Kegelisahan itu menempel pada wajah Mario Bumantara. Kakinya berulang kali menekan pedal rem yang tidak memberikan dampak apa pun. Menambah suasana mencekam yang sudah diakibatkan derasnya hujan dan sambaran guntur.
"Kenapa, Pa?"
"Remnya ...." jawab Mario pada istrinya cukup sepotong kata.
Telinga Jisela cukup tajam untuk mendengar masalah itu. "Ma, Pa, kenapa?"
Fina menoleh pada putri berusia 25 tahunnya di kursi belakang. "Jisé, tetap di tempatmu. Pegangan!"
Itu yang Jisela lakukan. Ibunya menatap penuh kekhawatiran. Ayahnya sedang dilanda keresahan masih berusaha mengendalikan arah mobil mereka melaju.
"Jisé, kita akan baik-baik saja."
Namun, Jisela melihat sebuah truk di depan mereka.
Jisela menangkap sekejap mata raut kesakitan ibunya sebelum dia sendiri merasakan tubuhnya terpental. Hantaman sangat keras yang menggelapkan seluruh pandangan. Kegelapan yang mengerikan, rasa perih yang terlalu terang.
.........
Air yang menghujani wajahnya membawa kelopak mata Jisela terbuka. Dunia tampak kabur dari sini.
Dingin dari aspal yang keras terasa di pipinya. Hanya matanya yang mengerjap dibelit rasa sakit seakan ribuan jarum menusuk setiap helai sarafnya.
Rasa dan bau darah itu menyadarkannya pada banyak hal.
Jisela memejam kuat untuk mengangkat kepala. Tangannya yang tak tergerak sama sekali berusaha merangkak meraih mobil terbalik tak jauh di depannya.
"Papa, Mama ...." Suara Jisela keluar sebagai bisikan serak, hampir tak terdengar di bawah rontokan hujan.
Mobil itu tak bergerak sama sekali. Sesuatu di dalamnya merintih, suara lemah yang penuh keputusasaan. Dadanya serasa diremas ——itu suara ibunya.
Wajah Jisela mengerut menyimpan tangisan. "Jangan ...." Dia tidak pernah mendengar suara ibunya yang seperti itu.
"Ma! Pa!"
~-~
Suara langkah beruntun dari sepatu hak tinggi seseorang merobek keheningan mansion besar keluarga Bumantara.
Jisela Putri Bumantara melemparkan tubuh ke sofa. Matanya memejam menikmati kesunyian ruang tengah yang masih menyala lampunya, meski sudah hampir tengah malam.