Di rumah, aku langsung membaca tulisan Shufa. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas pagi dan Ibu sudah selesai masak. Wangi kuah soto dan perkedel itu langsung saja membuat cacing-cacing di perutku berdemo.
Di dapur ada Ibu yang sedang mencuci wajan, sementara di meja makan ada Xavier yang sedang makan dengan lauk perkedel kesukaannya.
“Adek tadi nggak sekolah?” Aku bertanya pada Xavier dan duduk di sebelahnya.
“Udah rapih Mas tadi, udah Ibu buatin sarapan roti, Bapak yang antar, sampe di sekolah malah nggak mau masuk ke dalem, minta pulang. Akhirnya Bapak ajak pulang lagi.” Ibu menjelaskan dengan jengkel.
“Adek kenapa emangnya nggak mau sekolah?”
“Bukannya nggak mau sekolah, Mas. Tapi pas tadi salaman sama Bapak tiba-tiba Adek jadi sedih.”
“Alasan.” Ibu terdengar masih jengkel.
“Sedih kenapa? Emang Bapak kenapa?”
“Ya Adek nggak tau kenapa sedih, kasian aja ngeliat Bapak.”
“Ngapain Bapak dikasihanin? Kamu yang harusnya dikasihanin karena nggak mau sekolah.” Ibu masih mengoceh, dia selesai mencuci wajan.
“Besok sekolah nggak usah dianter Bapak, naik ojek aja, biar nggak ada alasan sedih segala macem!” Aku tertawa mendengarnya. Aku yakin pembahasan Xavier tidak mau sekolah akan Ibu bahas minimal tiga hari lagi sampai rasa kesalnya benar-benar menghilang.
Xavier melanjutkan makannya, sementara aku kembali ke kamar dan ingin membaca buku yang semoga aku bisa mendapat petunjuk dari sana.
Lampu kamar kuhidupkan, jendela juga kubuka lebar-lebar. Aku duduk di lantai menghadap jendela. Di dalam kotak itu aku menemukan sebuah boneka beruang berwarna coklat yang ukuran memang kecil, mungkin Shufa menjadikan boneka ini pajangan di meja perpustakaan tempat dia pernah menjaga perpustakaan di kampus. Aku melihat ada dua buku novel yang sudah tidak asing lagi, salah satunya adalah karya dari Keigo Higashino dan sebuah buku tentang parenting. Di dalam kotak itu juga aku menemukan sebuah buku catatan yang sudah banyak ditulis dengan kata-kata, bahkan kertasnya sudah hampir habis karena penuh dengan tulisan. Lalu aku mengambil buku catatan itu dan membukanya perlahan.
Di lembar-lembar pertama, tidak ada yang special sama sekali, buku itu hanya berisi list tugas yang harus SHufa kerjakan dan pertanyaan-pertanyaan ketika di kelasnya sedang melakukan presentasi.
Aku menghela napas dan sedikit pesimis, semakin ku buka lembar per lembar catatan itu, isinya semakin tak karuan, isinya banyak gambar-gambar binatang yang bentuknya aneh-aneh. Aku tahu Shufa sangat tidak bisa menggambar, dan semua yang digambarnya di buku ini sangat imajinatif sekali sampai aku geli melihatnya.
Di halaman pertengahan, aku seperti melihat gambar anak tk yang sedang belajar menggambar, yang tangannya masih kaku memegang alat tulis sehingga gambarnya tak benar-benar lurus, ini lah yang dilakukan Shufa di buku catatannya. Menggambar jenis-jenis binatang yang bentuknya tak karuan, semakin kubuku halaman demi halaman, rupanya aku semakin menyadari betapa kreatifnya Shufa, sekarang dia menambah percakapan antar binatang yang digambarnya. Lucu sekali aku melihatnya. Kalau saja aku melihat gambar ini ketika Shufa masih ada, pasti sudah kubully dia karena gambar yang dibuatnya terlalu jelek.
Di halaman menuju akhir, aku mendapati paragraf yang ditulisnya, kubaca perlahan sampai selesai. Dan inilah tulisan yang Shufa tulis.
Aku ingin bercerita, tentang sebuah tenaman yang sengaja dibuang pemiliknya.
Bacalah dengan baik dan bijak. Jadi begini ceritanya.