Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan

Wulansaf
Chapter #7

Bab 6

13 tahun yang lalu…

Kemarahan dan traumatis itu bermula pada suatu hari ketika rumah sedang sepi, aku sedang membaca komik di kamar, sementara ruang tv di depan tidak ada siapa-siapa sedangkan tv tetap dibiarkan menyala. Aku pindah ke ruang tv sambil rebahan di sofa, tetap menyalakan tv meski kuabaikan begitu saja. Tiba-tiba muncul seseorang di depan pintu dengan perawakan rambut panjang dan brewok tipisnya. Wajahnya keras dan seram, tapi saat itu dia tersenyum menyapa, aku bangun terduduk dan menatapnya tak suka. 

  “Ada apa, ya? cari siapa?” aku mendekat padanya, dia tampak hanya garuk-garuk hidung yang kurasa tidak gatal. Lalu dia bertanya, “Ada Ibu?” keningku seketika berkerut. Untuk apa dia menanyakan Ibu?

  “Nggak ada.” Aku langsung ingin menutup pintu dan pintu itu sudah hampir sempurna tertutup, namun orang itu mendorong pintu itu dan aku kembali membuka pintunya. 

  “Kalo Bapak ada?” 

  “Nggak ada.” Kali ini aku langsung menutup pintu itu dan menguncinya. Firasatku tiba-tiba menjadi buruk ketika dia bertanya soal Bapak dan Ibu. Apalagi aku tak kenal dia siapa. 

Setelah untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya, beberapa kali orang itu memang sering ke rumah untuk mencari Ibu, tapi aku selalu menjawab Ibu tidak ada di rumah dan dia kembali pulang. Beberapa bulan setelahnya Ibu dibelikan handphone oleh Bapak, katanya untuk digunakan menelepon saudaranya Ibu di kampung meski itu hanya handphone yang hanya bisa menelepon dan mengirim SMS. 

Beberapa kali kuperhatikan, setiap Ibu memegang handphone-nya, dia selalu senyum-senyum entah sedang melihat apa. Aku risih dengan perubahan suasana Ibuku ketika dia bukan hanya senyum-senyum sendiri melainkan dia juga beberapa kali kuperhatikan menangis. Aku paling tidak bisa melihat Ibu menangis, tapi kali ini aku melihat ada sesuatu yang aneh. Untuk apa orang tersenyum dan menangis di depan layar ponsel? Memangnya di sana ada yang menyenangkan dan menyedihkan atau siapa dibalik layar ponsel itu?

Setelah berbulan-bulan, aku cukup muak dengan apa yang kulihat, Ibu masih bersikap yang sama, senyum-senyum sendiri dan sering kedapatan tengah menangis. Karena mendadak keingintahuanku tinggi, akhirnya hari itu aku mengambil ponsel Ibu dan membawanya ke kamar, mengunci pintu rapat-rapat dan langsung mengecek kotak keluar di ponselnya. 

Umurku saat itu masih sebelas tahun, tapi aku tau soal menyenangi orang lain, sebab di sekolah kuperhatikan teman-temanku juga saling kagum dengan lawan jenisnya. Jangankan anak umur sebelas tahun, ketika itu anak kelas 3 SD saja sudah ada yang berpacaran. Aku mulai tau adanya hubungan bernama pacaran ketika melihat teman-teman satu kelasku berpacaran, lalu tak lama mereka putus karena salah satunya berselingkuh, aku awalnya tidak tahu selingkuh itu apa, namun teman terdekatku mengatakan bahwa selingkuh adalah ketika kita menyukai orang lain meski kita sudah punya pacar. Pengertian yang mudah dicerna untuk anak SD waktu itu. 

Kubaca semua kotak keluar yang ditujukan pada suatu nomor dan mendadak hatiku terasa panas dan darahku mendidih. Ternyata selama hampir setengah tahun aku tidak mengetahui kalau Ibu ternyata berselingkuh dengan laki-laki lain yang aku tidak tau itu siapa. Dia sering mengirimkan chat mesra dengan laki-laki itu. Aku benar-benar murka membacanya. Karena tak kuat membaca pesan itu lebih lanjut, sebelum kuletakkan ponsel itu di tempat semula, aku mencatat nomor telepon orang itu. 

Mulai hari itu aku benar-benar membenci Ibu dan aku jadi malas berbicara padanya. 

  “Mutha nanti ulang tahun mau beli kado apa?” aku hanya menggeleng dan tidak tertarik.

  “Hari ini Ibu masakin sayur sop lengkap pake bakso, macaroni sama telor puyuh kesukaan Mutha.” bahkan sampai saat ini aku masih ingat bagaimana bentuk sayur sop di atas panci yang bahkan tidak kusentuh sama sekali itu. Ibu jahat, makanya aku tidak mau berbicara dan makan makanan yang dimasaknya. 

Luka ini ternyata membuatku tidak tenang, di sekolah aku selalu merasa ketakutan dan selalu ingin cepat pulang ke rumah untuk memastikan Ibuku baik-baik saja. Sebenarnya sejak aku memiliki nomor bajingan itu aku sudah ada niat untuk meneleponnya untuk mendengar seperti apa suaranya, barangkali aku mengetahui suaranya. Namun aku terlalu merasa cupu untuk tau siapa orangnya, aku takut melakukan sesuatu ketika aku tau siapa orangnya. 

Lihat selengkapnya