Setelah membaca tulisan Shufa di buku itu, hatiku seperti berkecamuk, tiba-tiba keraguanku bertambah kalau Shufa tidak mungkin memutuskan untuk bunuh diri dan aku yakin ada sesuatu yang terjadi di keluarga Shufa. Hal lain yang dapat kusimpulkan adalah, dalam tulisan yang ia sampaikan itu, ia berusaha menyampaikan kalau dia tidak baik-baik saja.
Karena hari ini Mbak Ayu libur bekerja, aku pergi ke kamarnya untuk meminta pendapat. Pintu kamarnya tidak tertutup dan Mbak Ayu sedang membersihkan kamarnya.
“Mbak, aku masuk ya.”
“Ada apa Mutha? Kamu butuh sesuatu?” Mbak Ayu duduk di sebelahku.
“Kayaknya Shufa nggak bunuh dirinya sendiri, deh. Mungkin nggak kalau dia dibunuh sama keluarganya?”
“Hah? Kenapa kamu curiga begitu?”
“Menurutku ada sesuatu yang ganjil sama kematian Shufa dan aku dari awal emang udah curiga aja sama keluarganya.”
“Curiganya karena apa?”
“Karena aku kenal Shufa. Dia nggak mungkin bunuh diri, Mbak. Dan waktu aku ketemu sama kakaknya Shufa, tatapan matanya kayak nyembunyiin sesuatu.”
"Mungkin itu perasaan kamu aja Mutha. Mungkin dia masih berduka karena kehilangan adiknya."
"Tapi aku yakin, pasti ada sesuatu yang kakaknya sembunyiin.'
“Kalau kamu mau meyakinkan itu benar atau nggak, lebih baik kamu pergi ke rumah Shufa dan kamu liat secara langsung keluarganya gimana. Bisa aja kamu alasan mau ngembaliin sesuatu milik Shufa.”
“Hmm, iya deh, nanti aku pikirin dulu.” Aku langsung pergi dari kamar Mbak Ayu dan mencari suatu barang yang setidaknya bisa kujadikan alasan untuk dikembalikan. Tapi barang apa? Aku benar-benar buntu. Aku berdiri di depan jendela sambil berpikir, tiba-tiba Xavier melempar bantal yang kubawa dari perpustakaan dan aku langsung mengambilnya untuk kumasukkan ke dalam paper bag. Barang ini akan kujadikan alasan untuk mengunjungi rumah Shufa.
Sore itu, aku pamit pada Ibu untuk pergi keluar sebentar. Untungnya aku masih ingat di mana alamat rumah Shufa. Dia memang tidak pernah memberikanku alamat lengkap, namun nama jalannya aku masih ingat dan patokannya juga cukup familiar. Perjalanan dari rumahku ke rumah Shufa sekitar lima belas menit.
Rumah yang kuyakini sebagai rumahnya Shufa bercat putih, aku mengamati dari atas motor dari seberang jalanan rumahnya. Halaman depannya cukup luas dan ada banyak tumbuhan hijau dan bunga-bunga yang menghiasi halaman depan.
Aku jalan ke seberang dan masuk ke dalam rumahnya, kebetulan pagar rumahnya yang berwarna hitam itu sudah terbuka, jadi aku masuk dan menutup gerbang itu kembali. Di depan pintu, aku sungkan mengetuk pintu, kupegang paper bag berisi bantal itu dengan erat karen aku cemas. Kemudian aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah itu, dua kali aku mengetuk pintu justru terdengar suara barang pecah dari dalam disusul dengan teriakan seroang perempuan. Perlahan suara teriakan itu semakin jelas dan suara langkah kaki yang berjalan dengan gontai itu langsung membuka pintu dan aku memilih bersembunyi di balik tembok sebelah kiri rumahnya untuk menghindari kedua orang yang sedang berselisih paham itu.
Aku melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Shufa dengan baju yang sedikit kumal dan aku tak melihat wajahnya karena dia telah meninggalkan rumah ini dengan terburu-buru. Wanita yang kuyakini sebagai ibunya Shufa masih berteriak-teriak dan ditangannya ada sebuah pisau.
Aku memberanikan diri bersuara karena aku sekarang di belakangi olehnya. Aku berdehem. Perempuan itu terkaget sampai melepaskan pisaunya ke lantai.
“Permisi. Saya temennya Shufa…” aku berkata sedikit gemetar ketika melihat dengan jelas bagaimana perawakan dari ibunya Shufa yang memprihatinkan. Bajunya dan badannya kotor, seperti tidak mandi berhari-hari. Matanya bengkak dan ada lingkaran hitam yang terlihat jelas di matanya. Rambutnya seperti tidak disisir berminggu-minggu. Ada apa dengan ibunya Shufa?
Lalu tanpa jawaban apa-apa, aku diseret oleh ibunya Shufa untuk masuk ke dalam rumah, aku tak menolak dan tidak memberontak. Sepertinya dia ingin memberi tahu sesuatu. Maka aku dibawanya ke kamar Kayla yang kuduga itu adalah kamar Shufa juga. Di sana aku dibawa ke sebuah lemari besar. Ibunya Shufa hanya meunjuk-nunjuk saja. Maka aku langsung membukanya dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati Kayla yang berada di dalam.
Kondisi Kayla juga sama memprihatinkan dengan Ibunya. Aku tidak tau apa yang telah terjadi di rumah ini. Tapi sesuatu yang besar telah terjadi dan kemungkinan sudah bertahun-tahun lamanya.
Aku membantu Kayla keluar dari dalam lemari itu karena kondisinya sudah lemah. Badannya gemetar dan dia terus menutup telinganya karena ketakutan.
“Mbak Kayla, ini Muthalail.” Aku menuntunnya untuk keluar dari lemari itu, lalu dia rebahan di lantai kamar. Ibunya Shufa tak lama kemudian membawakan segelas air untuk Kayla, maka aku membantu meminumkannya pada Kayla yang masih lemah. Ibunya tiba-tiba memijitkan kaki Kayla yang memang terasa dingin, lalu perlahan aku mendengar suara tangis yang memilukan. Tangisan seorang Ibu yang prihatin melihat kondisi anaknya.