Ketika Embun Merindukan Cahaya

Hadis Mevlana
Chapter #2

Searif Malam

Bisakah kita searif malam

Mendingin sejenak

Meregang syaraf

Menakar rindu bersama setaman embun

 

Dengan sesekali lirih napas melagukan CINTA

Sejenak mencelupkan diri dalam bejana-Nya

Menyusun kembali perasaan yang berserakan

Merangkai rindu yang berantakan

Jumat, 21 Juni 2013

Sepertiga malam selalu terasa istimewa. Keheningannya seolah sebuah romantisme sakral yang sulit diungkap kata. Seolah hanya ada kisah tentang kami berdua. Tentang Dia Sang Raja dan aku si hamba. Inilah saat yang begitu dekat. Jiwaku memuisi tentang kemahaan-Nya. Kugelar dan kujabarkan segala dosa seraya membisik mesra bak pencinta dengan kekasihnya.

Berkali-kali pula pipiku membasah. Lelehan air mata yang tertumpah seolah terjemahan pengharapan agar Allah mengampuni sejagat dosa. Memohon kasih, cinta, serta ampunan sempurna di dunia hingga saat hari perjanjian itu tiba. Hari akhir. Hari pembalasan. Hari tatkala setiap amal dengan detail diperhitungkan tanpa ada yang terlewatkan. Baik-buruk, besar-kecil, semua dibalas adil di Mahkamah Sang Mahaadil.

Berkali-kali lidah melafazkan kalimat tauhid. Tasbih mengangkasa penuh penghambaan. Dzikir Yunus pun berhamburan. Dia berjanji akan melerai masalah bagi yang memulakannya dengan doa nabi yang pernah tertelan dalam perut ikan itu. Sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Syekh al-Albani pun telah menshahihkan, “Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah kabulkan baginya.”

Laa ilaaha illaa anta

Subhaanaka

Innii kuntu minazh zhaalimiin

Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Engkau,

Mahasuci Engkau

Sesungguhnya aku adalah termasuk di antara orang-orang yang berbuat aniaya.

 

Setelah permintaan hajat, lalu kututup semuanya dengan permohonan terbaik untuk kemuliaan dunia dan akhirat. Sebuah doa sapu jagat,“Rabbana atina fid-dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina adzaban-nar.”

Aku melipat sajadah marun dan menaruhnya ke tempat semula. Beberapa saat lalu baru saja kusudahi pertemuan intimku dengan-Nya. Meski jejakku tak selalu tegak di bening malam, setidaknya perbincanganku dengan-Nya dalam beberapa ayat adalah ikhtiar sepenuh jiwa. Bukti cinta yang kubisa dan semoga mengangkatku tinggi ke langit bersama cinta dan keridhaan-Nya.

“Baru selesai tahajud, Fyan?” tanya Felix.

Kulihat Felix terbangun sambil berusaha membuka mata sipitnya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia kembali tidur seraya menarik selimutnya.

***

Ucapanku hanya diam

Ukiran kata-kataku hanya sepi

Namun jiwaku terus berharap

Lihat selengkapnya