Hari itu, makan malam sudah tertata di atas meja, kali ini Mbak Ayu ikut makan malam karena dia sudah pulang kerja. Makan malam kali ini Ibu membuat ikan nila goreng dengan tumis kangkung dan sambal terasi, Ibu juga menggoreng tempe dan tahu. Kebiasaan orangtua ketika anak-anaknya memakan ikan, mereka hanya makan tempe dan tahu. Aku begitu antusias melihat lauk yang tersaji di atas meja, ikan goreng nila yang warnanya coklat keemasan itu terlihat sangat menggiurkan, membuat perutku tambah keroncongan dan cacing-cacing di perut ikut berdemo.
“Kamu masih komunikasi sama Mbak Diana? Bulan depan Mbak Diana mau nikah, kita sekeluarga mau datang.” Mendengar nama ‘Diana’ seketika aku jadi dongkol dan rasa laparku mendadak hilang begitu saja.
“Mbak Diana siapa?”
“Mbak Diana kakak kandungmu loh.” Kali ini Ibu Aryani yang menjawab. Aku sudah tau kalau dia kakak kandungku, tapi itu dulu, sekarang sudah berubah dan posisi itu sudah digantikan oleh Mbak Ayu.
“Mutha nggak kenal, jadi Mutha nggak mau dateng.” Seketika suasana hening, aku langsung menyendok nasi dan mulai makan. Piringku sudah terisi ikan goreng nila, sambal dan tumis kangkong, tapi karena rasa laparnya menghilang aku jadi tidak selera makan meski kupaksa untuk terus menyuap.
“Yaudah, nggak apa-apa kalo kamu nggak mau ikut, yang penting Mutha udah tau kalo Mbak Diana mau nikah.”
“Mutha nggak tau juga nggak apa-apa, Bu. Nggak penting tau apapun tentang Mbak Diana.” Aku beranjak pergi sambil membawa piring ke dalam kamar, yang hanya baru beberapa kali kusuap saja.
Aku meletakkan piring nasi di atas meja belajar, napsu makanku benar-benar menguap begitu saja dan rasanya ada amarah yang tangah menyelimuti hatiku saat ini. Tiba-tiba kepalaku langsung memutar semua kejahatan Mbak Diana yang sampai saat ini belum kumaafkan karena dia memang tidak pernah meminta maaf atas perlakuannya dan tidak pernah merasa bersalah.
Jalan Graha Raya, Jakarta.
Jenis saudara kandung bagiku itu ada dua, ada yang seperti Mbak Ayu dan seperti Mbak Diana yang menyebalkan. Aku benar-benar membencinya karena selain dia jahat, dia juga mendukung Ibu berselingkuh dan mendiamkannya tanpa melakukan apa-apa. Dia menutupi semua perlakuan Ibu karena selalu mendapat sogokan entah itu makanan atau uang jajan. Sikapnya sudah jelek entah karena dia makan apa, padahal jelas usianya lebih tua dariku, tapi soalnya kecerdasan dan membedakan mana yang benar dan salah dia tidak bisa membedakannya.
Aku tidak tahu Mbak Diana punya dendam apa terhadap diriku, kupikir dia membenciku entah sejak kapan, yang jelas aku merasa sikap Mbak Diana banyak yang berubah. Dia jadi berani menyiksa adiknya sendiri dan tidak pernah memikirkan perasaanku.
Pernah suatu hari, dia memanggilku dari dapur, karena aku yang berada di kamar tidak dengar, maka dia langsung mendobrak pintu kamarku yang memang tidak terkunci dan dia bertolak pinggang, marah-marah karena aku disangka mengabaikannya.