Setelah makan siang di kantin rumah sakit itu, sebelum pulang aku menanyakan sesuatu pada Kayla karena aku ingin tahu tentang itu.
“Mbak, kalo aku boleh tau, gimana keadaan Shufa ketika Mbak pergi dari rumah? Apakah dia baik-baik aja?”
“Nggak akan ada anak yang baik-baik aja ketika mereka melihat pertengkaran orangtuanya. Kupikir karena aku benar-benar lemah makanya aku memilih pergi dari rumah dan meninggalkan Shufa. Tapi setiap aku pulang ke rumah, ibu dan ayah sering bertengkar dan Shufa selalu jadi penengahnya. Mungkin cerita ini bisa meredakan rasa penasaranmu, Mutha. Akan kuceritakan.”
“Dan sebelum cerita, aku mau kasih tau kamu sesuatu. Waktu ibu sering berantem sama ayahku, Shufa selalu jadi penengahnya, dan dia selalu menangkan ibu lewat pelukan dan juga lewat dzikir yang Shufa sering bacakan di telinga ibu supaya ibu bisa lebih tenang. Hal yang kamu liat tadi itu, itu salah satu jurus andalannya Shufa ketika dia lagi menenangkan ibu.” Aku tertegun mendengarnya, pantas saja ketika ibu Hayati tengah mengamuk tadi Kayla langsung memeluknya dan membisikan sesuatu yang ternyata adalah sebuah dzikir.
***
Selama aku meninggalkan rumah, ada hal-hal yang tidak kuketahui. Ternyata ibu bersikap demikian karena salah ayah. Semuanya salah ayah dan karena ayah. Menurut cerita Shufa, ayahku mulai kecanduan judi sejak aku masih sekolah bahkan, tapi ibu selalu menutupi kejelekan ayah. Ibu menutup aib-aib ayah karena ia tidak mau anak-anaknya tau kalau ayahnya adalah seorang penjudi.
Saat aku meninggalkan rumah, pertengkaran ibu dan ayah semakin sering terjadi karena ayah sering pulang untuk mencuri uang ibu untuk berjudi. Ayah tak pernah memberi nafkahnya, ia hanya pulang untuk mencuri uang dan kembali lagi untuk berjudi.
Aku merasa berdosa karena terlalu membenci ibu. Meskipun tidak membenarkan ibu berselingkuh, tapi semuanya terjadi karena ayah tak pernah memberi perhatiannya lagi pada ibu. Keharmonisan dalam rumah tangga mereka pun perlahan memudar dan kemudian menghilang.
Ketika libur bekerja, aku sering menyempatkan diri untuk pulang menemui Shufa dan memberinya uang untuk keperluan sehari-harinya. Sebagian gajiku kuberikan untuk Shufa karena aku prihatin dengan keadaannya.
Di rumah yang seperti neraka itu, ia masih bisa tenang dan seolah-olah pertengkaran ibu dan ayah adalah hal yang biasa untuknya. Ketika mereka bertengkar Shufa hanya perlu menenangkan ibu dan menyadarkan ibu untuk berdzikir yang justru berbeda denganku yang setiap mendengar ayah dan ibu bertengkar, aku selalu bersembunyi di lemari dan menghindarinya.
“Mbak, aku udah masak sayur sop sama tempe goreng, nggak apa-apa, ya?”
“Nggak apa-apa Shufa, aku malah biasa makan telor atau kadang hanya makan indomie di kost. Kali ini aku masak buatan adikku.”
Shufa tau tentang semua yang terjadi di rumah. Ketika dia sudah duduk di bangku SMA. Ia selalu melayani ibu dan ayah sebagaimana anak yang tidak pernah tau kalau mereka selalu perang dingin dan Shufa tidak pernah merasakan dampak dari adanya perang dingin tersebut.
Ketika aku sedang makan di ruang tamu, tiba-tiba dari jauh kulihat ayah berjalan menuju rumah, karena aku benci melihatnya, jadi aku masuk ke dalam dan mengunci pintu kamar rapat-rapat. Aku menguping dari kamar dan kudengar Shufa membuatkan teh untuk ayah, mereka bercakap-cakap layaknya ayah dan anak.
“Mbak Kayla belum main ke sini?” ayah bertanya ketika Shufa mengantarkan teh ke ruang tamu.
“Ada. Tadi udah dateng, ke mana ya Mbak Kayla, tadi ada kok lagi makan.”
“Oh, yasudah nak, biarin saja.” mendengar itu aku meneteskan air mata. Betapa aku merindukan bercakap-cakap dengan ayah dan aku masih bisa melihat sisi baik ayah meskipun ia jahat. Ia telah membiarkan aku, Shufa dan ibu menderita sampai keluarga kami tercerai berai meski ayah dan ibu belum bercerai.
Melihat ada ayah di sini aku jadi tak napsu makan, padahal tadi aku begitu tergiur dengan sayur sop buatan Shufa dan tempe gorengnya juga masih hangat. Karena aku merasa tidak aman, akhirnya aku meletakkan piring nasi itu di tepi ranjang dengan perasaan gusar. Aku takut ibu dan ayah bertengkar dan Shufa akan kenapa-napa.
Setelah lama menunggu di dalam kamar, aku mulai merasa tenang karena kurasa aman. Mungkin ibu sedang lelah dan ayah pun sedang tidak mau cari gara-gara. Rupanya pas aku keluar kamar untuk mengambil gelas, tiba-tiba ibu keluar kamar sambil membawa bantal dan dia langsung menghampiri ayah yang sedang tertidur. Bantal itu ia letakkan di atas wajah ayah dan ibu menekannya dengan sangat kencang sampai ayah gelagapan karena tidak bisa bernapas.
“Biar mati kamu ya! biar mati sekalian!” aku yang melihatnya langsung membeku. Shufa yang melihatnya langsung berlari untuk menarik ibunya sampai ia sendiri terpental. Ketika ayahku terlepas dari bekapan bantal itu, ia terlihat sangat marah dan menghampiri ibu yang berada di sebelah Shufa. Ketika ayah ingin melakukan sesuatu pada ibuku, Shufa menghalanginya dengan merentangkan tangannya. Karena ayahku terlihat begitu marah, dia menyuruh Shufa minggir, namun Shufa tidak mau minggir dan akhirnya ayah mendorong Shufa sampai kepalanya membentur lantai.
Ayahku tidak terima dengan perlakuan ibu yang menurutnya hampir membunuhnya. Maka sekarang giliran ayah yang mencekik ibu, dia menyudutkan ibu ke sudut ruangan dan mencekiknya. Shufa berteriak kencang dan menarik-narik tangan ayah. Akhirnya aku ikut membantu Shufa menarik tangan ayah untuk melepaskan cengkeramannya pada ibu.
Setelah ibu terlepas dari cekikan ayahku, Shufa langsung memeluk ibu dan menangis. Aku jadi kikuk dan bingung karena aku tidak bisa memeluk ibu, jadi aku langsung pergi ke kamar.