Hari ini aku meminta Ibu untuk memasak tumis jamur dan ikan goreng nila kesukaanku, tapi saat sampai dapur aku mencium aroma sup kambing Ibu yang begitu menggiurkan. Jadi aku langsung berinisiatif mengambil secentong nasi dan mangkok. Aku mengaduk sup yang terlihat menggoda itu yang hanya menyisakan satu porsi untukku saja.
Aku menambahkan potongan kentang dan tomat, juga tak lupa dengan irisan jeruk nipis dan beberapa sendok sambal. Aku makan dengan cepat, sup kambing buatan Ibu tak pernah gagal memanjakan lidah kami. Semua orang di rumah ini menganggap bahwa Ibu adalah pemasak handal yang keluarga kami punya. Dengan tangannya itu, dia mampu membuat makanan yang biasa saja menjadi luar biasa enak. Mungkin tidak semua orang punya, dalam setiap masakannya, Ibu selalu menambahkan cinta, kata Bapakku begitu.
Aku sudah lama menunggu kehadiran Muthalail, sudah lama juga kami tidak berbincang setelah kepergian temannya itu yang selalu ia ceritakan semenjak ia duduk di bangku SMA. Aku tahu tujuan Mutha pulang ke rumah; mungkin ia rindu dengan Bapak, Ibu dan Xavier.; mungkin ia ingin makan dengan lahap karena sudah beberapa bulan ini semua makanan yang dimakannya terasa hambar ; atau mungkin ia ingin bisa tidur pulas di tempat ternyamannya. Rumah. Selalu menjadi tujuan Mutha untuk kembali pulang.
Aku mengenal Mutha sejak aku duduk di bangku SMA, sementara Mutha baru duduk di bangku SMP. Cukup sulit untukku menyatu dengannya, tapi Ibu selalu punya cara untuk mendekatkan kami.
Sudah beberapa bulan ini aku melihat perubahan dalam dirinya semenjak ia ditinggal oleh teman yang sudah ia suka semenjak duduk di bangku SMA. Mutha selalu menceritakan perempuan itu padaku. Semenjak mengenal perempuan itu, hidup Mutha berubah warna jadi merah jambu, dia sedang kasmaran dengan wanita itu. Hampir setiap hari dia meminta saran dalam persoalan cinta. Aku bosan setengah mati, sepertinya Mutha memang benar-benar mencintai wanita itu tapi tidak bisa mengungkapkannya, jadi hari-harinya itu hanya digunakan untuk mengaguminya dari jauh. Mutha sering salah tingkah sendiri, senyum-senyum sendiri dan tentu saja jatuh cinta pun hanya seorang diri.
“Mbak…”
“Ya…”
Mutha masuk ke kamarku, ia langsung memeluk bantal dan menangis. Aku tahu kesedihannya tidak akan menghilang begitu saja. Aku menjadi saksi bagaimana Mutha sangat mencintai perempuan itu, perempuan bernama Shufa.
***
Jalan Kedamaian, Jakarta.
“Gimana Mba, cara bilangnya?”
“Ya, sudah, tinggal bilang aja di rumah lagi ada acara, kamu pengen ajak dia makan di rumah.”
“Takut ditolak, Mbak…”
“Ya kamu harus berani dong sama penolakan.”
“Alesannya yang lain aja…”
“Ya kan Mbak udah kasih saran, kamu nggak mau…”
Sabtu pagi yang cerah di waktu itu, Mutha mau mengajak temannya ke rumah, mau memperkenalkan orang yang dia suka sejak lama padaku. Sedari beberapa hari yang lalu dia sibuk mencari alasan bagaimana cara mengajak perempuan itu datang ke rumah dengan alasan yang logis yang tidak mengundang pemikiran macam-macam. Hanya sebatas mengunjungi rumah teman.
Akhirnya aku mengusulkan berbagai macam cara yang selalu ditolak Mutha dengan alasan takut ditolak oleh perempuan itu. Aku sepertinya sudah lelah, terlalu banyak saranku yang didebat oleh Mutha dengan semua alasannya; takut ditolak, takut dia ada acara lain; takut dia tidak nyaman; takut ini; takut itu.
Aku pasrah, terserah Mutha mau pakai alasan yang mana untuk membawa perempuan itu main ke rumah. Yang pasti hari ini aku sudah meminta Ibu untuk masak beberapa jenis makanan. Mau tidak mau Mutha harus membawa perempuan itu untuk setidaknya mencicipi masakan chef bintang lima rumah kami.
Tak lama, aku yang sedang duduk menatap jendela itu terkejut dengan kehadiran Mutha dengan perempuan yang dibawanya.
Aku melihat perempuan itu dengan wajah yang menyenangkan. Alis dan bulu matanya yang tebal, hidung bengir dan rahang yang tajam, juga rambut yang diikat jadi satu ke belakang. Aku segera menyambutnya di pintu depan. Ia tersenyum menyalamiku, meperkenalkan dirinya.
“Namaku Shufa, Mbak…”