Seperti pagi-pagi biasa, yang masih tidak berubah meskipun sudah kembali tinggal di rumah adalah Jisela sarapan di kantor ketika kebanyakan karyawan masih di kamar mandi mereka. Perusahaan ini lebih sering melihat wajahnya dibanding Mansion Bumantara.
Aku pernah melihat Papa selingkuh dengan wanita yang kukenal. Diam! Jisela memejam. Aku tidak mau memikirkan itu. Yang lain saja.
Kegiatan Jisela mengelap bibir terpotong oleh suara pecahan kaca pada pintu ruangannya. Leher Jisela sedikit melongok melihat pelakunya. Dua alisnya yang tebal rapi terangkat menemukan siapa yang datang.
Jisela merapikan kotak bekal. "Bulan ini gajimu kupotong sebagai ganti rugi," ucapnya datar tanpa ekspresi berlebih.
Pria itu mendengus kesal mendapati respon jauh dari harapan. "Begitu caramu bersikap pada kakak laki-lakimu? Aku ingin jabatan di perusahaan ini. Bahkan aku lebih pantas duduk di kursimu itu."
Tatapan Jisela sampai pada wajah geram pria itu. "Pertama-tama, perbaiki dirimu. Selama 27 tahun kau hidup, wajahmu jadi makin tebal. Tidak ada rasa malu di sana."
Kepalan tangan Jeffi membatu. "Omong kosong, aku tidak mendapatkan apa-apa selama ini. Seharusnya aku yang memimpin perusahaan ini. Aku putra tertua, pasti kau memalsukan warisan itu."
Jisela tersenyum tipis mewujudkan betapa terpukau dia akan sesatnya akal laki-laki ini. "Papa dan Mama tidak pernah mengadopsimu secara resmi. Dan kau pun sudah memilih tinggal bersama ibu kandungmu. Kau masih bilang kau putra tertua? Apa yang sudah kau lakukan sebagai putra tertua?"
Jisela selalu menahan diri demi ibunya, namun amukan terpendam itu kini memakan dirinya. "Kau hanya pembuat masalah. Kau datang pada kami hanya ketika kau butuh sesuatu. Aku tidak tau apa yang Mama lihat darimu, hingga meski kau hanya datang ketika meminta sesuatu pun, Mama masih saja begitu membela anak tidak tau diri sepertimu."
Jeffi maju lebih dekat menggebrak meja Jisela. Menatap tepat pada bola matanya. "Akhirnya kau menunjukkan sifat aslimu. Seperti inilah dirimu, wanita arogan, serakah, dan sangat angkuh."
Jisela mengangguk membenarkan. "Aku bersyukur kau melihatnya. Terserah kau masih mau bekerja di pabrik atau tidak. Aku tidak bisa memberikan lebih banyak kesempatan untukmu."
"Tunggu dan lihat apa yang akan kulakukan." Jeffi pergi setelah merasa cukup memberikan ancaman dan sadar tidak bisa mengalahkan Jisela cukup dengan gertakan.
Jisela tak ambil pusing mengenai ancaman itu. Dia tahu persis apa yang akan diperbuat orang pengecut seperti Jeffi. Namun, mengetahui hal itu yang membuatnya semakin frustrasi. Jisela memejam menyangga kepala.
"Wahhh, kalian habis main perang-perangan?"
Suara tak asing itu menambah gumpalan beban yang memenuhi kepala Jisela. Semua orang di dekatnya seperti ingin membuatnya mati muda, hanya gara-gara satu perusahaan ini. Jam kerja bahkan belum dimulai.
Jisela menarik nafas menguatkan diri memandang wajah wanita sebaya dengannya itu tanpa raut terpaksa. Dulu Jisela begitu mengenal dan dekat dengannya. Namun, beberapa hal membuat hubungan antar sepupu mereka berubah.
"Silakan duduk." Jisela menyingkirkan kotak bekalnya ke dalam paper bag di samping kaki meja.
Dona duduk menaruh tas tangan di atas meja. "Kau terlihat semakin cantik, tapi telingamu tetap seperti telinga monyet."
Jisela kurang tahu reaksi seperti apa yang tepat untuk menyambut itu. Meski dulu Dona memang sering mengatainya begitu, itu menjadi tidak lucu lagi sekarang. Jisela merasa asing dengan seseorang di hadapannya saat ini.
Dona terlihat lebih modis, berbeda dengan Dona enam tahun lalu sebelum mereka berpisah karena Dona memilih kuliah di luar negeri.
"Kulihat kaca pintu ruanganmu pecah, ulah Jeffi?"
Berbeda dengan dirinya, Dona terlihat santai dengan pertemuan ini. Seolah mereka terus menjalin komunikasi selama ini.
Jisela mengangguk samar. "Kenapa kau sampai datang kemari? Kita bisa saja bertemu di rumahku."