[Hayati]
Dua puluh dua tahun sudah aku hidup dalam neraka yang sengaja kuciptakan dengan suamiku. Kami mengurung dua malaikat kecil kami untuk tinggal dalam neraka ini. Aku merasa tersiksa tidak bisa memberikan kehidupan yang layak dan malah merubah rumah yang semula menjadi tempat ternyaman, tapi dengan keegoisanku dan kemarahanku, akhirnya aku bersekutu dengan iblis-iblis untuk merubah rumah ini menjadi neraka. Semakin lama, semakin banyak iblis-iblis yang menempati neraka ini, maka sepertinya semakin gila juga apa yang ada dipikiranku dan suamiku itu. Kami bukan orangtua yang baik. Kami tidak bisa menjamin kehidupan kedua buah hati kami.
Awalnya, aku mengalah atas semuanya. Ketika suamiku tidak lagi memberikan nafkahnya untuk menghidupi kami, maka aku yang akan berusaha untuk menghidupi anak-anakku dan juga menghidupi parasit yang terlalu betah tinggal di neraka ini.
Suamiku-Riyadi Nugroho, lebih baik menghabiskan semua uangnya untuk berjudi dari pada membeli makanan untuk anak-anaknya. Aku mengerjakan banyak hal untuk mendapatkan uang, sementara Riyadi hanya bisa makan, tidur, dan berjudi setiap hari. Penampilannya sudah seperti gembel, dia sering tak mandi dan tubuhnya tak terawat sama sekali, ia lebih mirip orang sakit jiwa yang tak punya tujuan hidup selain untuk memenangkan perjudian. Dia lupa akan janjinya untuk memenuhi semua kebutuhanku, dia lupa jika anaknya harus hidup dan tumbuh menjadi orang yang berguna kelak, dia juga lupa dengan ajaran agama yang diajarkan kepadanya hampir semasa hidupnya. Aku bertanya-tanya, iblis mana yang sudah berhasil merenggut suamiku sehingga ia keluar dari jalannya.
Anak-anakku sekarang sudah dewasa. Anak pertamaku Bernama Kayla Huriyah, usianya sekarang sudah menginjak dua puluh empat tahun. Sementara adiknya, Shufaira Ramadhani, lebih muda tiga tahun dari Kayla. Aku bingung sekaligus takjub dengan ketahanan mereka bisa hidup di rumah ini, atau lebih tepat jika disebut sebagai neraka, ya, ini neraka buatan aku dan Riyadi. Aku juga bersyukur karena Tuhan telah memberikan kesabaran pada kedua anakku sampai mereka bisa bertahan sejauh ini, tidak sedikit pun kehilangan akalnya karena mereka menyaksikan kegilaan kedua orangtuanya.
Dua tahun terakhir, Shufa mengusir kakaknya dari rumah agar ia tidak kehilangan akal sepenuhnya. Kayla terlalu sensitif ketika mendengar pertengkaranku dengan Riyadi, dia biasa bersembunyi di dalam lemari sambil gemetar, seluruh tubuhnya akan dibanjiri oleh keringat dan perkataannya mulai melantur. Sementara Shufa sudah menebalkan telinganya, jadi ketika aku ribut-ribut bertengkar dengan Riyadi, maka ia akan setenang danau yang tak tersentuh oleh apapun. Berbeda dengan Kayla, dia seperti tenggelam dalam gulungan ombak yang dahsyat. Begitu gaduh dan riuh.
Seharusnya aku tidak bersekutu dengan iblis-iblis itu untuk membalaskan dendamku, seharusnya juga aku menjadi seorang Ibu yang bisa menjadi contoh yang baik untuk anak-anakku. Mungkin, harusnya juga aku bisa memaafkan Riyadi yang sudah merubahku menjadi budak selama ini, mungkin juga seharusnya aku mendekatkan diri pada Tuhan sebagaimana aku melihat kedua anakku yang selalu taat menjalankan ibadah meskipun mereka tinggal dalam neraka yang mereka sendiri tak nyaman dalam melakukan ibadahnya. Mungkin, kedua putriku bertanya-tanya mengapa dia harus menjalankan ibadah meskipun kedua orangtuanya adalah jelmaan dari iblis dan bukan manusia.
“Mbak Kayla dan Shufa nanti sore mengaji, ya, Ibu antar.”
“Ibu sudah belikan Kayla sepatu baru karena Kayla sudah lanjut ke Al- Qur’an.”
“Ibu juga sudah belikan Shufa baju muslim yang baru karena Shufa sudah Al-Qur’an.”
“Nak, Kayla, Shufa, jangan lupa doakan Ibu sama Ayah dalam setiap shalatmu, ya?”
“Nak, Kayla, Shufa, jangan lupa mengaji, ya. Shalat juga jangan pernah ditinggalkan.”
Aku rindu dengan kalimat-kalimat yang sudah lama sekali tidak kusebut itu. Aku terlalu malu dengan diriku sendiri. Bagaimana pula iblis yang menyerupai menusia ini bisa menyuruh anak-anaknya untuk beribadah?
Pertengkaranku dengan Riyadi selalu membuatku ingin melempar barang. Shufa seringkali mencegah untukku agar tidak memecahkan barang apapun, mungkin ia bosan membersihkan bekas pecahannya. Mungkin juga ia ingin Kayla tidak terganggu dengan suara apapun yang begitu mengusiknya. Karena Kayla tidak bisa mempertebal telinganya sebagaimana Shufa mempertebal telinganya.
Shufa yang berkepribadian hangat itu, selalu kena sasaran amukanku yang selalu refleks melempar barang. Dia sering terluka karena menahan tanganku agar tak melempar sesuatu, tapi karena aku kesal dicegah olehnya, maka semula barang yang ingin kulempar pada Riyadi itu, malah berbelok ke arah Shufa. Jadilah Shufa yang terluka. Dia pernah mengeluh, marah, atau tindakan cengeng lainnya, dia langsung membebat luka yang terkena sasaran lemparanku. Dia bukan perempuan cengeng dan manja.
Belakangan ini, Shufa sering sekali memelukku ketika amarahku sudah naik ke ubun-ubun, Riyadi selalu membuatku mengamuk karena kebiasannya berjudi itu belum ia hentikan. Karenanya, hampir setiap hari, aku selalu memberikan menu makanan yang sama kepada dua anakku itu. Hanya tempe, tahu, telur, atau mie instan. Jika bosan, mereka mencari resep dari bahan olahan tersebut untuk diolah menjadi makanan yang berbeda.