Hari selasa pagi ini aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sekolah untuk mencari buku yang mungkin masih disimpan di perpustakaan. Aku berharap perpustakaan di sana masih menyimpannya karena itu akan sangat berguna untukku.
Ketika sampai di depan gerbang, aku bersalaman dengan satpam sekolah dan dia rupanya masih mengingatku dengan baik, lalu aku berjalan ke koridor dan melihat anak-anak yang datang terlambat itu sedang dikumpulkan di depan untuk di data. Aku menyapa salah satu wakil kesiswaan dan menyalaminya, ternyata dia juga masih mengenaliku wajahku meski dia salah menebak nama.
Di depan tiang bendera, aku melihat banyak siswa-siswi sedang dijemur di bawah hangatnya matahari. Mereka tentu saja tidak diam, melainkan sambil membaca buku. Sebuah peraturan yang masih diterapan ketika aku masih sekolah dulu. Di belakang siswa-siswi itu ada salah satu guru piket yang bolak-balik ceramah, dia membawa penggaris panjang dan aku tidak mengenalnya karena mungkin dia guru baru.
Ketika sampai di perpustakaan aku bertemu dengan Bu Dian yang sedang duduk di depan komputer. Ternyata perpustakaan ini sudah berubah banyak, terlihat lebih luas, rak-rak buku yang bagus dan buku yang dipajang pun lebih banyak. Andai Shufa melihat perpustakaan sekolah kami yang semakin bagus dan lebih terlihat jauh lebih modern, pasti dia akan berkunjung minimal sekali dalam seminggu, asal tidak diusir saja oleh Bu Dian yang bosan melihat Shufa selalu berada di sini.
“Nggak sama temennya Mas kesini?” Dia nyengir ketika aku menyalaminya, ada getir di hatiku ketika dia bertanya demikian, karena aku tahu dia pasti menanyakan Shufa.
“Temen yang mana nih, Bu? Temen saya banyak.” Aku berusaha terlihat biasa-biasa saja.
“Eh, temen kamu yang perempuan itu, yang kamu naksir waktu itu. Atau udah nggak saling kontak, ya?” aku tersenyum mendengarnya.
“Sudah meninggal Bu orangnya, enam bulan yang lalu.”
“Eh siapa? yang perempuan itu? Siapa namanya? Kamu jangan bercanda loh, ya.” Bu Dian menyuruhku duduk di dekatnya, dia terlihat kaget dengan kabar yang kuberikan.
“Iya, Bu. Namanya Shufaira.”
“Yang bener loh, Mas. Jangan bercanda, ah.”
“Ya Allah Bu, masa saya ngebercandain kematian orang.”
“Ya Allah, innalillahiwainnailaihirojiun. Ibu syok loh dengernya. Insya Allah khusnul khatimah, kamu sing Ikhlas biar dianya tenang.” Aku hanya tersenyum sambil mataku menelusuri buku-buku yang dipajang.
“Dulu inget dia sering banget ke perpustakaan. Selonjoran di pojok sana sambil baca buku, kadang sambil ngemil kacang yang Ibu jual, sering banget dia itu ngumpetin bantal perpustakaan biar nggak dipake orang lain. Eh ya Allah bocah-bocah…ya namanya umur kan nggak ada yang tau. Ibu ngerasa masih punya utang sama dia, soalnya dulu Ibu janji sediain buku Tere Liye yang banyak buat dia di sini.” Aku tersenyum mendengarnya, seketika jadi ingat Shufa yang memang demikian, suka makan, suka sembunyiin bantal, dan menjadikan perpustakaan ini seperti miliknya sendiri.
“Saya ke sini mau cari buku antologi cerpen yang waktu itu dibuat sama anak-anak itu loh, Bu. Apa masih ada ya?”
“Udah lama loh, Mas. Ibu lupa masih nyimpen atau nggak. Nanti dicariin.” lantas Bu Dian langsung memeriksa beberapa rak buku, dia juga mengecek buku-buku di bagian belakang yang memang koleksi bukunya tidak begitu populer.
“Kayanya bakalan lama ini Mas nyarinya. Mungkin masih ada, tapi Ibu harus bongkar kardus-kardus dulu. Kamu mau tunggu Ibu? Atau mau sarapan ke kantin dulu?”
‘Oh yaudah deh, saya ke kantin aja dulu, kebetulan belum sarapan juga. Nanti saya balik lagi ya, Bu.”
“Nah iya, nggak apa-apa.”
Ketika berjalan menuju kantin, pikiranku seperti memutar kenangan lama bersama Shufa ketika waktu itu aku dan dia sama-sama terlambat. Kebetulan guru yang sedang piket itu guru yang cukup killer di mana setelah berdiri selama hampir satu jam di bawah hangat matahari pagi, aku dan para siswa yang terlambat disuruh bersih-bersih. Para siswi yang terlambat disuruh membersihkan masjid, sementara para siswanya disuruh membersihkan toilet laki-laki.
Ketika sampai di toilet laki-laki aku sudah merasa tidak enak karena bau pesingnya yang menyengat. Aku dan tujuh orang lain akhirnya meninggalkan toilet di lantai satu itu dan pergi ke toilet khusus laki-laki yang ada di masjid. Setelah lelah membersihkan masjid, Shufa mengajakku ke kantin, dia bilang dia lapar karena habis dijemur dan habis bersih-bersih masjid. Aku menurutinya meski waktu itu aku takut kena hukuman lagi.
Shufa kembali ke meja piket dan kami masih sama-sama menggendong tas dan belum sempat masuk ke dalam kelas. Dia menghampiri meja piket sambil menunjukkan pulpennya dan mengizinkan Shufa dan aku untuk pergi ke kantin dengan syarat harus balik secepatnya.
Di bangku yang sekarang aku duduki ini lah tempat kami biasa duduk di kantin. Shufa memesan pisang goreng dan aku sampai hapal ketika sedang memakan pisang goreng, dia selalu bilang kalau dia kangen dengan pisang goreng buatan Ibunya.
“Ibu dulu suka banget buatin pisang goreng, sekarang udah nggak pernah lagi.”
“Jadi kamu kangen pisang goreng buatan Ibu?”
“Semua masakan Ibu sih aku kangen.”
“Mutha, kamu tau nggak kenapa aku suka sama pisang goreng?”
“Ya memang karena pisang goreng enak, kan?”
“Bukan, salah.”
“Lalu?”
“Karena kata Ibu, aku lahir di rumah yang banyak pohon pisangnya.” Aku tertawa, Shufa melanjutkan makan pisang gorengnya.