Hari ini aku mau mengembalikan barang-barang milik Shufa kepada Kayla. Salah satu buku milik Shufa sudah kubaca, dan aku tenang karena sudah mengetahui semuanya. Kini aku bisa melepas Shufa dengan perasaan yang tenang dan lega. Hatiku tak lagi gusar mengetahui apa penyebabnya pergi meninggalkan orang-orang yang mencintainya.
Mungkin Tuhan melihat Shufa sudah terlalu lelah menghadapi dunia meski dia masih optimis menjalaninya. Mungkin dalam doa-doanya entah yang mana, dia selalu meminta untuk kembali pada sang Pencipta, tanpa pernah dia sadari. Dia tak pernah berdoa menyebutkan itu, dan bentuk berdoa bukan hanya menyebutkan dengan lisan tentang apa yang diinginkan, tapi sesuatu yang terlintas di hati, sesuatu yang sangat diinginkan, itu juga merupakan bentuk doa. Mungkin Shufa sudah lelah dengan semuanya, tanpa sadar dia meminta untuk cepat-cepat pulang dan beristirahat dengan tenang. Dalam hatinya yang paling dalam, kelelahan itu ada dan tampak jelas jika dia sedang berdoa.
Kini aku sudah menanam kembali bunga-bunga yang baru di halaman rumah, dan kali ini aku berhasil merawatnya dengan baik. Sekarang bunga itu bermekaran dan cantik. Angin melambai-lambai daun dan bunganya ikut bergoyang. Lihatlah Shufa, kali ini aku sudah bisa merawat tumbuhan tanpa pernah gagal. Tumbuhan itu mau dirawat olehku. Dan kali ini aku ingin hidup layaknya bunga yang bermekaran dan berdiri tegap pada rantingnya yang kuat, pada daunnya yang hijau.
Sebelum pergi ke rumah sakit, aku akan mengunjungi makam Shufa dan memberikan bunga untuknya. Aku ingin duduk diam berdoa untuk ketenangan dan kedamaiannya. Bunga itu berwarna ungu dan merah jambu. Aku pergi menggunakan motor dan teringat pada suatu hari di mana aku pernah membawakan bunga untuknya dan dia belum menerima bunga pemberianku karena bunga itu telah jatuh dari genggamanku bersamaan dengan hatiku yang runtuh. Kali ini aku akan memberikan bunga ini meski Shufa sudah berada di alam yang berbeda dan meski Shufa tak bisa menerimanya secara langsung.
Aku berjalan menuju makam Shufa, semuanya sudah terasa jauh lebih ringan ketika pertama kali aku datang mengunjungi Shufa di makam ini. Kuletakkan bunga berwarna ungu itu di pusaranya. Kutuangkan dua botol air mawar dan bunga yang kubeli di depan pintu masuk pemakaman ini. Aku mendoakan Shufa dengan khusyuk, dengan harapan Shufa bisa tenang dan damai di alam sana. Aku menitikkan air mata karena merasakan kesedihan dan kerinduan yang mendalam. Aku berjanji padanya untuk sering-sering berziarah ke makam Shufa. Mungkin sekarang masih terasa sedihnya, tapi kurasa seiring berjalannya waktu, semuanya akan menyembuhkanku dan aku akan terbiasa dengan kepergian Shufa meskipun aku masih sedih ketika membayangkan nanti aku akan mulai terbiasa dengan Shufa yang tidak lagi berada di sampingku.
Mungkin selamanya aku akan kehilangan senyum Shufa yang selalu terlihat menyenangkan dan aku tak akan bisa melihat matanya yang selalu berbinar-binar lagi. Senyuman dan mata itu hanya milik Shufa. Tidak akan ada yang memilikinya lagi selain dirinya dan aku akan selalu merindukan dirinya.
“Shufa, aku mau lanjut kuliah lagi setelah sekian lama cuti. Aku bakal baca semua buku yang kamu udah rekomendasiin dan aku bakalan sering berkunjung ke perpustakaan kampus.”
“Aku pamit melanjutkan hidup, ya? kamu pasti di sana lagi baca buku, kan?”
“Shufa, aku akhirnya tau apa alasan kamu pergi, kamu nggak akan mungkin menyerah gitu aja sama kehidupan. Kamu orang yang kuat, mungkin kepergian kamu adalah jawaban atas segala harapan kamu dan doa-doa yang nggak sengaja hatimu suarakan. Aku percaya Tuhan lebih sayang kamu, dan kamu nggak perlu khawatir sama keluarga kamu sekarang. Mereka baik-baik aja. Ibu kamu dan Mbak Kayla akan baik-baik aja dan mereka udah ikhlas atas kepergian kamu.”
“Maafin aku karena aku nggak tau apa-apa soal masalah kamu. Lagian kamu sok kuat banget nggak pernah cerita apa-apa ke aku. Karena kamu takut aku sedih dan khawatir, ya? karena kamu takut membebani seseorang dengan kisah hidup kamu, ya? sekarang aku nggak perlu bilang seandainya, seandainya lagi, karena aku tau bahwa kepergiann kamu adalah jalan yang terbaik. Tuhan udah terlalu rindu sama kamu yang selalu sabar dan selalu semangat menjalani kehidupan.”
“Shufa aku pamit ya sekarang. Aku mau ketemu ibu sama Mbak Kayla. Nanti bulan depan aku kesini lagi buat ganti bunga yang baru.” Aku bangkit berdiri dan pergi meninggalkan makam Shufa. Saat itu angin kencang tiba-tiba menggugurkan daun daun yang sudah kuning dan kering, seakan menjadi pertanda Shufa mendengarkanku dan mengiyakan semua ceritaku.
Aku pergi menuju rumah sakit karena ibunya Kayla masih dalam perawatan. Dan perjalanan ke sana cukup cepat karena aku menggunakan motor. Sampai sana aku tiba pukul sebelas pagi. Di sana sudah ada Kayla yang sedang menemani ibunya. Aku memberikan buah-buahan dan sebuah kotak berisi buku dan boneka milik Shufa. Ibunya yang menerima.
“Ibu ini Muthalail. Ini punya Shufa, ada buku sama boneka.”
“Mutha…” ibu Hayati menunjuk-nunjukku dan Kayla menjelaskan kalau aku temannya Shufa sejak kami masih duduk di bangku SMA.
Ibu Hayati membuka kotak itu dan dia mengeluarkan bukunya, beberapa halaman dibacanya dan dia mengambil boneka kecil. Sementara aku bercakap-cakap dan berjalan keluar ruangan dengan Kayla, karena hari ini aku tak bisa berkunjung lama-lama karena ada beberapa pekerjaan yang harus keselesaikan.
Ketika aku pamit pada Kayla untuk pulang, tiba-tiba suara Ibu Hayati menangis terdengar, aku dan Kayla panik dan kami langsung masuk ke dalam. Di dalam ternyata ibu Hayati sedang memegang selembar surat yang menjadi penyebabnya menangis histeris. Kayla langsung memeluk ibunya dan menenangkannya. Kemudian setelah ibu Hayati tenang, Kayla membaca selembar kertas itu yang ternyata ada di dalam hati yang menempel pada lengan bonekanya. Kayla membaca surat itu dan dia langsung menangis dan jatuh terduduk, aku refleks membantunya berdiri dan kertas itu jatuh begitu saja sebelum akhirnya kubaca kertas yang membuat Kayla dan ibunya menangis.
Teruntuk Ibu, Ayah, Mbak Kayla, dan orang-orang tersayang.