Suara teriakan Pak Darma memenuhi seisi rumah, bercampur dengan isak tangis Bu Siti yang berusaha diredam. Mungkin ia tidak ingin anak tunggalnya, Wati, terbangun dan melihatnya dalam keadaan yang buruk. Rambut acak-acakan, wajah yang banjir air mata dengan pelipis yang dihiasi campuran keringat dan sedikit darah pekat—hasil dari amukan Pak Darma, hanya karena Bu Siti yang tidak sengaja memasak terlalu asin.
Bukan sekali dua kali hal ini terjadi. Berkali-kali, hingga Bu Siti sendiri tak dapat menghitung amarah suaminya yang selalu dilampiaskan dengan teriakan serta tamparan. Untuk masalah remeh ataupun yang tak penting sama sekali. Pak Darma sama sekali tidak sungkan melakukan kekerasan di depan anak tunggalnya. Namun Bu Siti masih saja berpura-pura di depan Wati bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.
"Bapak lagi capek, makanya sering marah-marah. Enggak apa-apa, enggak usah kamu pikirin, ya." Ucap Bu Siti pada putrinya di suatu sore selepas Pak Darma melempar kursi hingga patah dua kakinya.
Bagi Bu Siti, hal tersebut merupakan usahanya untuk menenangkan hati Wati. Agar anak gadisnya tetap merasa tenang di kondisi rumah yang buruk. Namun tanpa Bu Siti bayangkan, usahanya itu malah menjadi malapetaka tersendiri. Malapetaka yang panjang untuk keturunannya.
Tak ada wanita yang mau hidup dalam rasa terluka, begitu pun Bu Siti. Namun apa yang bisa ia lakukan? Pilihannya sudah jatuh pada Pak Darma sejak lelaki itu datang ke rumahnya sekitar 11 tahun lalu dengan membawa setangkai bunga dan kue lapis kesukaannya menggunakan sepeda onthel. Ia mengenal Pak Darma sebagai sosok laki-laki baik dan penyayang. Hingga akhirnya mereka memutuskan menikah, dan terbukalah sifat aslinya. Bahwa ia suka memaki dan tak segan main tangan. Suara tangis Bu Siti bahkan sama sekali tidak mampu menyurutkan amarahnya. Pak Darma bahkan bisa lebih menjadi-jadi. Ketika ia sudah benar-benar muntab, lelaki itu memutuskan untuk pergi entah kemana, lalu pulang di tengah malam dalam keadaan mulut bau alkohol dan sempoyongan.
Di tengah usaha meredam tangisnya, Bu Siti tidak menyadari bahwa Wati sedang terduduk tepat di balik pintu kamar. Menekuk kedua lututnya sambil menutup kedua telinganya rapat-rapat. Matanya terpejam kuat. Ia bingung. Hatinya bergejolak sedih dan takut. Tapi dalam kepalanya, ucapan ibunya terngiang berulang-ulang. Bahwa ayah mungkin hanya capek. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
Dua puluh tahun kemudian...
Matahari mulai meredup ke arah barat. Teriknya hanya tersisa sedikit, tapi berhasil membuat Lisa memicingkan mata di balik helm milik driver ojek online yang ia order. Ia merasa penat—hari ini jadwalnya padat. Mata kuliah pertama dimulai pukul setengah delapan sampai setengah sepuluh. Dilanjut mata kuliah kedua pukul setengah sebelas, dan selesai pukul setengah dua. Hanya rehat satu jam, waktu yang ia gunakan untuk membeli sebotol air mineral dingin di kantin dan pergi ke perpustakaan.
Ketika sampai rumah, bukan suasana nyaman untuk beristirahat yang ia dapat. Justru penampakan ayah yang berteriak marah pada ibu hanya karena masakan yang gosong. Ibu melupakannya karena harus menjemur pakaian di halaman belakang.
"Memang bodoh kamu! Masih untung ketahuan kalau masakanmu gosong. Kalau enggak, bisa habis rumah kita terbakar. Memang kamu mau tanggung jawab? Hah! Mana punya duit kamu!"
Dicecar habis-habisan, ibu hanya berdiri layu sambil kedua tangannya memilin ujung pakaian. Kepalanya tertunduk dalam. Yang terdengar oleh Lisa hanya ucapan maaf berulang kali dari mulut ibunya. Tak ada perlawanan. Tak ada pembelaan diri. Ibu benar-benar mengiyakan segala sumpah serapah ayah padanya.
Lisa menghembuskan napas berat. Matanya berpindah saat melihat siluet Kak Rian keluar dari kamar mandi. Angan-angan dalam kepala tentang mandi air dingin yang menyegarkan, menikmati masakan ibu untuk makan malam, dan maraton drakor di kamarnya menguap seketika. Rasa letih dalam perasaannya seperti racun, dalam sekejap menguasai dirinya dan mengalahkan keinginan paling menyenangkan sekalipun.