Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #3

3. Melodi dan Lukanya

Relia melakukan rutinitas hariannya. 15 menit duduk merenung di cafe langganan dengan secangkir teh sitrun, sebelum berangkat ke kliniknya. 

Kesendirian kadang bisa sangat menenangkan, meski hatinya sedikit dibuat pengar karena di kanan kirinya selalu dipenuhi pasangan.

Relia sadar dia sempat gila ketika mengatakan ingin menikah di usianya yang masih 22 tahun, apalagi dia masih kuliah saat itu. Mungkin saja dia akan bahagia jika hal itu sampai terjadi, atau mungkin hidupnya justru akan semakin sengsara. Relia tidak tahu dan tidak peduli saat itu, selama dia bisa tetap bersama lelaki pujaannya.

Perubahan suara alunan musik membuyarkan lamunan Relia. Tiba-tiba dia membenci lagu favoritnya itu. Orang gila mana yang membawakan lagu romantis saat perut baru diisi nasi? Sepertinya alam pun tengah mengejeknya. Kesendiriannya tidak lagi menenangkan, justru membuatnya merasa menyedihkan.

Intro lagu itu hampir selesai. Mata almond Relia melebar, tanpa perlu mendengar suara ataupun melihat pemetik gitar itu pun Relia yakin orang itu adalah Alé, Alexander Purnama Nusantara. Relia tidak bisa menahan kepalanya mendongak menatap ke depan di mana mantan kekasihnya berada. 

Petikan gitar yang menimbulkan nada familiar di telinga Relia, suara indah yang belum berubah, dan tatapan mata penuh cinta yang masih sama. Bedanya, tatapan itu bukan lagi untuknya. Melainkan untuk wanita lain yang berada di meja pojok paling depan, sedang tersenyum bahagia memangku seorang balita, mendapatkan cinta melimpah ruah.

Kenapa aku harus ada di sini?

Dia terlihat sangat menyedihkan di samping mereka yang terlihat bahagia dan saling mencintai. Alé begitu cepat melupakannya dan dengan mudah menemukan penggantinya. Sedangkan Relia masih terjebak dalam masa lalu indah yang kini semakin menyiksanya.

Lagu indah yang dulu membuatnya merasa jadi orang paling spesial, kini ditujukan untuk orang lain. Dia merasa dikhianati meski hubungan mereka sudah lama berakhir.

Hubungan mereka dimulai ketika Relia kelas 11, saat Relia diasingkan ke asrama. Pertemuan Alé dan Relia seperti di drama series. Mungkin itulah yang membuat Relia sempat berpikir cinta mereka akan selamanya. Alé seperti pemeran utama yang datang untuk menyelamatkan heroine-nya, Relia malang yang terlihat berantakan dan lemah.

Waktu itu ....

"Apa aku tidak cukup keren?" Alé berlutut di depan Relia. Seketika membuatnya tersentak.

Alé meraih lembut jemari Relia. "Aku tidak membawa apa pun, sekarang aku tidak bisa memberikan apa pun, tapi aku akan pergi ke mana pun kau pergi untuk melalui apa pun yang kau lalui."

Relia menelisik lebih jauh ke dalam mata cokelat terang Alé. Pikiran Relia yang menurutnya penuh kerasionalan anak SMA mengatakan, tidak mungkin seseorang langsung melakukan hal yang Alé katakan pada orang yang baru dikenal beberapa hari. Apalagi pada Relia yang terlihat menyedihkan.

"Kenapa kau melakukannya? Kau melihat apa dari diriku?"

Senyum Alé begitu menyejukkan bagi Relia. Itu yang paling Relia suka dari Alé sejak mereka bertemu. Bibir pria itu terbuka kotak menampakkan gigi atas bawahnya saat tertawa.

"Aku melihatmu sebagai sosok yang keras karena membutuhkan cinta. Aku ingin melembutkan hatimu. Aku ingin selalu ada di sampingmu, sebagai satu-satunya yang kau ingat dalam suka dan dukamu."

Namun, hubungan mereka kandas di tahun keenam. Tanpa sadar kalimat itu menjadi kenyataan. Sesuai perkataan Alé, pria itu pergi setelah mengubah hati Relia menjadi lembut dan lemah. 

Lihat selengkapnya