Kemudian setelah mendengar penjelasan dari Kayla aku banyak terdiam memikirkan banyak hal. Betapa ketika itu aku tak tahu apa pun yang terjadi dengan kehidupannya yang berat, bahwa Shufa berusaha menyembuhkan ibunya dan keinginannya untuk mengembalikan keluarga yang seperti dulu itu sangat besar.
Yang kutahu dia hanya pulang pergi ke sekolah, pulang pergi ke kampus, tak sedikit pun dia mengeluh dengan apa yang dihadapinya. Dan aku menanyakan apa yang terjadi sebelum Shufa pergi pada hari itu, dan Kayla pun menjelaskannya padaku.
***
Beberapa hari sebelum kepergian Shufa, aku sengaja pulang ke rumah untuk menemui adikku, aku begitu rindu dengan Shufa, aku ingin melihat keadaan Shufa di rumah yang seperti neraka. Aku juga tidak lupa membawa martabak manis kesukaannya
Seperti tidak terjadi apa-apa, Shufa tinggal di rumah itu seperti ia menutup mata dan telinganya. Telinganya tidak merasa berisik dengan keributan yang setiap jam terdengar antara Ayah dan Ibuku. Matanya pun tak merasa gatal melihat perbuatan Ayah dan Ibuku yang salah.
Aku masih melihat Shufa dengan segala kepribadiannya yang sama. Dia selalu tersenyum, riang, dan tidak pernah menunjukkan kemarahannya atas apa yang terjadi. Malam itu aku juga sengaja tidur dengannya untuk menghilangkan rasa rinduku.
Aku menikmati segelas kopi dan martabak keju kesukaan Shufa, aku juga mendengarkan cerita tentang kesehariannya.
"Mbak Kayla masih ingat kan, sama penjaga perpustakaan yang ada di kampus?"
"Iya, kenapa?"
"Tambah nyebelin tau, Mbak, sekarang. Mukanya judes, galak, ini nggak boleh itu nggak boleh. Semuanya nggak boleh."
"Bukannya penjaga perpustakaan kamu ibu-ibu yang udah tua itu?"
"Iya, kadang digantiin sama yang muda itu. Kita-kita pada nggak mau deh ke perpustakaan kalo dia yang jaga, orangnya ribet, suka nyusahin orang lain."
"Bukannya yang tua juga begitu? Nyebelin kamu bilang?"
"Memang mereka sama-sama nyebelin, tapi kalo ibu-ibu yang udah tua itu masih bisa dibohongin, kalo yang ini nggak bisa dibohongin."
"Kamu-"
PRANGGG!!!
Aku dan Shufa terdiam, aku terlalu takut mendengar piring pecah entah sudah yang ke berapa kali, mungkin ratusan semenjak aku tinggal di rumah ini, jadi saat itu aku langsung menutup telingaku dengan bantal, sementara Shufa keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi. Seperti itu lah yang selalu terjadi di rumah, seperi neraka yang diisi dengan orang-orang gila, makanya aku memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat ini. Rumah ini begitu menakutkan untuk orang-orang sepertiku. Mentalku terlalu lemah untuk mendengarkan pertengkaran mereka setiap hari, dan telingaku tak setebal telinga milik Shufa yang terbiasa dengan amukan kedua orangtuaku.
Rumah yang katanya selalu menjadi tempat untuk pulang, justru membuatku harus meninggalkan tempat ini jauh-jauh.
Ribut-ribut masih terdengar di ruang tamu, sepertinya Shufa selalu jadi wasit ketika dua orang gila itu beradu. Suara Ibu berteriak terdengar begitu menakutkan, seperti seseorang yang sudah sangat lelah dengan kehidupan. Ibu selalu berteriak histeris yang akan ditutup dengan tangisan yang tentu saja selalu menyayat hati, aku tak pernah kuat mendengar tangisan kesedihan itu jika aku bertahan di sini.
Sepuluh menit berlalu, tidak ada lagi suara Ibu berteriak, Shufa kembali dengan kening yang sedikit tergores, aku langsung menghampirinya dan mencari obat merah di kamar itu.
“Nggak apa-apa, Mbak… cuma goresan sedikit…” Shufa mengelap tetesan darah di tangannya itu dengan baju kotornya, dia tidak mengeluh sama sekali, sementara aku belum menemukan di mana letak obat merah itu, namun dia sudah selesai membebat lukanya dan seketika tangannya sudah bersih.
“Udah sembuh, Mbak…” Shufa menunjukkan telapak tangannya padaku, ia tersenyum kecil, aku tahu senyumannya itu untuk meyakinkan jika ia tidak apa-apa. Tapi aku tak bisa melihat sorot matanya yang tampak begitu lelah dengan keributan di rumah.
Saat lampu kamar sudah dimatikan, aku baru tersadar jika Shufa belum tidur, dia masih memandangi indahnya bulan dari ventilasi kamar itu. Tiba-tiba isakan tangisku mendadak membuat Shufa menoleh.
“Kenapa, Mbak…”
“Maafkan Mbak, Shufa…”
“Untuk apa?” Shufa menatap dan mengelus pundakku.
“Karena Mbak tidak bisa melindungimu.”
“Nggak apa-apa, Mbak… Aku baik-baik aja, kok.” Aku selalu muak dengan perkataannya yang selalu bilang jika ia baik-baik saja. Aku ingin mendengarnya berkeluh kesah dan memeluknya sebagaimana dia melakukan itu untukku.
Aku mengelap air mataku, tertarik membicarakan beberapa hal. Aku telentang sambil menatap langit-langit, Shufa juga demikian. Malam itu menjadi malam terakhirku berbincang dengannya.
“Shufa, apa kamu nggak lelah sama pertengkaran mereka?”
“Sudah biasa, Mbak…”