KETIKA HUJAN BERBISIK

bangberutu
Chapter #1

Bab 1: Hujan yang Membawa Kenangan



Ini ilustrasi untuk Bab 1: seorang wanita muda duduk di dekat jendela, memegang surat lama dengan air mata di matanya, sementara hujan deras mengguyur di luar. Mesin ketik di mejanya menampilkan pesan yang belum selesai, menciptakan suasana melankolis dan penuh kenangan.


Bab 1: Hujan yang Membawa Kenangan


Bagian 1: Langit yang Menangis


Rintik hujan jatuh di luar jendela, menari-nari di kaca dengan irama yang akrab. Naya menatapnya tanpa benar-benar melihat, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang sudah mendingin, sementara layar laptop di depannya masih kosong.


Seharusnya ia menulis. Itu pekerjaannya, itu dunianya. Namun, sejak beberapa bulan terakhir, setiap kata yang ia coba susun terasa hampa. Seolah-olah hujan telah mencuci bersih inspirasinya, meninggalkan hanya kekosongan.


Naya menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela apartemennya yang terletak di lantai tiga. Jakarta di malam hari selalu tampak lebih sendu saat hujan turun. Lampu jalan berkedip-kedip, mencerminkan genangan air yang terus bertambah.


Saat itu, sebuah suara samar terdengar dari depan pintu apartemennya—bunyi gesekan yang lembut, nyaris tak terdengar. Naya mengernyit.


Siapa yang datang malam-malam begini?


Dengan enggan, ia meletakkan cangkir kopinya dan beranjak menuju pintu. Begitu ia membukanya, tak ada siapa pun di sana. Hanya udara dingin yang menerpa kulitnya, membawa aroma tanah basah yang khas. Namun, sesuatu di ambang pintu membuatnya tertegun.


Sebuah mesin ketik tua.


Warnanya hitam kusam dengan beberapa goresan di sisi-sisinya, seperti sudah berusia puluhan tahun. Sebuah kertas terpasang di dalamnya, kosong kecuali satu baris tulisan yang tampak baru saja diketik:


"Apakah kau masih mengingatku?"


Dada Naya berdegup kencang.


Hujan terus berbisik di luar sana.


---

lanjutkan ke Bagian 2, di mana Naya mulai mencoba mencari tahu siapa yang meninggalkan mesin ketik itu, dan kenangan masa lalunya mulai menyeruak.


Bab 1: Hujan yang Membawa Kenangan


Bagian 2: Ketikan yang Mengusik


Naya berdiri terpaku di ambang pintu, tatapannya tertuju pada mesin ketik tua yang tampak begitu asing, namun sekaligus familiar. Rasa dingin dari hujan yang membasahi lantai apartemennya seolah tak ia hiraukan. Hanya ada satu pertanyaan yang bergema dalam pikirannya:


Siapa yang meninggalkan ini?


Ia melangkah keluar, menoleh ke kiri dan kanan lorong apartemen. Sepi. Tidak ada tanda-tanda seseorang baru saja berada di sana. Tak ada suara langkah kaki menjauh, tak ada jejak yang tertinggal di lantai basah. Hanya suara hujan yang terus berbisik, menemani pikirannya yang kacau.


Dengan ragu, ia berjongkok dan menyentuh mesin ketik itu. Logamnya dingin, terasa nyata di bawah jemarinya. Perlahan, ia mengambil kertas yang terselip di dalamnya. Tulisan itu tampak baru, tinta hitamnya masih sedikit basah.


"Apakah kau masih mengingatku?"


Jantungnya berdetak lebih cepat.


Kalimat itu, begitu sederhana, tetapi meninggalkan sensasi aneh di hatinya. Seolah-olah ada sesuatu yang berusaha menariknya kembali ke masa lalu—sebuah kenangan yang belum sepenuhnya pudar.


Naya mengangkat mesin ketik itu dengan hati-hati, membawanya masuk ke dalam apartemen dan menutup pintu. Ia meletakkannya di meja kerjanya, menyalakan lampu meja agar bisa melihat lebih jelas.


Jari-jarinya menyentuh tuts-tuts mesin ketik itu, menguji kepekaannya. Masih berfungsi. Bahkan, terasa begitu familiar di tangannya, meski ia yakin tak pernah memiliki mesin ketik seperti ini sebelumnya.


Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggunya daripada keberadaan mesin ketik itu sendiri.


Tulisannya.


Gaya hurufnya.


Seseorang yang sangat ia kenal pernah menulis dengan cara seperti ini.


Arka.


Naya menahan napas. Itu tak mungkin. Arka sudah pergi. Sudah bertahun-tahun.


Atau mungkin…?


Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Tidak mungkin ini dari Arka. Ini pasti hanya kebetulan. Atau lelucon seseorang.


Namun, siapa yang tahu tentang Arka?


Tangannya gemetar saat ia mengambil selembar kertas kosong dan memasangnya di dalam mesin ketik. Entah apa yang ia harapkan, tetapi ia merasa harus mencobanya.


Dengan napas tertahan, ia mulai mengetik.


"Siapa ini?"


Sejenak, tidak ada yang terjadi. Ia menunggu, berharap sesuatu akan berubah—seperti dalam cerita misteri yang biasa ia tulis. Tetapi, ini bukan cerita. Ini nyata.


Ia menggelengkan kepala, merasa konyol. Mungkin seseorang hanya bermain-main dengannya.


Namun, saat ia hendak berdiri, mesin ketik itu tiba-tiba berbunyi sendiri.


Tik… tik… tik…


Jari-jarinya membeku.


Huruf demi huruf muncul di atas kertas, seolah ada tangan tak kasat mata yang menekan tuts-tuts itu.


"Aku merindukanmu."


Naya tersentak mundur.


Hujan di luar semakin deras, seolah ikut berbisik kepadanya.


---

Bab 1: Hujan yang Membawa Kenangan


Bagian 3: Suara dari Masa Lalu


Naya menatap mesin ketik itu dengan mata membelalak. Dadanya berdebar begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di tenggorokannya.


"Aku merindukanmu."


Kalimat itu seakan memiliki nyawa sendiri, menggema di pikirannya. Ia mundur selangkah, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Mesin ketik tidak bisa mengetik sendiri. Itu bukan sesuatu yang mungkin terjadi di dunia nyata.


Tetapi, di hadapannya, kata-kata itu ada. Tercetak jelas di atas kertas putih dengan tinta yang masih segar.


Ia menggeleng, mencoba mencari penjelasan logis.


"Ini pasti semacam trik..." gumamnya pelan.


Namun, siapa yang bisa melakukan ini? Dan kenapa?


Naya menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai kemungkinan tak masuk akal. Ia mendekati meja, mengulurkan tangan, dan menyentuh kertas itu. Tinta hitamnya sudah kering. Seakan memang ada seseorang—atau sesuatu—yang baru saja mengetiknya.


Hujan di luar semakin deras, menciptakan suara ritmis yang mengiringi kegelisahannya.


Dengan tangan masih gemetar, ia kembali duduk dan mengetik balasan.


"Siapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"


Ia menunggu, jari-jarinya masih menyentuh tuts mesin ketik. Ruangan itu sunyi kecuali suara hujan di luar.


Lalu…


TIK… TIK… TIK…


Jantungnya hampir melompat dari dadanya saat mesin ketik itu kembali bergerak sendiri. Huruf-huruf mulai tercetak satu per satu.


"Aku ingin kau mengingatku, Naya."


Ia tersentak.


Sekarang ia tahu pasti.


Ini bukan sekadar kebetulan. Ini bukan lelucon.


Seseorang di luar sana—atau mungkin sesuatu—ingin ia mengingat.


Lihat selengkapnya