Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan

Wulansaf
Chapter #6

Bab 5

Malam harinya, aku baru sempat membuka buku itu karena kebetulan seharian aku sibuk membantu Bapak dan Ibu ditambah lagi hari itu Xavier sedang banyak tingkah sehingga aku yang disuruh mengajaknya bermain. 

Kubuka jendela di kamar dan bulan purnama telah menggantung terang dengan sempurna, aku duduk sambil bersandar dan merasakan angin malam yang dingin. Kubuka halaman pertama yang berisi daftar isi dengan tulisan judul dan siapa yang membuatnya. Kulihat nama Shufa ada di halaman menuju akhir, kubuka halaman itu dan seketika aku bersyukur karena tulisan Shufa masih utuh. di halaman itu tertulis diatasnya sebuah judul “Malaikat Tak Bersayap” maka aku langsung membaca paragraf itu dengan hati yang sedikit sesak karena mendadak aku merindukan Shufa. 

Saya melihat malaikat tak bersayap itu ketika Ibu melahirkan saya pada hari di mana dia merasa bahagia karena telah melahirkan anak keduanya. Dia Ibu yang paling saya cinta meski dia tidak sepenuhnya sempurna. Momen membahagiakan itu hanya saya ingat ketika usia saya menginjak lima tahun, sisa momen membahagiakan saya dengan Ibu terlupakan begitu saja. 

Ketika untuk pertama kalinya saya menyusu pada putingnya saat dokter memberikan saya kepada Ibu untuk disusui, mungkin Ibu masih ingat kenangannya mengurus bayi kedua perempuannya. Yang sejak pagi dia mungkin sudah sumringah melihat bayi perempuannya tersenyum meski matanya masih terpejam, yang gemar mengajak bicara meski waktu itu bayi perempuannya hanya bisa mangap-mangap mencari puting susu, yang selalu refleks mencium bayinya yang memiliki aroma khas. Setiap malaikat tak bersayap pasti mencintai bayi-bayinya. Mengingat seluruh memori dan proses dalam merawat bayinya dan betapa itu menyenangkan untuk dikenang. 

Ketika usia lima tahun, Ibu mengajarkan banyak hal padaku, yang paling utama adalah perihal agama, dia mengajarkan banyak doa-doa harian yang harus kubaca setiap ingin melakukan kegiatan apapun. 

  “Adek udah hafal belum sama doa setelah makan?” katanya lembut, saya hanya nyengir kuda karena lupa dengan doanya. Lantas Ibu mengulangi lagi doa setelah makan dan saya mengikutinya. 

Ketika itu saya adalah tipikal anak yang kadang manja, suka minta ini dan itu dan Ibu selalu memberinya dengan memberikan saya beberapa syarat, misalnya membantunya menyiram tanaman di depan rumah. 

Sambil menyiram tanaman, saya selalu diajak berbicara dengan Ibu, membicarakan apa saja, Ibu senang mengajak saya berbicara dan berpikir, dan saya kadang merasa jadi anak yang cerewet jika berhadapan dengan orang lain yang sudah saya kenal dengan baik. Selain senang bercerita, Ibu juga bisa menjadi pendengar yang baik ketika saya sudah mulai memasuki dunia sekolah. 

Setelah meletakkan tas dan duduk di meja makan, saya sering tanpa disuruh langsung bercerita tentang hal-hal yang terjadi di sekolah meskipun itu hanya cerita tentang berebut ayunan di sekolah. Ibu menanggapinya selalu dengan antusias dan senyuman, dia tidak pernah membiarkan cerita saya menguap begitu saja tanpa respon apa-apa darinya. 

Ketika saya sudah agak besar, Ibu sering mengajak saya ke dapur untuk membantunya memasak. Saya diberitahu nama-nama bumbu dapur dan bagaimana caranya memasak. Sambil sibuk bolak-balik memasak, Ibu sering bercerita tentang masa kecilnya yang sudah kehilangan Ayahnya sejak ia masih duduk bangku sekolah dasar. 

  “Ibu sedih ya kakek meninggal?” Ibu hanya mengangguk kemudian dia tersenyum lagi seolah dia tidak apa-apa. 

Lihat selengkapnya