[HAYATI] :
Sebelum Riyadi berubah menjadi iblis yang suka menghambur-hamburkan uang seperti sekarang, dulu ia pun melakukan hal yang sama ketika usia Kayla masih tiga tahun dan aku baru selesai melahirkan, Riyadi mulai kecanduan berjudi dan sudah mulai malas untuk bekerja. Sehari-hari dia bekerja di pasar berjualan, waktu itu gajinya hanya cukup untuk kami bisa makan, namun aku tetap bersyukur meski hanya itu yang bisa Riyadi hasilkan, setidaknya dia tetap mau berusaha untuk bekerja.
Ketika Shufa lahir, aku banyak mendapat uang dari orang-orang yang menjenguk Shufa dan mereka juga banyak membawakan peralatan bayi. Ketika Riyadi mulai kecanduan judi, dia mulai nekat mencuri uang yang diberikan orang-orang dan menjual beberapa perlengkapan bayi Shufa yang kemudian uangnya digunakan untuk berjudi. Aku masih memaafkannya karena dia bilang dia akan berubah. Tapi ucapan hanyalah ucapan belaka, dia masih tetap berjudi sampai usia Shufa tiga tahun dan usia Kayla waktu itu menginjak enam tahun.
Ketika masa-masa mengurus Shufa yang masih bayi, Riyadi tak pernah ada untukku. Dia selalu pulang larut malam dan akan tidur sampai siang, sementara aku di rumah mengurus banyak hal. Mulai dari mengurus Kayla yang masih sering rewel, mengurus Shufa yang masih bayi, dan mengurus rumah yang selalu berantakan meski aku selalu membersihkannya.
Aku seperti hidup seorang diri, tidak ada yang membantu dan membuatku bernapas barang sebentar saja. Rasanya setiap kali Kayla atau Shufa menangis kepalaku mau meledak, kesabaranku hampir habis, tapi disaat-saat seperti itu, aku ingat satu pesan ibuku untuk tetap beribadah dan berdzikir untuk menenangkan pikiran yang kusut.
Ternyata bukan hal yang mudah mengurus balita dan bayi new born, aku kesulitan dan Riyadi jarang memberi uang belanja. Mau tidak mau aku harus memutar otak dan mencari jalan keluar untuk tetap berpenghasilan.
“Mbak Kayla, sekarang ibu harus cari uang supaya bisa makan. Ibu boleh minta tolong buat jagain adek Shufa? Nanti kalau dia nangis Mbak Kayla kasih susunya, ya?”
“Botol susunya ibu tarok di atas meja di sebelah kasur, ya?”
Untungnya dua malaikat kecilku itu meskipun masih balita dan satunya lagi masih bayi, mereka seperti memahami ibunya yang harus mencari uang demi bisa membeli beras. Kayla dengan senang hati menemani Shufa di kamar, menjaganya meski dia tertidur, mengajaknya bermain ketika dirasa Shufa mulai bosan, dan siaga memberikan botol susu ketika Shufa mulai menangis karena lapar. Untungnya lagi Shufa saat itu masih sering tertidur, jadi aku bisa melakukan banyak pekerjaan.
Hari itu satu teman sekolahku memberi saran untuk berjualan keripik tempe dan singkong yang bisa dititipkan di warung-warung dekat rumah. Aku banyak bimbangnya karena membuat keripik itu lumayan menghabiskan waktu dan sekarang aku punya anak kecil yang masih butuh banyak perhatian. Tapi karena belum menemukan ide yang lain, akhirnya aku mencoba berjualan keripik yang kutitipkan di warung-warung.
Pagi hari saat Riyadi berada di rumah aku akan berangkat ke pasar untuk membeli singkong dan tempe. Kemudian setelah kembali dari pasar, aku mulai mengurus kedua anakku. Menyuapi Kayla makan, memandikannya, dan membiarkannya bermain di luar dengan teman-temannya. Setelah itu baru kuurus Shufa ; menyusuinya, memandikannya dan kemudian Shufa kembali tidur. Sementara itu aku mulai memotong-motong tempe untuk dijadikan keripik, setelah itu baru mengupas singkong dan mengirisnya perlahan.
Setelah itu baru semuanya kubumbui dan kugoreng. Dalam proses menggoreng itu, entah sudah berapa kali aku bolak-balik antara dapur dan kamar untuk melihat Shufa. Entah berapa kali aku bolak-balik antara dapur dan halaman luar untuk memantau Kayla yang sedang bermain. Semuanya terasa melelahkan, tapi aku harus melakukannya agar anak-anakku tak terlantar.
Berbulan-bulan aku melakukan yang sama dan Riyadi belum berubah, dia masih tetap suamiku yang kecanduan dengan berjudi dan sampai saat ini dia belum dapat apa-apa dari hobinya yang suka berjudi itu, yang ada kami dibuatnya hidup melarat dan kesusahan. Dia parasit yang pantas di buang jauh-jauh dari rumah ini.
Hal yang membuatku berat untuk bercerai dengan Riyadi adalah karena Kayla. Kayla selalu dekat dengan Riyadi dan dia selalu bertanya dimana keberadaan ayahnya kalau Riyadi lama tak pulang ke rumah. Bahkan anak itu sering menunggu Riyadi di depan gang hanya untuk menyambutnya pulang, melambaikan tangan dengan antusias ketika Riyadi pamit untuk bekerja, dan selalu berdoa supaya Riyadi pulang dengan uang yang banyak.
“Ayah, ayah cari uangnya yang semangat, ya.”
“Hati-hati ya Ayah, semoga ayah pulang bawa rezeki yang banyaaaak banget supaya Kayla bisa beli ayam tepung.”