Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #4

4. Siksaan Masa Lalu

Setahun Sebelumnya ....

"Itu adikku. Yang ada poninya." Kira menunjuk salah satu orang yang tengah bertarung di arena. "Sebenarnya kami kembar, tapi ibu kami selalu bilang dia adikku dan aku harus mengalah padanya." Kira otomatis menatap pria di sampingnya, karena mendengar tawa yang berusaha ditahan.

Kira sedang duduk di bangku penonton, di samping seorang pria yang menarik perhatiannya sejak sepuluh menit lalu. 

Dari wajah pria itu dan caranya tertawa, Kira dapat memastikan dia adalah tipe pria lembut yang penurut. Mata sedikit sipit, kulit bersihnya menunjukkan dia terawat. Kira mencoba menelisik kesombongan di wajah pria berjas itu, untuk mencari tahu dia pemuda kaya yang manja atau tipe pekerja keras.

Kira semakin tertarik terus menatap, karena pria itu sedikit pun tidak meliriknya. Mata Kira teralih pada buku yang disangga oleh lutut laki-laki itu. Mengikuti arah pandangnya.

Kira tersenyum. "Kiara memang potret ekspresi dinamis yang memancarkan karisma dan keberanian. Wajahnya berbentuk oval dengan garis rahang tegas. Sepasang mata bulat dan tajam, seperti mata kucing yang selalu bersinar dengan antusiasme dan rasa ingin tahu tinggi." Mata Kira kembali pada wajah pria di sampingnya. "Sketsamu sangat menunjukkan dirinya."

Pria itu akhirnya menatap Kira. Tersenyum cerah. "Terima kasih."

Kira mengulurkan tangan. "Kira. Akira Roseanne Bumantara. Sepertinya kita pernah bertemu."

"Benarkah?" Pria itu tertawa kecil menjabat tangan Kira. "Abimanyu Theodore Davidson. Simpelnya, Ted."

"Blasteran?"

"Ayahku memang asli Amerika, tapi——"

"Kau pasti sangat mirip dengan ayahmu."

Ted mengangguk. "Banyak yang bilang begitu." Senyum lebar Ted membuat matanya semakin menyipit. "Dan aku sangat bersyukur." Namun, melihat kerutan di dahi Kira, Ted buru-buru menambahkan. "Bukan berarti aku menjelekkan ibuku."

Keberduaan mereka memudar seiring pelarian Kiara semakin mendekat. Kira tetap tak mengalihkan mata dari pria di sampingnya, meski bayangan Kiara telah menutupi wajahnya. 

Kiara selalu geleng-geleng melihat kelakuan kembarannya. 

"Mana?" tagih Kiara langsung ke intinya.

Tak mendapat respon, Kiara menyambar tote bag di kursi kosong sisi kiri Kira. 

Ted bangkit. "Aku Theodore."

Kaki Kiara yang hampir berpacu memutuskan menetap. Melirik Kira dengan senyum tipis.

Kiara mengangguk samar pada lelaki di depannya sebelum melangkah pergi.

Situasi ini membuat Kira ingin tertawa. 

Bagaimanapun, Kira ikut berdiri. "Berikan." Tangannya terulur. "Tulis nomormu di balik sketsamu, nanti kuberikan padanya."

"Terima kasih." Ted bersicepat menuliskan nomor ponselnya.

"Kau berharap aku bilang begitu?" Kira membuang muka, membuat beberapa helai rambut terurainya menyabet wajah Ted. "Dia pikir aku apaan?" gumamnya sembari berlalu.

"Hei, boleh minta nomormu?"

"Tentu. Coba kulihat, sepertinya kita pernah bertemu di suatu tempat. Kau mirip sekali dengan seseorang yang kukenal."

Ted melongo di tempat. "Benar-benar luar biasa." Senyumnya terukir ramah ketika Kira menatap singkat sebelum pergi dengan pria yang baru memintainya nomor.

Ted menatap sketsa di tangannya. "Lihat bagaimana takdir akan mempertemukan kita lagi." 

***

Malam itu, Kiara sedang berbaring di sofa ruang keluarga, kepalanya bersandar di pangkuan Kira. Televisi menyala di depan mereka, menampilkan acara yang hanya setengah disimak.

"Dia adalah arsitek muda yang sukses. Dari foto-foto di medsos-nya, keluarganya terlihat harmonis. Dia juga tampan. Tatapannya lembut sekali. Hari ulang tahunnya 13 Juli, berarti zodiaknya Cancer."

Dari televisi, Kiara menatap wajah Kira yang masih asyik dengan ponsel. "Kau benar-benar mengerikan."

"Kia, kalau kau nikah muda dengannya, Papa Mama pasti setuju dan sangat mendukung. Kau akan membuat Kak Relia mencak-mencak." Kira tertawa kecil menutupi mulutnya.

Tatapan datar Kiara dan wajahnya yang kaku mengatakan segalanya. Kira semakin tahu artinya ketika kepala belakangnya dikeplak seseorang.

"Kau adik yang kurang ajar."

Kira cemberut, bergumam kesal, kembali pada ponselnya.

"Dia seumuran Kak Jisela, empat tahun lebih tua dari kita."

Kiara mengulurkan keripik ke Relia yang duduk di sofa sama, kini menjadi bantalan kakinya.

Relia menerima uluran itu tanpa suara. 

Kiara menatap jauh, memikirkan hal lain. "Kadang aku kasihan ke Kak Jisel. Di saat kita bersama seperti ini, dia sedang kerja dan ketika pulang ke apartemennya, dia hanya disapa kekosongan."

"Kita tidak perlu merasa begitu pada seseorang yang memang memilih sendirian. Justru kesendirian itu adalah kebahagiaan baginya. Dia juga tidak pernah diusir dari sini. Dia yang memilih tinggal sendirian."

Kira mengangguk sangat setuju pada jawaban Relia.

"Aku bertanya-tanya apa yang membuatnya jadi begitu." Dahi Kiara mengerut. "Dia kelihatan ... sangat suram. Tidak mau dekat siapa-siapa, bahkan kita sekalipun. Apa kita pernah berbuat salah padanya?"

Suara bersahutan sepasang pantofel mendiamkan mereka bertiga. 

Lihat selengkapnya