“Muthalail, kunci supaya kamu tau apa alasanku pergi, itu cuma satu, iklhas, jalanin hari-hari kamu seperti biasa. Tatap dunia dengan mata yang berbinar seperti biasanya. Keikhlasan akan menunjukkan kamu segalanya. Segala yang mau kamu tahu.” Aku seketika membuka mata dan menyelidik sekitar ketika suara itu terus-menerus berulang. Beberapa detik aku menyadari sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit, lengkap dengan infus dan alat opnamenya. Tak lama dokter datang dan segera memeriksa.
Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa aku masuk rumah sakit. Namun dokter yang sudah cukup berumur itu seakan tau apa yang aku pikirkan, maka ia menjawab dengan senyumannya. “Sing sabar ya Mas, bunuh diri bukan solusi dari permasalahan…” mendengar kalimat yang belum selesai itu aku tersentak, langsung membuka alat opname dan mencabut alat infus lalu berjalan dengan terpatah-patah melihat diriku di depan cermin.
Sungguh pantulan gambar yang menyakitkan, siapa orang yang berdiri di depan cermin ini? Aku bahkan hampir tidak mengenalinya. Sorot matanya tidak ada cahaya yang menggambarkan kehidupan, wajahnya pucat dan pipinya cekung, tanda berat badannya turun drastis, lalu dilehernya aku melihat tanda merah, seperti tali yang menjerat lehernya supaya berhenti untuk bernafas. Aku diam beberapa saat. Apakah aku telah melakukan semua itu? Apakah aku benar-benar merasa ingin mati setelah berusaha hidup selama tiga bulan ini?
Apakah aku benar-benar sudah kehilangan akal karena kepergian Shufa yang mendadak?
Hatiku terasa sesak, kali ini benar-benar sesak ketika aku menyadari bahwa hidupku ternyata begitu menyedihkan. Air mataku satu dua menetes, kembali menatap diriku di depan cermin dan sekarang orang itu terlihat tambah menyedihkan ketika ia mengeluarkan air mata dan aku marah melihatnya. Tanpa memikirkan apa pun, langsung saja cermin itu kupecahkan dengan tanganku, berharap orang di depan cermin itu pergi karena aku terlalu iba melihat keadaannya.
Seketika kaca yang kutonjok itu hancur dan dokter yang menyaksikannya terkejut dan segera membawaku menjauh karena takut melakukan hal-hal yang berbahaya lainnya. Para perawat dipanggil dan mereka sigap mengobati jari-jari tanganku yang terluka parah.
Bapak dan Ibu yang baru sampai di ambang pintu langsung masuk terburu-buru ketika mendengar suara tangisku. Mereka terkejut ketika melihat tanganku berlumuran darah dan dilihatnya ada sebuah kaca yang pecah dan sekarang berhamburan ke mana-mana. Ibu histeris bertanya ada apa, dokter dengan lembut menenangkan begitu juga dengan Bapak. Karena Ibu semakin panik melihatku, dokter akhirnya mengajak Ibu dan Bapak keluar untuk berbicara. Dan sungguh, setelah hari ini, aku harus meminta maaf karena telah membuat mereka kecewa dengan semua tindakan fatalku dan telah membuat mereka tersiksa dengan melihat keadaanku yang seperti ini.
Setelah kucoba mengingat apa yang terjadi sampai aku ada di situasi sepert ini, aku hanya ingat beberapa hari yang lalu aku merusak tanaman di rumah dan berakhir dengan keputusan Ibu untuk membawaku ke psikiater. Malamnya aku benar berada di psikiater diantar oleh Ibu dan Bapak di rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari rumah. Lalu serangkaian pertanyaan di lontarkan oleh dokter psikis dan aku hanya menjawabnya dengan singkat, aku malas menjawabnya karena itu akan membuatku bersedih. Di depan dokter yang kutaksir umurnya sudah mencapai kepala lima itu hanya banyak mendengarkan aku menangis, dia bilang jika tidak apa-apa untuk kami sebagai laki-laki menangis, maka tangisku semakin menjadi. Dua jam ruangan kotak yang dominan bercat itu tak banyak mendengarku bercerita, hanya tangisan dan napas tersengal yang mereka dengar.
Lalu aku kembali mengingat kira-kira apalagi yang terjadi padaku. Aku hanya ingat setelah pulang dari dokter malam itu, aku banyak menghabiskan waktu di dalam kamar untuk tidur, dokter memberikanku resep obat tidur karena ia tahu aku jarang bisa tidur dan ia bisa melihat sendiri lewat kantung mata yang sebenarnya mengganggu.
Setelah itu aku benar-benar tidak ingat apa yang terjadi padaku. Namun karena aku melupakan sebagian memori itu, maka besoknya aku bertanya pada Ibu, Ibu yang mendengar pertanyaanku tidak menjawab apa-apa, dia berkaca-kaca sampai akhirnya menangis, akhirnya aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Mungkin iya aku memang mencoba untuk bunuh diri, tapi aku benar-benar melupakan hari di mana aku melakukan hal-hal yang tidak benar itu.
-
Beberapa hari setelahnya, aku kembali pulang ke rumah dan dokter bilang jika keadaanku sudah membaik dari hari-hari sebelumnya. Aku sudah meminta maaf pada Bapak dan Ibu atas segala perbuatanku. Sepertinya apa yang dikatakan Shufa benar, aku harus melanjutkan kehidupanku tanpa dirinya, aku harus ikhlas meski sampai saat ini aku masih belum mengerti definisi ikhlas itu yang seperti apa.
Hari ini aku minta dibuatkan soto ayam dan Ibu dengan senang hati membuatkannya. Mbak Ayu yang baru pulang kerja ikut bergabung di meja makan, sementara adikku Xavier sedang mewawancaraiku banyak hal, dia bertanya tentang bagaimana rasanya pingsan, diinfus dan diopname. Xavier juga memerhatikan tanganku yang masih diperban.
“Ini sakit ya, Mas?”
“Sttt! Xavier! Jangan pegang-pegang tangan Masnya dong, kamu kepo banget lagian.” Xavier yang mendengar itu langsung manyun dan menjauh dariku.