Kemarin setelah mengirim pesan dengan Kayla dan kami menentukan jam dan tempat untuk mengobrol, akhirnya malam ini aku bersiap untuk menemui Kayla dan mendengarkan ceritanya. Tempat pertemuan yang sudah disepakati tidak begitu jauh dari rumahku, hanya sepuluh menit mengendarai motor.
Aku tiba di tempat sebelum Kayla sampai. Cafe ini cukup privasi dan tidak terlalu banyak pengunjung untungnya, jadi aku bisa membicarakan hal yang ingin kutahu tentang Shufa. Tak lama ketika aku kembali setelah memesan minuman dan camilan, tak lama Kayla datang dan dan langsung menyalamiku.
“Gimana kabar kamu Mutha? Are you okay?” aku hanya tersenyum simpul ketika mendengar pertanyaan itu, sepertinya tak perlu dijawab pun wajahku sudah bisa menggambarkan apakah aku baik-baik saja atau tidak.
“Gimana kabar Mbak sama orangtua di rumah?” kali ini Kayla tersenyum sepertiku dan aku sudah bisa menebaknya tanpa perlu berbasa-basi bertanya, sebab ketika melihat mata Kayla yang sayu itu aku bisa melihat kesedihan yang mendalam yang masih ia rasakan.
“Silakan Mbak minuman dan makanannya.” Aku memberikan segelas minuman coklat dan camilan yang kugeser ketengah. Aku mulai mulai menyeruput cappuccino yang kupesan. Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya pada Kayla tentang satu hal yang ingin aku tahu.
“Shufa nggak mungkin bunuh diri kan, Mbak?” pertanyaan itu membuat Kayla menatapku dengan lama, seolah ia ingin bercerita panjang dan seolah memang ada yang disembunyikan.
“Aku nggak tahu apa yang terjadi hari itu. Malamnya aku baru pulang dari kost dan sengaja mau tidur di rumah dengan Shufa. Malam itu juga aku masih berbincang dengan Shufa, kami membicarakan kehidupan masing-masing sampai kami tertidur. Lalu pagi harinya aku bangun pukul lima pagi dan melihat Shufa sedang sholat, karena aku sedang tidak sholat, aku kembali tidur dan bangun pukul tujuh pagi. Lalu karena kupikir ini hari libur, aku hanya rebahan di kamar dan aku belum melihat Shufa lagi. Mungkin dia sedang mencuci, memasak atau yang lainnya. Hari itu juga aku mendengar pertengkaran Ayah dan Ibu, tapi kuabaikan. Jam sepuluh pagi, aku masih melihat Shufa sedang mencuci piring, lalu aku bersiap untuk pergi keluar dan sorenya mendapat telepon kalau Shufa telah jatuh di lantai dengan mulut yang berbusa.”
Mendengar penjelasan itu hatiku seperti tercutik dan tercabik-cabik, perih sekali rasanya mendengar penjelasan itu. Kalau memang demikian ceritanya, berarti benar bahwa Shufa mengakhiri hidupnya sendiri dan itu membuatku tidak percaya dan kali ini aku merasa nafasku sesak, seperti disekap di ruangan tanpa ventilasi dan dibayangi semua kenanganku dengan Shufa, dan seketika dengan perlahan tapi mematikan, penyesalan mulai menggerogoti hatiku. Mengapa aku tidak tahu bahwa kehidupan Shufa seberat itu dan aku tidak membantunya untuk bertahan hidup lebih lama?
“Mutha, kamu mungkin bingung dengan semua ini, semua yang serba tiba-tiba yang berhasil mengguncang hidupmu sekarang. Aku sebagai saudaranya pun tidak percaya dengan keputusan yang Shufa ambil, sebab aku mengenal Shufa yang pantang menyerah dan bahunya memang sekuat baja. Dia tidak mungkin melakukan hal-hal yang demikian. Aku mengenalnya.” Aku masih diam tak menanggapi. Dinginnya ruangan ber-AC itu seketika membuatku menggigil, aku jadi gelisah dan mendadak tenggorokanku tercekat, ada rasa marah dalam hatiku yang tak bisa diluapkan.
“Pada kenyataannya, mau disangkal seperti apa pun, mau mengenal seseorang sedekat apapun, kita nggak pernah tahu apa yang mereka rasakan. Mungkin iya aku masih menyangkal bahwa Shufa benar-benar mengakhiri hidupnya, tapi mau didebat bagaimana pun, Shufa memang melakukan hal itu dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Hubungan Shufa dengan orang-orang di rumah baik-baik aja kan, Mbak?”
“Hubungannya dengan Ayah dan Ibu baik meski mereka memang suka bertengkar karena masalah sepele.”
“Kalau dengan tetangga dekat rumah?”
“Shufa juga kupikir termasuk orang yang ramah, tidak ada masalah apa pun dengan tetangga.”
Aku bertanya demikian karena berpikir bahwa Shufa mungkin meninggal karena diracun. Mungkin dia berkonflik dengan siapapun yang tidak suka dengannya. Tapi entah kenapa aku malah mencurigai orangtuanya Shufa. Tidak mungkin mereka melakukan itu, karena seperti yang kutahu, dulu Shufa suka sekali menceritakan kebaikan Ayah dan Ibunya dan dia sangat mencintai orangtuanya meski seperti yang dibilang Kayla bahwa mereka memang suka bertengkar. Kupikir tidak ada pasangan suami istri yang bisa menghindari pertengkaran termasuk Ibu Aryani dan Bapak.
Lalu kesimpulan pertemuanku dengan Kayla apa? Apakah aku setuju bahwa Shufa memang bunuh diri? Aku masih belum bisa menjawab meski kemungkinannya sudah mencapai delapan puluh persen, sisanya aku masih yakin jika Shufa tidak akan melakukan hal semacam itu apalagi sampai mengorbankan segala mimpi dan meninggalkan orang-orang yang dicintai selama-lamanya.