulan waktu kemaren itu adalah hari pasar. Pasar pasti sangatlah sibuk, dan akan butuh tenaga bongkar muat yang banyak. Saya langsung berjalan menuju pasar Aur Kuning. Di pertokoan luar saya melihat ada truk berhenti dengan proses bongkar muat barang yang sepertinya baru dimulai. Sayapun mendekati. Saya menawarkan diri untuk ikut membongkar barang. Saya diizikankan karena memang dia mengatakan ingin bongkar muat ini selesai dengan cepat. Akan tetapi banyak diantara orang yang sama sama membongkar barang sepertinya kurang senang terhadap saya. Saya bisa maklum, seandainya tukang bongkar semakin banyak tentulah upah yang diterima semakin sedikit. Tetapi selagi yang punya barang mengizinkan, saya rasa saya tidak salah. Saya memakan upah saya, yang lain memakan upahnya juga. Itu hal yang cukup adil menurut saya."
"Singkat cerita setelah bongkar barang selesai upah saya terima ada seorang yang berbadan kekar mencegat jalan saya. Dia mengatakan bahwa dia adalah ketua preman yang mengusai seluruh pasar Aur Kuning ini. Seluruh tukang bongkar muat berada dibawahnya. Dia marah karena saya adalah orang luar, dan tidak melapor kepada dia. Dia mengatakan kalau seluruh anggota bongkar muat di wilayah Aur Kuning ini harus meminta izin dulu kepadanya. Sebagai konsekuensinya, upah yang saya terima waktu membongkar muatan barang itu harus saya serahkan. Tentu saya menolak. Hasil keringat saya, tenaga saya dan jerih peluh saya harus saya serahkan kepadanya tentu saja saya tidak rela. Menyabung nyawapun saya mau. Mempertahankan hak wajib hukumnya. Sampai akhirnya saya berduel satu lawan satu dengannya. Dia berhasil saya jatuhkan. Dia pingsan tidak sadarkan diri. Setelah duel selesai saya makan dan sholat Dzuhur. Selanjutnya terjadilah peristiwa di terminal kemaren pak.”Tutup Hamdi.
”Hmmmm," Edi Maco menghela nafas panjang.”Betul dugaan dan firasat saya. Semenjak dari kemaren saya sudah tidak yakin kau dan adikmu adalah pelaku copet yang di pasar dan terminal itu. Saya sungguh tidak yakin. Ternyata setelah mendengar ceritamu, firasat saya dengan kejadian dapat dipertemukan. Kau adalah korban dari settingan peristiwa copet yang dibuat oleh anggota Yuang Parau semuanya. Seluruh orang yang meneriaki engkau pencopet adalah anggota Yuang Parau. Mereka sengaja berbuat untuk mencelakakan engkau. Sebagai wujud balas dari pertarungan engkau dengan dia. Dia tidak senang dan mencari cara bagaimana supaya engkau dapat celaka. Sungguh perangai mereka tidak berubah dari dahulu.” Hamdi terkejut mendengar penjelasan Edi Maco. Dia terdiam mengangguk berpikir sejenak. Dalam pikirannya logika yang disampaikan Edi Maco masuk juga.
“Apakah bapak mengenal mereka semua?” Hamdi bertanya sembari mengernyitkan dahi.”Iyaaa, saya sangat mengenal mereka. Sebelum mereka menjadi parewa di Aur Kuning sayalah yang memegang kendali preman di pasar Aur Kuning itu. Di zaman saya dulu mereka itu belumlah apa apa. Mereka hanya suruhan saya dan teman teman saya sesama parewa saja. Disaat mau pesta minuman keras merekalah yang kami suruh untuk membeli minuman dan membeli rokok. Disaat lapar merekalah yang kami suruh membeli nasi. Yaah, seperti itulah. Tak lebih mereka sebagai jongos dan pesuruh kami saja. Disaat saya dan teman teman saya sudah berhenti dari dunia parewa, Yuang Parau dan kawan kawannyalah yang merasa menggantikan. Mereka pada awalnya menjual dan menggunakan nama saya dan anggota saya untuk menakut nakuti orang. Sampai anggotanya terus bertambah. Mereka sering berbuat onar di Aur Kuning ini. Memeras pedagang, berkelahi sampai aksi copet kemaren adalah kelakuan dia dan anggotanya. Itulah mereka. Di Aur ini hanya kepada sayalah mereka segan. Makanya ketika kemaren saya berteriak dan meminta berhenti, tidak satupun diantara mereka yang berani melanjutkan.” ucap Edi Maco.
Hamdipun geram mendengar apa yang ucapkan Edi Maco. Panas Hatinya tidak terkira.”Ingin rasanya saya ulangi dengan dia pak. Ingin rasanya saya menghantam ulu hatinya dengan tangan saya kembali.” ucapnya geram.“Ahh tidak usah Hamdi. Hanya membuang buang waktumu saja. Apalagi dia dan anggotanya cukup banyak. Jika kau mulai lagi maka masalah dengannya tidak akan pernah selesai. Yang namanya dendam tidak akan pernah sudah. Sedangkan disini kau hanya seorang diri. Menurut saya yang harus kau lakukan saat ini adalah kau pulihkan kesehatan dan badanmu dulu, setelah itu kau cari adikmu. Saya rasa hal itu lebih bermanfaat dan berguna daripada kau terus mengusung dendam. Tuhan pasti akan membalas juga apa yang telah dia lakukan terhadapmu.” Edi Maco menjelaskan.
Ucapan Edi Maco membuat Hamdi lumayan tenang.“Begini saja Hamdi, hari ini kau berobat dulu ke rumah sakit untuk melihat kondisimu. Setelah itu untuk bagaimana kedepannya nanti kita pikirkan. Berhubung saat ini saya ada keperluan mengisi barang dagangan ke pasar, untuk ke rumah sakit pagi ini kau bisa pergi bersama Hana. Dia yang akan mengantar engkau. Nanti saya beri engkau biaya.” ucap Edi Maco.
Hamdi diam tak menanggapi suruhan Edi Maco. Rasa segan atas kebaikan yang sekarang semakin berlipat di hatinya. Sudahlah diselamatkan, sekarang diserahkan untuk berobat pula.“Buk, nanti berikan mereka uang untuk berobat. Hari sudah jam 8, saya ke pasar dulu.” Ucap edi maco sambil beranjak dari tempat duduknya."Baik uda,” ucap istri Edi Maco. Edi Maco meninggalkan meja makan. Istrinya dan Hana dengan segera membereskan meja makan. Melihat meja makan dibersihkan Hamdi pun berdiri, dia beranjak ke kursi di ruangan depan. Duduk dan melihat lihat keluar sejenak. Tak berapa lama, terdengar istri Edi Maco berbicara di belakangnya “Hamdi, segeralah engkau bersiap. Hana akan membawamu memeriksa keadaan ke rumah sakit umum di daerah Bukit Apit." ujarnya sambil tersenyum."Baiklah bu” balas Hamdi dengan santun. Hamdi segera ke atas, kelantai dua untuk bersiap dan berpakaian yang lebih baik.
Setelah selesai, Hamdi turun dan menunggu di depan pintu menunggu Hana keluar. Ketika Hana selesai dan siap untuk berjalan dia menghampiri Hamdi di dekat pintu.“Sudah siap uda?” ujarnya dengan suara rendah."Iyaa, sudah” Hamdi menjawab seadanya.“Dari sini kita berjalan keluar menuju jalan besar, setelah itu kita naik bendi” ucap Hana menjelaskan. Hamdi pun mengangguk.
Merekapun segera berjalan keluar. Selama melangkah di perjalanan mereka tidak banyak bicara, hanya sibuk dengan langkah masing masing. Begitupun di saat mereka berada diatas bendi. Bagi Hamdi belum pernah dia berada atau duduk dekat dengan perempuan sedekat ini. Begitupun Hana sebaliknya. Masing masing mereka melemparkan pandangan keluar masing-masing. Sekali kali disaat bendi pelan jalannya mereka sama sama memandang ke depan mencari tahu apa yang terjadi.
Tak berapa lama sampailah mereka di rumah sakit umum pusat Achmad Muchtar di Bukit Apit. Mereka berduapun turun. Hana membayar ongkos bendi. Setelah selesai merekapun berjalan ke bagian klinik pemeriksaan.