Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan

Wulansaf
Chapter #5

Bab 4

Aku tengah berdiri di ruangan bercat putih, sedang menatap dua lukisan yang kugantung bersebelahan, yang dibuat oleh Shufa dan diriku. Sepertinya sudah lama aku tidak mengunjungi ruangan ini setelah terakhir kali aku berdiri di tempat ini bersama Shufa, menunjukkan padanya beberapa lukisanku yang baru dan hari itu kami melukis bersama. 

"Mutha, hari ini aku mau melukis. Katanya kamu janji mau ngajarin."

"Kamu kan lagi sibuk ngerjain tugas kuliah."

"Iya, tapi aku pengen ketemu juga sekalian ngelukis."

"Bilang aja kamu..."

"Nggak! Kata siapa?"

"Loh, emang aku mau ngomong apa?"

"Kamu mau nuduh aku kangen sama kamu kan? Itu nggak bener!"

"HAHAHAHA."

"Udah deh nggak jadi aja kalo kamu malah ngetawain gitu."

"Bukan gitu Shufaira. Kamu bilang kan kemarin lagi sibuk, yaudah selesain dulu tugas-tugas kamu. Kalo udah selesai baru kita melukis. Oke?"

"Nggak mau! Pokoknya harus sekarang." kemudian telepon dimatikan begitu saja.

Setelah percakapan singkat di telepon waktu itu, sudah lama sebenarnya, jadilah dua lukisan buatanku dan Shufa. Sebenarnya karya milik Shufa itu terlalu banyak kubantu. Aku masih ingat wajahnya yang selalu cemberut karena hasil lukisannya tidak sebagus punyaku. Dan aku masih ingat apa kata-kataku untuk membesarkan hatinya.

"Kalo lukisan kamu jelek nggak apa-apa, nggak akan ada yang nilai juga. Lagian dimata aku mah lukisan kamu tetep bagus."

"Kok bisa gitu?"

"Ya ini ngeliatnya pake kacamata orang yang lagi jatuh cinta."

Begitu banyak kenanganku dan Shufa yang berputar di kepala seakan Shufa tidak mau dilupakan begitu saja. Aku sudah berusaha untuk perlahan melupakannya, namu semakin aku berusaha aku akan semakin ingat dengannya.

Mbak Ayu membuatkanku ruangan khusus untuk meletakkan semua piala yang kudapat dari hasil lomba menggambar dan melukis, dia yang menempatkan semua sertifikatku pada bingkai paling bagus yang ia beli dengan uangnya sendiri, lantas menggantungnya di dinding-dinding tembok bercat putih itu. Beberapa bulan sekali Ibu menengok ruangan itu untuk membersihkan debu-debu yang mulai menempel disetiap bingkai. Bahkan ia merapikan bingkai yang kadang letaknya sedikit miring. Memastikan semuanya terlihat bersih dan rapi. 

Aku tidak tahu sudah berapa piala dan sertifikat yang kudapat dari keikutsertaanku dalam lomba melukis dan menggambar sedari duduk di bangku SD. Mungkin totalnya sudah puluhan. Selain itu aku juga memenuhi ruangan itu dengan semua karyaku, semua hasil gambar dan lukisan yang sengaja kubuat untuk memenuhi ruangan. 

Setiap ada tamu atau ada kerabat Ibu yang berkunjung ke rumah untuk silatrahmi, maka Ibu akan mengajak tamu itu untuk melihat-lihat lukisan yang kubuat, membanggakan diriku yang berhasil memenangkan banyak lomba, dan tentu saja jadi ajang untuk mereka melihat-lihat sebuah seni yang berbeda dari pada biasanya. Beberapa karya seniku itu sudah dibeli oleh tamu Ibu dengan harga yang lumayan. Oleh karenanya, setiap bulan lukisan di ruangan itu selalu berbeda-beda sesuai imajinasiku yang sedang memenuhi kepala.

Tiba-tiba aku penasaran dengan buku yang Kayla ceritakan kemarin. Seingatku juga, dulu di kelas dua SMA kami pernah disuruh membuat cerita pendek dan semua karya murid dibukukan dan dicetak sebanyak orang-orang yang mau memiliki buku itu. Seingatku juga, dulu aku ikut membayar buku antologi itu karena untuk mengenang semua cerita yang temanku buat. Supaya bisa dibaca ketika sudah dewasa. 

Semua itu sudah enam tahun berlalu, aku tak yakin aku masih menyimpan buku itu disini, barangkali sudah dibuang ibu atau dijualnya ke tukang loak. 

Lihat selengkapnya