KETIKA HUJAN BERBISIK

bangberutu
Chapter #2

Bagian 1: Bayangan di Antara Rintik Hujan



Bab 2: Jejak yang Ditinggalkan Hujan


Bagian 1: Bayangan di Antara Rintik Hujan


Hujan belum juga reda sejak pagi. Langit mendung menggantung rendah di atas kota, membuat segala sesuatu tampak muram. Naya duduk di depan meja kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Surat Arka masih tergeletak di samping mesin ketiknya, lembarannya sedikit basah oleh air mata yang ia tumpahkan semalam.


Ia pikir setelah membaca surat itu, ia akan merasa lebih baik—lebih lega. Tapi kenyataannya, surat itu justru membuka pintu bagi lebih banyak pertanyaan yang selama ini ia pendam.


Kenapa Arka tidak pernah memberitahunya? Seberapa parah penyakit yang diderita Arka? Dan yang lebih penting… di mana Arka sekarang?


Sebuah rasa gelisah merayapi pikirannya.


Jika Arka benar-benar meninggalkannya karena sakit, mengapa tidak ada kabar tentangnya setelah itu? Tidak ada pemakaman, tidak ada berita, tidak ada jejak sama sekali. Seakan Arka menghilang begitu saja dari dunia ini.


Dan satu hal yang paling mengganggunya—bagaimana bisa mesin ketiknya mengetik sendiri?


Ia mengusap wajahnya, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Ia harus mencari jawaban.


Dengan tekad baru, Naya mengambil ponselnya dan mulai mengetikkan nama Arka di mesin pencari. Ia menelusuri halaman demi halaman, mencari berita atau informasi tentangnya.


Namun, tak ada hasil.


Arka seakan benar-benar menghilang tanpa jejak.


Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.


"Berhenti mencari. Beberapa hal lebih baik dibiarkan tersembunyi."


Naya menegang.


Jantungnya berdebar kencang saat ia membaca pesan itu berulang kali. Siapa yang mengirimnya? Dan bagaimana orang itu tahu bahwa ia sedang mencari Arka?


Ia menelan ludah, tangannya dengan ragu mengetik balasan.


"Siapa ini?"


Tak ada jawaban.


Perasaan was-was menjalar dalam dirinya. Ia menatap jendela, melihat bayangan dirinya yang terpantul di kaca yang berembun. Di luar, hujan terus turun deras.


Namun, saat ia memperhatikan lebih saksama, ia merasakan bulu kuduknya meremang.


Di antara bayangan dirinya, ada sosok lain yang berdiri di belakangnya.


---

Bab 2: Jejak yang Ditinggalkan Hujan


Bagian 2: Bayangan yang Mengintai


Naya menahan napas.


Ia tidak berani bergerak.


Jantungnya berdegup kencang saat ia menatap pantulan di kaca jendela. Di antara bayangan dirinya, ada sosok lain—bayangan gelap yang berdiri diam, hanya beberapa langkah di belakangnya.


Tangannya gemetar saat perlahan ia membalikkan badan.


Namun, tidak ada siapa-siapa.


Hanya kamarnya yang sunyi dengan mesin ketik yang masih tergeletak di meja, dan surat Arka yang belum ia sentuh lagi sejak pagi.


Naya mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri.


Mungkin ia hanya terlalu lelah. Mungkin pikirannya sedang mempermainkannya karena surat Arka membuatnya terlalu emosional.


Tapi… pesan misterius itu?


Pikirannya kembali ke pesan tadi. Seseorang jelas tahu bahwa ia sedang mencari informasi tentang Arka. Dan orang itu tidak ingin ia melanjutkan pencariannya.


Siapa?


Ia menatap ponselnya, berharap ada balasan dari nomor tak dikenal itu. Tapi layar ponselnya tetap sunyi.


Naya menarik napas panjang, lalu berdiri.


Ia tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu jawaban datang padanya. Jika tidak ada informasi di internet, maka ia harus mencarinya langsung dari orang-orang yang mengenal Arka.


Dan satu-satunya tempat yang bisa memberinya petunjuk adalah—


Kafe Hujan Senja.


---


Kafe Hujan Senja adalah tempat di mana semuanya dimulai. Tempat pertama kali ia dan Arka bertemu, tempat mereka menghabiskan banyak sore di bawah langit mendung, berbagi cerita sambil menyeruput kopi hangat.


Namun, sejak kepergian Arka, Naya tidak pernah kembali ke sana.


Kini, berdiri di depan pintu kaca kafe yang masih sama seperti dulu, Naya merasa dadanya sesak oleh kenangan.


Ia mendorong pintu masuk. Lonceng kecil di atasnya berdering pelan, mengumumkan kedatangannya.


Aroma kopi dan kayu manis segera menyambutnya, membawa kembali nostalgia yang sempat ia lupakan.


Kafe itu tidak banyak berubah. Meja-meja kayu masih tersusun rapi, lampu-lampu temaram menciptakan suasana hangat, dan suara hujan yang jatuh di luar memberikan latar belakang sempurna untuk tempat ini.


Ia melangkah menuju meja di pojok dekat jendela—meja yang selalu mereka pilih dulu.


Namun, saat ia sampai di sana, ia menyadari sesuatu.


Ada secangkir kopi di atas meja itu. Masih mengepul.


Dan di sampingnya, ada sebuah buku yang terbuka.


Hati Naya berdebar.


Seseorang baru saja duduk di sini.


Ia menoleh ke sekitar, mencari sosok yang mungkin meninggalkan meja itu. Tapi semua pelanggan sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang tampak mencurigakan.


Dengan ragu, ia menarik kursi dan duduk. Tangannya terulur, membuka halaman buku yang terbuka di atas meja.


Seketika, matanya membelalak.


Lihat selengkapnya