Malam itu aku menghubungi Bima dan kebetulan nomornya masih kusimpan, tapi aku tidak tahu apakah nomor itu masih aktif atau tidak, maka untuk memastikannya, akhirnya aku mencoba meneleponnya dan ternyata masih terhubung.
Aku langsung mengirim pesan lewat WhatsApp dan dipesan itu aku menulis memperkenalkan diri dan aku mengatakan kalau Shufa telah berpulang enam bulan yang lalu, oleh karenanya aku butuh informasi tentang keluarga Shufa dan tak lupa aku menulis tempat di mana sekiranya kami bisa bertemu.
Aku menunggu jawaban Bima lebih dari tiga hari, tidak ada jawaban apa-apa. Pesan itu baru dijawab pada hari keempat. Bima mengatakan turut berduka cita atas kepergian Shufa dan dia akan meluangkan waktunya untuk bertemu denganku di tempat yang sudah kusebutkan dan kami sepakati. Aku benar-benar menunggu waktu itu tiba. Mungkin lewat cerita dan perspektif Bima sebagai tetangganya Shufa bisa memberiku sedikit saja informasi yang bisa menguatkan atau menggoyahkan tentang pendapatku.
Di hari Sabtu malam itu, akhirnya kami bertemu, sejujurnya aku sedikit canggung karena sudah lama tak bertemu dengannya dan mengingat dia adalah orang yang selalu membuatku cemburu karena kedekatannya dengan Shufa.
Angin terasa menusuk kulit, seperti kenyataan pahit yang menusuk hati saat kegelisahan tentang kematian Shufa yang tak berujung. Seperi banyak yang ganjil, aku seperti manusia tak bernyawa semenjak kematian Shufa. Aku tak lagi bisa melihat matanya yang sebening air pegunungan dan senyumannya yang merekah indah, selalu membuatku ingin tersenyum juga.
Kedai kopi di pusat kota setiap malam selalu ramai, tidak seperti hatiku yang entah kenapa rasanya setiap hari seperti kota mati. Dingin, sepi, dan gelap. Siapa juga yang betah tinggal di sana, kucing pun pasti lebih memilih mati.
Aku sudah menunggu 15 menit, orang yang ditunggu sudah kelihatan di luar sana, sedang memarkirkan kendaraannya. Pertemuan ini baru terjadi setelah aku menunggu beberapa hari Bima membalas pesannya. Mungkin dia ragu untuk membalas pesan karena dia lupa siapa aku. Seharusnya pun aku memperkenalkan diri sebagai orang yang paling tidak suka dengan kedekatannya dengan Shufa. Pasti dia langsung tahu siapa aku.
Dia menghampiriku, menjabat tanganku dan mengukir senyuman khasnya. Aku menyambut tangannya dan juga tersenyum. Sulit sekali untukku tersenyum dengan manusia satu ini, seperti bibirku dibebani beratnya batu.
Ketika pertama kali melihatnya, dia tak banyak berubah. Wajahnya masih terlihat berwibawa dan sekarang dia terlihat lebih gagah, kulitnya juga jadi tambah coklat dan tingginya jauh lebih tinggi dariku.
“Apa kabar, Mutha?”
“Baik. Sangat baik.” Seharusnya dia tidak berbasa-basi tentang kondisi, sebab seharusnya dia sudah tahu atau setidaknya dia bisa melihat dari raut wajahku yang tentu saja berubah semenjak kepergian Shufa.
“Gimana kabar Mas Bima?” Aku refleks memanggilnya dengan sebutan 'Mas' untuk menghormatinya. Padahal setelah dipikir-pikir harusnya aku bisa lebih santai karena usia kita hanya terpaut satu tahun.
“Of course, very well.”
“Ada yang mau aku tanyakan Mas, tentang keluarga Shufa dan mungkin beberapa hal tentang Shufa.” Seharusnya aku tidak langsung pada pembicaraan inti, seharusnya aku bisa menanyakan kesibukannya saat ini atau apapun itu yang bisa membuat suasana lebih cair, tidak sekaku ini.
“Baiklah, aku akan menjawab sesuai dengan yang kutahu. Aku turut berduka cita atas kepergian Shufa. Aku tidak tahu kalau dia pergi secepat ini, dan aku menyesal karena tidak sempat mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya.”
“Ya, Mas, tidak apa. Aku pun merasa sangat terpukul atas kepergian Shufa.”
“Tentu saja, karena Shufa adalah teman terbaikmu, dan kamu belum mengungkapkan perasaanmu padanya.”
Aku mematung, aku benar-benar tak bisa berkutik, mendadak mataku terasa panas dan tenggorokanku tercekat. Aku menunduk, menatap meja kosong itu dengan tatapan dingin.
“Oh, sebentar, biarku pesan minuman dan beberapa camilan dulu.”
Sungguh, hari ini bertemu dengannya bukan hanya aku terlihat kaku dan memalukan, tapi aku juga terlihat pelit, tidak memesankan minuman untuk tamu yang kuundang.
Mas Bima kembali dengan membawa dua gelas es kopi dan beberapa macam jenis camilan. Kami kembali pada topik utama.
“Apakah ada yang aneh dengan keluarga Shufa, Mas?” Mas Bima mengaduk es kopinya dengan sedotan, menyesapnya dengan cepat, sepertinya dia kehausan setelah menempuh perjalan yang mungkin cukup jauh.
“Tidak ada yang aneh dengan keluarganya Shufa. Aku lumayan sering mengobrol dengan Ayahnya, kalau Ibunya memang aku jarang melihat.”
“Apakah ada yang mencurigakan dengan sifatnya Shufa, Mas?”
“Secara tidak sadar, sepertinya ada beberapa sifat Shufa yang aneh, mungkin aku juga lambat menyadarinya. Karena dulu aku kuliah jurusan psikologi, aku senang berbicara dengan Shufa, seperti ada misteri dalam dirinya yang harus dipecahkan.”
“Apa misteri dalam dirinya sudah dipecahkan, Mas?” Aku nyerocos, seperti ingin tahu jawaban itu secepatnya.
“Tentu saja belum. Tapi karena kita tahu akhir jalan apa yang Shufa pilih, aku menduga jika dia memang keberatan menjalani kehidupannya.”
“Berat menjalani kehidupannya yang mana, Mas? Mengajar? Dia sangat suka anak-anak. Kuliah? Dia suka dengan jurusannnya. Pertemanan? Dia akrab dengan semua teman-temannya.”