Satu minggu kemudian, aku mendapat telepon kalau ternyata ibunya Shufa sudah berada di rumah sakit jiwa. Kayla memberikan alamatnya kepadaku dan aku langsung pergi pagi itu juga untuk mengunjungi Kayla dan ibunya. Padahal setelah terakhir kali aku mengunjungi mereka di rumah, aku berharap Kayla menghubungi untuk kabar menyenangkan, bukan malah sebaliknya. Perjalanan memakan waktu lebih dari tiga puluh menit dan bapak dengan baik hatinya menyuruhku untuk membawa mobil yang sebenarnya itu mobil milik Ibu Aryani.
Aku membawa mobil pagi itu untuk mengunjungi rumah sakit jiwa sesuai alamat yang Kayla berikan. Di jalan, aku juga memberi buah tangan berupa buah-buahan dan makanan ringan untuk Kayla yang menemani Ibunya.
Jam sembilan pagi aku tiba di sana dan langsung memarkirkan mobil di tempat parkir, segera masuk untuk mengunjungi Ibunya Shufa. Aku khawatir dengan keadaannya karena kupikir semuanya begitu mendadak. Di bawah pohon mangga itu, Kayla melambaikan tangannya dan menghampiriku, aku langsung memberikan buah-buahan dan beberapa makanan ringan kepadanya, dia menerimanya sambil bilang terima kasih.
Ketika datang di sana, aku menelusuri apa saja yang kulihat. Di sebelah tempat parkir itu baru ada halaman hijau untuk pasien berjalan-jalan, ada lapangan untuk yang mau berolahraga, ada bangku-bangku kosong untuk sekadar duduk-duduk. Baru di depan sana ada bangunan berlantai tiga yang dicat berwarna putih, sebuah ruangan untuk merawat orang yang jiwanya butuh untuk diobati.
“Ibu gimana keadaannya?”
“Seharusnya dari lama ibu ada di sini, tapi karena banyak hal, akhirnya baru dibawa kesini setelah sekian lama.”
“Mutha, aku tau pasti di hati kamu muncul banyak pertanyaan, dan aku akan menjawab semua pertanyaan kamu.”
“Mbak, aku mau liat keadaan ibu dulu boleh?”
“Ayo, biar kuantar.”
Lalu aku masuk ke dalam bangunan itu, di sana tentu saja ada meja besar untuk registrasi, ada beberapa perawat yang bolak-balik dari ruangan ke ruangan lain, dan ada beberapa pasien yang sedang melakukan terapi di beberapa ruangan. Karena ibunya Shufa sedang dalam keadaan yang baik, maka dia boleh dijenguk. Kayla mulai membuka ruangan itu dan mataku mulai melihat seorang ibu yang sangat Shufa sayangi dan rindukan itu tengah tertidur di ranjang besinya.
“Ibu kebetulan tadi habis ngamuk teriak-teriak, tadi aku panggil perawat trus mungkin sekarang dibius.” Hatiku bergetar mendengarnya, ada rasa perih di dadaku dan aku berusaha menahan air mata yang sulit kubendung ini.
Aku pergi dari hadapan ibunya Shufa, lalu aku berjalan menuju ke luar dan air mataku tumpah begitu saja yang langsung kuelap sebelum Kayla menyadarinya. Ketika melihat keadaan ibunya Shufa, aku semakin yakin pasti ada sesuatu yang tidak aku ketahui dan sesuatu itu disimpan rapat-rapat oleh Shufa dan Kayla. Sesuatu yang masih menjadi misteri dan belum terungkap.
Aku dan Kayla duduk di sebuah taman yang teduh, diatasnya ada pohon mangga sehingga terlindungi dari hangatnya matahari yang mulai meninggi.
“Sebelumnya aku minta maaf karena menyembunyikan semuanya dari kamu. Tapi setelah aku pikir, kayaknya aku pengen kamu mengerti dan tau semua yang terjadi. Mungkin ceritaku agak panjang dan membosankan, tapi semoga semuanya bisa menjawab semua keluh kesah dan banyaknya pertanyaan yang membuat kamu bingung, apalagi sekarang kamu tau kalau ibuku masuk rumah sakit jiwa. Pasti semuanya mencurigakan buat kamu dan kamu masih nggak percaya dengan keputusannya Shufa.”
“Aku akan menceritakan semuanya, Mutha. Tolong dengarkan baik-baik.”
***