Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan

Wulansaf
Chapter #1

Prolog

Matahari pagi yang masih hangat itu menyorot jenis-jenis tanaman yang berwarna-warni, yang susah payah kurawat agar mereka bisa mekar dan aku bisa melihatnya dari depan rumah sambil tersenyum bangga karena telah berhasil merawat mereka-setelah sebelumnya aku selalu putus asa merawat bunga-bunga.

Mereka seperti tidak mau tumbuh entah karena apa, seringnya daunnya mengering dan kemudian mati, puluhan kali kucoba hanya satu dua yang benar-benar berhasil tumbuh. Sudah kulakukan segala cara untuk mengetahui bagaimana cara merawat bunga supaya mereka bisa tumbuh dengan baik lewat berbagai sumber, mereka memberikan banyak cara yang sudah kuterapkan namun masih belum menghasilkan bunga-bunga yang bermekaran. 

Lewat Shufaira, ia mengajariku bagaimana cara merawat tanaman yang baik dan benar, hingga pagi ini aku bisa melihat bunga-bunga yang dilambai sejuknya angin dan disinari matahari yang hangat. 

Pikiranku sepertinya sudah tidak waras, bunga-bunga itu bergoyang ke kanan dan ke kiri sambil memanggil-manggil Shufa, aku menghampiri mereka lebih dekat dan mengatakan dengan suara pelan jika Shufa sudah tidak ada, tapi bunga itu semakin berisik jika dia membutuhkan Shufa agar mereka semua terawat dengan baik. Semakin kuperhatikan bunga-bunga itu semakin berisik, aku berteriak seperti orang gila, aku katakan pada tanaman itu bahwa yang merawat mereka sudah pergi, sudah tidak ada lagi di dunia ini, dia sudah menyatu dengan tanah dan aku tidak bisa mengembalikannya ke dunia. Dengan napas tersengal dan air mata yang terus mengalir, aku seperti orang gila yang bahkan dengan marah mencabut tanaman itu dari potnya karena mereka masih memanggil-manggil Shufa, padahal sudah kuteriaki mereka jika aku tidak bisa membawa Shufa kembali ke dunia ini. 

Tanah beserta tanaman yang rusak itu kumasukkan ke dalam karung, potnya sengaja kupecahkan. Biarkan bunga-bunga yang kurawat itu mati daripada aku harus melihat mereka merindukan orang yang merawatnya. Kulemparkan sebagian pot-pot yang masih utuh dengan bunganya yang masih mekar ke depan jalan sau persatu, Ibu dan Bapak mendengar keributan itu tentu, saja mereka langsung berlari ke luar rumah dan melihatku melempar semua pot-pot ke jalan. 

Bapak menghentikanku, Ibu terlihat panik dan hampir menangis. “Kenapa toh Mas, kenapa?” 

Aku menunjuk semua bunga-bunga yang kini sudah rusak, menangis seperti anak kecil di depan Bapak dan Ibu, lantas aku bilang, “Bunganya Bu, bunganya terus-terusan manggil Shufa supaya mereka bisa dirawat, Mutha udah nggak bisa bawa Shufa ke sini lagi.” Aku terduduk jatuh di bawah, Ibu langsung memelukku disusul Bapak. Mereka membawaku masuk ke dalam setelah ada beberapa tetangga yang menyaksikan. 

Bapak dan Ibu benar-benar khawatir dengan kondisi anaknya, kali ini mereka bukan hanya melihatku tidak mau hidup sampai membuat banyak perubahan dihidupku. Mulai dari kehilangan berat badan yang cukup drastis. Wajahku berubah menjadi kurus, ada lingkaran hitam di mataku dan sorot mataku seperti orang sakit, tak bercahaya dan tak ada gairahnya. Kini kekhawatiran mereka semakin menjadi-jadi ketika anaknya mulai berhalusinasi, maka Bapak dan Ibu memutuskan untuk membawaku ke psikiater. 


Jakarta, 24 Januari.

   Sore hari yang cerah itu, sehabis membeli berbagai macam jenis bunga yang memang sengaja inginku berikan pada Shufa sebagai bentuk rasa sukaku padanya. Hari ini juga, aku memutuskan untuk mengungkapkan rasa sukaku (mungkin semenjak aku sering memperhatikannya di perpustakaan waktu duduk di bangku sekolah menengah atas kelas satu). Senyumku sore itu sehangat matahari yang masih bersinar sebelum tenggelam. Hatiku berdegup kencang diiringi deru motor dan bisingnya kendaraan yang lalu lalang. 

   Aku tak sabar mendengar jawaban Shufa terkait perasaanku kepadanya sore ini. Aku sudah memintanya untuk datang ke toko buku langganan kami, sebetulnya langganan Shufa, karena aku menyukainya, aku jadi berlangganan buku di toko buku itu juga. 

  Entah sudah berapa kali aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sendiri, kulihat sepertinya Shufa belum datang, jadi aku menunggunya sebentar sambil melihat-lihat buku dan membeli beberapa perlengkapan melukis.

15 menit berlalu…

30 menit kemudian.

   Sama sekali tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Aku mulai cemas, ratusan kali aku janjian dengannya, sepertinya baru kali ini perempuan itu telat datang sampai selama ini. Mungkin ada sesuatu yang mendesak. Aku masih sabar menunggu. 

1 jam berlalu. 

   Aku menghela napas, memutuskan untuk menjemputnya di rumah. Perjalanan menuju rumahnya terasa begitu ganjil, tak pernah sebelumnya aku sampai merasa sekhawatir ini. Matahari sudah tidak lagi sehangat tadi, perlahan cahayanya menghilang seperti senyumanku yang perlahan pudar. Sore hari itu digantikan suasana yang mendadak kelabu seperti hatiku. 

Lihat selengkapnya