Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan

Wulansaf
Chapter #11

Bab 10

Aku mengenal Shufa karena kami satu kelas ketika SMA kelas dua. Namun aku sudah sering melihatnya di perpustakaan sejak kelas satu waktu itu. Setiap aku ke perpustakaan, pasti selalu ada Shufa yang duduk di sudut ruangan sambil memegang buku dan menyender dengan bantal, kakinya ia selonjorkan. Pengunjung perpustakaan ketika istirahat tidak terlalu banyak, kecuali mereka yang berkepentingan mengembalikan buku yang hanya mengantri berdiri di depan computer menunggu giliran, tapi dengan perpustakaan seluas ini, Shufa bisa duduk tenang membaca buku tanpa merasa terganggu. 

Aku pertama kali mendengar suara Shufa ketika ada jam kosong di kelas, ketika itu guru hanya menitipkan tugas dan kami bebas mengerjakannya di kelas, tapi karena di kelas terlalu berisik dan aku tidak bisa fokus, maka aku dan beberapa temanku memutuskan untuk pindah ke perpustakaan. 

Dari pintu kaca perpustakaan yang bening, aku bisa melihat Shufa sedang berinteraksi dengan penjaga perpustakaan bernama Ibu Dian. Dari balik pintu aku perhatikan dia sedang mengobrol dengan Ibu Dian, dia tertawa, Ibu Dian memelotot entah mengomel apa, sampai akhirnya aku dan yang lain masuk ke perpustakaan, barulah aku mendengar suaranya dan aku tau mereka sedang berinteraksi apa. 

  “Saya udah nunggu satu bulan tapi buku Keigo nggak kunjung dibalikin Bu sama yang minjem.” 

  “Itu kamu kurang cepet aja minjemnya. Mas, isi daftar kunjungan dulu.” Bu Dian memanggilku, menyuruh untuk mengisi absen dan buku absen yang tidak jauh dari Shufa. Aku mendekat, hendak mengisinya, berdiri tidak jauh dari Shufa. Tapi aku tiba-tiba kebingungan karena tidak ada pulpen di atas buku absen ini, aku mencari-cari barangkali pulpennya terjatuh. 

Saat itu aku menyadari jika Shufa mendekat padaku dan dia mengulurkan tangannya memberikan pulpen, aku kikuk, patah-patah mengambil pulpen itu dan dia kembali mendekat pada Bu Dian sambil menunjukkan buku yan dipegangnya. 

  “Wis kaya nggak ada buku yang lain gitu loh, itu buku udah rusak jilidnya mau dibuat apa?” 

  “Mau buat bungkus cabe di rumah.” Shufa nyengir, dia berpamitan mencium tangan Bu Dian sambil berlalu pamit. Setelah dia meninggalkan perpustakaan dan menuju tangga, aku masih memperhatikannya dari dalam perpustakaan. Bu Dian memperhatikanku yang sedang memperhatikan Shufa, dia berdehem, aku kaget dan langsung mengambil pulpen yang selesai dipinjam teman-temanku barusan. 

  “Bu, ini pulpen punya anak yang barusan, saya titip di sini aja ya, Bu, soalnya beda kelas.” Aku meletakkan pulpen itu di atas meja Bu Dian. 

  Bu Dian yang sedang menatap layar komputer langsung menatapku dengan membuka kacamatanya. “Loh ya kamu balikin sendiri, kan yang minjem kamu, bukan Ibu.” Katanya datar, aku merasa tidak enak dan langsung mengambil pulpen itu, “Sekalian kenalan.” Bu Dian mengerling menggoda setelah melihat raut wajahku berubah. Aku tersenyum merasa tergoda, menyimpan pulpen Shufa di kantong bajuku. 

Setelah hampir satu tahun lamanya melihat Shufa yang selalu duduk di perpustakaan dengan buku-bukunya, hari itu aku melihatnya berinteraksi langsung, hari itu aku mendengar suaranya berbicara dan melihat senyumannya untuk yang pertama kalinya juga. Entah kenapa aku senang, senang yang tidak bisa dideskripsikan apa penyebab aku bisa merasa senang karena melihat Shufa berinteraksi dan tersenyum. 

Apakah hatiku diam-diam naksir dengannya? Aku tak tahu, tapi dari sana menjadi awalku berteman dengannya. Ketika itu Shufa habis selesai olahraga dan dia menghampiriku, dia menunjuk pulpennya yang ada di saku bajuku. 

  “Pulpennya udah?” dia nyengir, aku sedikit gelagapan dan kikuk, maka aku langsung memberikan pulpen miliknya kemudian memberikan tanganku untuk berkenalan. “Muthalail.” 

Dia tersenyum sambil menatapku, kemudian mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku sambil menyebut namanya, “Shufaira.” 

Setelah itu aku dan Shufa kembali ke kelas bersama, di jalan dia mewawancaraiku seperti hal orang yang baru pertama kenal. Perjalanan singkat dari pinggir lapangan sampai ke lantai tiga di mana kelas kami berada itu sukses membuat jantungku berdegup cukup kencang. Di depan kelasku, dia melambaikan tangan dan tersenyum yang membuat jantungku nyaris copot dari tempatnya. 

Ketika mau pulang, Shufa memanggilku di depan kantin, dia semringah setiap kali bertemu denganku karena pembawaannya yang memang riang.

  “Mutha, rumahmu di mana?” 

  “Deket, nggak jauh dari toko tanaman Rafflesia.”

  “Oh iya deket Rafflesia? Aku juga mau ke Rafflesia.” 

  “Aku bawa sepeda, kamu bawa sepeda juga?” 

  “Nggak sih, nggak apa-apa, kamu naik sepeda aku jalan kaki.” 

Akhirnya aku menuntun sepedaku sampai ke toko tanaman Rafflesia. Sepanjang perjalanan kami banyak berbincang, ternyata berbicara dengan Shufa sama sekali tidak membosakan, pengetahuannya luas dan cukup nyambung untuk diajak bicara tentang banyak hal. 

  “Kamu aku perhatiin kayaknya jarang kemana-mana sama temen-temenmu, aku liat kamu selalu sendiri.”

  “Kayak orang nggak punya temen, ya?” kami tertawa, lalu tak terasa kami sampai di depan toko tanaman Rafflesia. Shufa menyuruhku pulang karena hari itu mendung, takut hujan, tapi aku menolak, malah ikut masuk ke dalam satu tempat yang banyak terdapat jenis tanaman dan bunga-bunganya. 

Lihat selengkapnya