Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan

Wulansaf
Chapter #3

Bab 2

Jakarta, 2011.



Waktu itu bulan November, tepatnya bertepatan dengan memperingati hari pahlawan. Di sekolah, aku menjadi perwakilan kelas untuk ikut lomba menggambar pahlawan, tentu saja aku antusias ikut. Wali kelasku memilih karena dia tahu bahwa hobiku adalah menggambar, dan dia sudah pernah lihat hasil gambarku karena ketika jam kosong atau saat guru tidak masuk ke kelas karena izin, maka hobiku adalah menggambar. Persetan dengan teman-temanku yang sibuk bermain bola di dalam kelas, main kejar-kejaran, atau main kartu uno. Hobiku saat itu hanya menggambar dan ketika menggambar, maka aku merasa dunia adalah milikku-tempat untuk mengekspresikan semua ide yang ada di kepala.

Aku juga tak lupa bilang pada bapak jika aku mewakili kelas untuk ikut lomba menggambar di sekolah. bapak yang mendengarnya senang bukan main, meskipun belum tahu nanti aku menang atau kalah. Bapak bilang yang penting aku mau mencoba dan mengikuti setiap prosesnya. Berkali-kali juga Bapak mengatakan soal menang dan kalah yang biasa dan aku harus menerima jika tidak menang.

Saat hari lomba itu tiba, bapak tak henti-hentinya berdoa untukku seperti ingin melepas anaknya di medan perang. Padahal aku hanya akan menggambar saja, tapi semangat bapak luar biasa, dia menggebu-gebu ingin aku jadi juara meskipun itu bukan hal yang utama.

Gambar itu selesai dalam waktu satu setengah jam, hari itu aku menggambar R.A.Kartini, pahlawan pendidikan pada masanya. Setelah itu gambar-gambar para peserta dikumpulkan dan baru diumumkan beberapa hari ke depan. Aku tak berekspektasi apa-apa, sebab kulihat banyak yang gambarnya jauh lebih bagus daripada gambar milikku. Meski cemas, Bapak selalu bilang untuk berpikir positif dan bertawakal, serahkan semuanya pada sang khalik.

Kemudian beberapa hari kemudian, pengumuman juara itu disebutkan, namaku disebut paling akhir, yang mana aku mendapat juara pertama. Hasil gambar itu diberikan kepada sekolah untuk dipajang di sana. Sebagai hadiah peserta, kami dibagikan sebuah sertifikat cetak, piala dan juga uang yang jumlahnya tidak seberapa tapi cukup untuk jajan dua bulan di kantin sekolah.

Aku pulang sekolah dengan perasaan bangga, baru kali ini aku pulang membawa hadiah sebanyak ini. Bapakku sudah menunggu di gerbang sekolah, ia memelukku. Hari itu, yang biasanya aku dijemput menggunakan motor, Bapak sengaja mengajakku pulang dengan jalan kaki. Katanya, ini momen yang harus diabadikan, semua orang harus lihat jika aku pulang sekolah membawa piala karena menang lomba menggambar. 

  “Mutha, hari ini kita pulang jalan kaki, bapak nggak bawa motor.” 

  “Kenapa emangnya? Bapak nggak capek jalan kaki?”

  “Loh, itu harusnya itu pertanyaan buat kamu. Kamu nggak apa-apa jalan kaki? Atau mau bapak gendong sambil bawa piala?”

  “Mutha jalan aja, Pak. Mutha kuat.” 

Hari itu senyum Bapak tak pernah lepas sepanjang jalan pulang ke rumah. Dia bahagia menggandengku yang saat itu membawa piala. Setiap tetangga yang lewat dan bertanya, maka bapak akan menjawab dengan senang hati kalau anaknya habis memang lomba gambar di sekolah dan orang yang bertanya mengucapkan selamat. 

  “Seluruh tetangga udah tau kalo anak bapak menang lomba.”

  “Ini kita lagi pamer ya, Pak?” 

  “Nggak apa-apa pamer, biar semua orang tau kalo anak bapak hebat.” 

Sampai di rumah, aku memamerkan hadiahku pada Ibu, tentu saja Mbak Diana melihat apa yang kuraih dengan iri. Dia sangat tidak suka dengan apa yang kudapat. Piala itu langsung Bapak pajang di atas lemari buku, sedangkan sertifika itu kusimpan di bawah selipan rak buku. 

Beberapa hari kemudian, aku mencari sertifikatku yang mendadak hilang, Bapak sudah mencarinya, tapi tidak ada di mana-mana. 

  “Tidak ada di mana-mana, Pak…”

  “Kamu ingat-ingat lagi naroknya di mana?”

  “Mutha ingat kok, Mutha tarok di selipan rak buku…”

  “Ini kok nggak ada? Mungkin kamu lupa.”

Lihat selengkapnya